Sebagaimana kita pahami, pesantren adalah salah satu wahana pendidikan (Islam) yang diakui sejak dulu, baik secara formal maupun informal). Manfred Ziemek (1984) mengatakan, pesantren bukan sekadar wahana pendidikan, melainkan juga menjadi garansi terpeliharanya ajaran-ajaran Islam yang ramah dan transformatif.
Meminjam bahasa Gus Dur, pesantren merupakan subkultur karena ia memiliki struktur tersendiri di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Artinya, pesantren adalah miniatur kehidupan dalam bermasyarakat itu sendiri. Di dalamnya tidak hanya ada kegiatan ajar-mengajar, tetapi juga pelbagai program sosial-kultural-spiritual, hingga kewarganegaraan, misalnya pembentukan tradisi ro’an atau kerja bakti dan takzir (hukuman) bagi siapa saja yang melanggar peraturan.
Ciri khas utama dalam dunia pesantren adalah (me)ngaji kitab, yakni mempelajari kitab-kitab peninggalan ulama-ulama terdahulu. Madrasah diniyah, salah satu bagian dari pesantren, adalah salah satu lembaga yang memiliki tugas menyelenggarakan proses ajar-mengajar kitab kuning tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan demikian, sekolah yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama (NU) sesungguhnya bukanlah seperti dikatakan Asmaji AS Muchtar dalam tulisannya di media ini, 3 Juni 2015, di mana dia sebut madrasah diniyah diselenggarakan di luar pesantren dan dilakukan sore hari selepas anak-anak pulang sekolah umum. Sesungguhnya, tetapi lebih dari itu, sekolah NU adalah pondok pesantren itu sendiri.
Menarik untuk dicatat bahwa pesantren, lagi-lagi meminjam Ziemek, kerap disebut sebagai “wiraswasta” dalam sektor pendidikan keagamaan. Karena luas dan variasi bentuk-bentuk usahanya dibatasi bukan oleh peraturan-peraturan pemerintah, melainkan peraturan-peraturan keagamaan. Dalam kedudukannya yang otonom itu, kekuatan pesantren sebetulnya didominasi peran serta karisma seorang kiai, pemimpin, dan juga biasanya pendiri pondok pesantren. Kealiman serta kedalaman ilmu seorang kiai memiliki pengaruh menentukan keberlangsungan lembaga pendidikan itu.
Model sama
Sesungguhnya model lembaga pendidikan yang demikian itu ada di hampir semua agama yang pernah masuk di Nusantara. Kita mengenal sistem pendidikan ashram bagi tunas-tunas pemeluk Hindu-Buddha, atau kita juga mengenal sistem seminari sebagai model pendidikan ahli-ahli agama di kalangan Katolik.
Lembaga-lembaga yang memiliki tatanan sosio-kultural kuat seperti itu sesungguhnya adalah lembaga pendidikan khas yang telah ada sebelum sistem pendidikan kolonial (Barat/Kontinental) mewabah dan “menjajah”. Ketika Belanda datang dengan menawarkan sekolah “modern” tersebut, sesungguhnya kita, yang menerima begitu saja tawaran itu, sedang menapaki jalan makin menjauh dari jati diri sendiri, dalam soal pengajaran sekurangnya.
Perdebatan riuh pernah terjadi mengenai sistem pendidikan bagaimana yang cocok diterapkan untuk manusia-manusia Indonesia. Perdebatan itu terekam dalam “Polemik Kebudayaan” tahun 1930-an. Dalam perdebatan yang sangat dikenal, itu, dr Soetomo, seorang yang lulus dan terdidik dengan sistem pendidikan Belanda, justru memandang dan meyakini bahwa sistem pesantrenlah akar pendidikan yang harus dipertahankan sebagai sistem pendidikan nasional.
Menurut Dawam Rahardjo, pendapat Soetomo tersebut didasarkan pada, pertama, sistem pemondokan di pesantren. Sebab, dengan sistem pemodokan tersebut, pendidik bisa memberikan pengawasan langsung secara intensif peserta didiknya.
Kedua, hubungan intim yang terjalin antara kiai dan santri, tidak saja di tingkatan lahiriah, tetapi hingga di tingkat batin. Seorang kiai diketahui sering menyebut santri-santrinya setiap berdoa. Satu tradisi yang membuat kiai selalu berada dalam hati santrinya, begitu juga sebaliknya.
Ketiga, pesantren bisa mencetak manusia-manusia yang bisa masuk ke lapangan kerja macam bagaimanapun. Keempat, dr Soetomo tertarik dengan pola hidup kiai yang mengedepankan sikap kesederhanaan dalam hidup sehari-harinya. Dan kelima, pesantren merupakan pendidikan dengan biaya penyelenggaraan murah.
Tetap teguhkan diri
Bentuk atau model pendidikan berbasis kenyataan sosial-kultural-spiritual di atas harus diakui semakin jauh dari jiwa sistem pendidikan nasional kita. Kedudukan, fungsi, dan perannya kian banyak dinafikan, bahkan terasa kurang diperhatikan oleh pemerintah, setidaknya dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal berbasis sistem kontinental.
Pada momentum seperti ini sesungguhnya gerakan #ayomondok yang diinisiasi Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU yang dilakukan beberapa tahun terakhir patut diapresiasi. Selain itu, lahirnya Keppres No 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri juga merupakan momentum bagi kaum sarungan untuk kian meneguhkan diri dalam peran dan kontribusinya yang signifikan, bahkan vital. Tidak hanya dalam pewarisan ilmu, tapi juga pembentukan kepribadian, termasuk “revolusi mental” yang diharapkan Presiden RI saat ini.
FARIZ ALNIEZAR, DOSEN UNUSIA DAN STAINU JAKARTA; PEMIMPIN KOMUNITAS OMAH AKSORO
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Agustus 2017, di halaman 11 dengan judul “Pesantren dan Pendidikan Mutakhir Kita”.