Pagi itu di Salatiga yang adem, saat menikmati teh panas dan singkong rebus, tiba-tiba dari ruangan tengah bapak berteriak tentang betapa biadabnya kelompok yang menyerang dan meledakkan menara kembar WTC di New York, Amerika Serikat, 11 September 2001.
Saya waktu itu sedang membantu produksi film action yang penuh adegan kekerasan dan special effect. Maka ketika ada berita tersebut, saya berpikir itu adalah bagian dari promo film laga atau fiksi ilmiah lainnya. Sedikit perdebatan dengan bapak, akhirnya saya sadar tayangan serangan tersebut adalah berita dari berbagai sumber media dunia.
Dari berita dan berbagai pendapat yang bermunculan, baik dalam diskusi resmi maupun di warung kopi, bisa ditarik kesimpulan bahwa kejadian tersebut hampir tidak masuk akal dan biadab. Tidak masuk akal dilihat dari pola tindakan yang barbar dan kejam. Bagaimana mungkin sekelompok orang mampu bertindak sedemikian rupa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah itu, berbagai berita tentang bom dan aksi kekerasan yang memunculkan korban massal sering terjadi. Beritanya tersebar lewat berbagai media dan terakhir bahkan bisa diakses dengan ujung jari lewat gawai (gadget) di tangan kita masing-masing.
Kebiasaan berkepanjangan
Era sosial media masuk ke dalam wilayah personal masyarakat Indonesia seiring dengan semakin murahnya teknologi berupa gawai dan komputer. Dengan berbagai macam jenis media sosial (Facebook,Twitter, dan lain-lain), masyarakat semakin mudah mengakses berbagai informasi dan mengkritisinya.
Pemakai media di atas adalah mereka yang mengenal teknologi sebagai perangkat keras yang memudahkan komunikasi dan hiburan. Hampir semua kebutuhan sehari-hari dapat diselesaikan dengan gawai.
Masyarakat Indonesia menjadikan gawai sebagai kitab suci kedua. Dalam berbagai kesempatan, mereka selalu berusaha memperbarui informasi dan isu di media sosial lewat gawai. Ketergantungan pada media sosial tidak terlepas dari keinginan untuk mengidentifikasikan dirinya dan bersosialisasi. Tajfel dan Turner menyebutnya sebagai Social Identity Theory (SIT). Intinya adalah individu memiliki sebuah konsep pada dirinya dalam bersosialisasi (Gudykunst, William B, dan Bella Mody, 2002, Handbook of International and Intercultural Communication, 2nd Edition, United States of America, Sage).
Perubahan eksistensi
Gawai dan media sosial bukan lagi sekadar kepanjangan tangan teknologi digital, melainkan menjadi bagian penting sebuah perubahan eksistensi dan identifikasi diri terhadap kelompok tertentu. Dalam berbagai kesempatan-tanpa melihat strata ekonomi dan pendidikan-kita melihat berbagai lapisan masyarakat yang menghabiskan waktunya dengan jari mengetik di layar kecil di tangan masing-masing. Berbagai informasi, gosip, hoaks, dan ujaran kebencian bermunculan dari jari-jari itu.
Dalam media sosial, terbukalah berbagai informasi yang hampir tanpa batas. Karakter media sosial yang serba terbuka membuat siapa saja dapat memberikan informasi, terlepas dari benar dan tidaknya. Siapa pun juga dapat memberikan pujian dan celaan tanpa merasa sungkan karena tidak ada tatap muka.
Berbagai informasi diunggah oleh pihak yang menginginkan perubahan sikap dalam sebuah kelompok. Ini adalah efek dari tumpah informasi yang hampir tidak terbendung dan tidak terverifikasi. Era digital yang melahirkan kebebasan di media sosial ternyata tidak diimbangi oleh kesadaran akan fungsi informasi dan sikap kritis. Berbagai berita sepihak yang berisikan kebohongan, ancaman, dan kebencian dengan mudah tersebar dan diyakini kebenarannya.
Teknologi dalam media sosial juga memunculkan kecenderungan manipulasi kebenaran. Berbagai informasi dalam diktum kebenaran obyektif mudah dimanipulasi dalam berbagai bentuk. Hasilnya adalah berbagai komentar atau deskripsi yang memutar balik fakta, menambahi atau mengurangi untuk tujuan agitasi. Inilah dampak era keterbukaan informasi media.
Manipulasi akan kebenaran memunculkan dua kelompok, yakni kelompok pembenci dan peduli. Keduanya sama-sama fanatis dan menganggap dirinya benar. Pertempuran perebutan klaim kebenaran setiap hari bisa dijumpai di media sosial. Dari sisi mana pun, muncul kelompok haters dan lovers.
Yang mengerikan dari pertikaian tersebut adalah efek ketidaktahuan karena kurangnya pemahaman akan makna informasi. Tidak semua masyarakat mengerti dan memaknai informasi. Bahwa mengkritisi dan memahami informasi adalah penting, sebelum mengomentari atau bahkan menyebarkan.
Sulit mencari titik tengah bagi konflik haters dan lovers, hampir-hampir sulit untuk dibedakan apakah anggota dari tiap kelompok tersebut mendapatkan pendidikan yang layak atau tidak. Artinya, kedua kelompok sudah tidak bisa dibedakan dan diidentifikasikan strata pendidikan dan ekonominya. Hujatan dan makian akan berhamburan jika mereka sudah saling berebut wacana.
Akal sehat dan nurani
Hanya akal sehat dan nurani yang bisa memberikan kejernihan pikir. Perlu ketegasan pemerintah terhadap berbagai tindakan yang membuat aktivitas media sosial menjadi ajang perang wacana tidak berkesudahan. Di sisi lain, setiap individu pengguna sosial media juga harus mampu mengontrol diri sendiri sekaligus mengerti mana informasi yang benar dan tidak.
Pengertian tersebut menjadikan setiap pengguna media sosial sebagai sumber informasi, bukan alat untuk mengumbar kebencian. Masyarakat harus melek terhadap media sosial, yang saat ini sudah menjadi kitab suci baru pengguna gawai.
Literasi media digital menjadi sebuah keharusan, sebelum akhirnya setiap pengguna media sosial menjadi agitator. Misalnya, karena ketidakhati-hatian menggunakan media sosial (Facebook), 10 siswa kehilangan kesempatan belajar di Universitas Harvard (Time, 6 Juni 2017)
Martin Luther King Jr mengatakan bahwa kebencian melumpuhkan cinta, sebaliknya cinta itu melepaskan. Kebencian membingungkan, cinta mengharmonisasikannya. Ketika kebencian menggelapkan hidup, cinta meneranginya.
GUNAWAN RAHARJA, Buruh Film
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul ” Literasi Media Digital”.