Imunisasi measles dan rubela atau MR pada Agustus 2017 akan diberikan untuk anak sekolah di semua SD, SMP, dan yang sederajat, yaitu usia 7-15 tahun.
Pada September 2017, imunisasi MR diberikan untuk bayi usia sembilan bulan sampai anak usia tujuh tahun, yang dilaksanakan di posyandu, puskesmas, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya. Pemberian imunisasi gratis dan wajib tersebut sering terhambat karena masih dipercayainya mitos dan adanya ketakutan atau fobia rubela. Apa yang sebaiknya diketahui?
Cegah dengan imunisasi
Penyakit rubela adalah infeksi virus menular yang umumnya ringan. Paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda, tetapi memiliki konsekuensi serius pada wanita hamil. Infeksi rubela pada ibu hamil dapat menyebabkan kematian janin atau cacat bawaan, yang dikenal sebagai congenital rubella syndrome (CRS). Di seluruh dunia, lebih dari 100.000 bayi lahir dengan CRS setiap tahun. Tidak ada pengobatan khusus untuk rubela, tetapi penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bayi baru lahir dengan CRS dapat menderita tuli, katarak, dan bocor jantung, kadang juga diabetes melitus dan disfungsi tiroid. Bayi dan anak tersebut banyak yang membutuhkan terapi, operasi, dan perawatan mahal lainnya.
Risiko tertinggi CRS terjadi di negara di mana wanita usia subur tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit rubela, baik melalui vaksinasi maupun terinfeksi rubela alami. Sebelum ada vaksin, sampai empat bayi di setiap 1.000 kelahiran hidup dilahirkan dengan CRS. Vaksinasi rubela skala besar selama dekade terakhir telah mampu menghilangkan rubela dan CRS di banyak negara.
Pada April 2015, Amerika utara menjadi wilayah pertama di dunia yang akan dinyatakan bebas penularan endemik rubela. Kejadian CRS yang tertinggi adalah di kawasan Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, di mana cakupan imunisasi rubela masih yang terendah.
Vaksin rubela adalah strain virus hidup yang dilemahkan, yang telah digunakan dalam imunisasi selama lebih dari 40 tahun. Sebuah dosis tunggal akan memberikan lebih dari 95 persen kekebalan yang tahan lama, yang mirip dengan kekebalan yang disebabkan oleh infeksi virus rubela alami.
Vaksin rubela tersedia dalam formula monovalen, yaitu vaksin untuk satu patogen rubela saja, atau lebih sering dalam kombinasi dengan vaksin lain, seperti campak (MR) yang akan diberikan pada Agustus dan September 2017, campak dan gondong (MMR) yang lebih awal dikenalkan, atau campak, gondong, dan varicella (MMRV). Efek samping setelah vaksinasi umumnya ringan, misalnya rasa sakit dan kemerahan di tempat suntikan, demam ringan, ruam kulit, dan nyeri otot. Imunisasi massal di wilayah Amerika utara yang melibatkan lebih dari 250 juta remaja dan orang dewasa tidak menemukan efek samping serius yang berhubungan dengan vaksin.
Akibat skandal penelitian
Imunisasi MMR sempat mendapat penolakan dari banyak pihak dan menimbulkan fobia rubela, terkait sebuah skandal penelitian yang besar. Pada 1998, sebuah makalah karya Dr Andrew Wakefield, seorang dokter spesialis bedah—dimuat di jurnal bergengsi Lancet’—tentang 12 kasus anak autis setelah divaksinasi (MMR) di Inggris. Makalah tersebut ditulis Wakefield, Murch, dan Anthony dengan judul ”Ileum Hiperplasia Limfoid Nodular, Kolitis Non-spesifik, dan Gangguan Perkembangan Regresif pada Anak” (Lancet, 1998, 351, halaman 637-41).
Banyak media kemudian menampilkan informasi ini kepada publik awam yang membuat heboh dan menimbulkan fobia. Dalam serangkaian laporan pada 2004-2010, jurnalis Brian Deer menyelidiki dan mengungkapkan bahwa Dr Wakefield memiliki beberapa konflik kepentingan, telah memanipulasi data, dan bertanggung jawab untuk apa yang kemudian oleh the British Medical Journal (BMJ)disebut ”an elaborate fraud” atau penipuan yang rumit.
Penyelidikan Brian Deer ini adalah yang terpanjang yang pernah didanai General Medical Council UK (GMC). Pada Januari 2010, GMC menilai Dr Wakefield tak jujur, tak etis, dan tak berperasaan sehingga pada 24 Mei 2010 nama Dr Wakefield telah dihapus dari daftar dokter di Inggris.
Menanggapi temuan Deer, pada 2004, redaksi Lancet menerbitkan surat untuk menanggapi tuduhan terhadap makalah yang dimuatnya, yang menyatakan tidak ada hubungan antara imunisasi MMR dan kejadian autisme (no link existed between MMR and autism). Lancet kemudian menarik sebagian laporan penelitian Dr Wakefield pada Februari 2004.
Pada 2010, GMC menerbitkan sebuah laporan yang menentang tulisan Dr Wakefield dan menunjukkan bahwa catatan medis anak-anak di rumah sakit tidak mengandung bukti yang cukup meyakinkan. Catatan medis di rumah sakit berbeda dengan makalah yang diterbitkannya. Akhirnya, pada Februari 2010 Lancet mencabut sepenuhnya isi makalah Dr Wakefield dkk yang diterbitkan tahun 1998 tersebut.
Beratnya kelainan klinis pada CRS dan hubungan imunisasi MMR dengan autis yang ternyata tidak terbukti seharusnya menyebabkan fobia rubela tidak boleh ada lagi. Dengan demikian, imunisasi MR pada Agustus dan September 2017 di seluruh Indonesia wajib kita didukung. Sudahkah kita bertindak bijak?
FX WIKAN INDRARTO, Dokter Spesialis Anak; Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul “Fobia Rubela”.