MENCARI kesempatan dalam kesempitan biasanya berkonotasi negatif. Akan tetapi, bagi Ir Onno Widodo Purbo PhD, staf Jurusan Teknik Elektro ITB dan PAU Mikroelektronika ITB, itu bisa menjadj positif.
Dengan kondisi keuangan yang pas-pasan, Onno punya cara sendiri membangun jaringan komputer di kampus Ganesha itu. Meski jaringan ini dapat dikatakan lain daripada yang lain, karena menggunakan media komunikasi radio, toh ia berhasil meluaskan jaringan ke perguruan tinggi lain di luar almamaternya, ITB, sampai ke berbagai universitas swasta, lembaga pemerintah, dan bahkan kini merambah SMA.
Minat pengguna komputer, termasuk yang menggunakan komunikasi telepon, untuk bergabung dalam jaringan itu memang besar. Menurut Onno, lahir di Bandung 17 Agustus 1962, yang juga membantu mengembangkan jaringan komputer di beberapa perguruan tinggi, jaringan komputer antar perguruan tinggi dan lempaga penelitian itu disebut Paguyuban Network. Tingkat pertumbuhannya minimal 700 persen pada tahun 1994 saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini jauh di atas Thailand (334 persen) yang selama ini diklaim sebagai yana tertinggi di Asia. Kenaikan itu antara lain karena berbagai keuntungan yang ditawarkan: kemudahan mengakses jaringan itu dan biaya komunikasi radio yang relatif murah dibandingkan dengan komunikasi telepon.
Untuk menjaring pengguna yang lebih luas lagi, Onno meluncurkan Software dan kadang juga rangkaian
perangkat keras, secara cuma-cumaa. Itulah sebabnya dari sekitar 20 hingga 30 orang pengguna, kini telah terjaring 2.900 pengguna di mana 1.500 di antaranya ada di ITB, selebihnya dari universitas lain, badan komersial, dan lembaga penelitian.
PACKET radio yang digunakan Onno adalah teknologi komunikasi data yang menggunakan media radio bukan kabel. Saat ini teknologi packet radio digunakan untuk membangun jaringan komputer Paguyuban TCP/IP di Indonesia, yang sudah beroperasi 24 jam antara lain ITB, UI, UGM, BPPT, Bappenas, Lapan, LIPL STT-Telkom, LEN, INTI, dan USI/IBM.
Adakah manfaat yang bisa diperoleh dengan komputer yang saling berkoneksi itu? Tentu saja ada. Para pengguna jaringan komputer itu dapat saling berkomunikasi dan berdiskusi secara interaktif melalui komputer. Mau menjual barang dan jasa kepada anggota lain, oke. Mau meminta bantuan untuk memecahkan masalah, juga bisa.
Pendek kata, dunia memang menjadi sempit: hanya sebatas perangkat komputer di atas meja, namun dengan daerah jangkauan yang tak tarbatas. Tanpa uang transpor, tanpa perlu berdesakan di bus atau kereta, dan tanpa terjebak kemacetan lalu lintas yang membuang banyak energi dan waktu itu.
Inilah dunia tanpa ruang dan waktu. Juga tanpa birokrasi dan tentu saja sangat demokratis. Bayangkan seorang mahasiswa bisa berkonsultasi langsung dengan profesornya di tengah malam tanpa harus beranjak dari rumahnya masing-masing. Tak ada lagi bawahan yang bisa menghentikan arus informasi
untuk sekadar mendapat uang pelicin misalnya, karena pesan dapat dikirim langsung ke atasannya.
Dengan jaringan komputer Paguyuban Onno telah berinteraksi dengan banyak mahasiswa, bahkan membantu membimbing tugas akhir mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia tanpa perlu beranjak dari rumah atau kantornya di Jurusan Teknik Elektro ITB. Fasilitas diskusi elektronik ini, menurut Onno telah banyak membantu mahasiswa untuk mengerti berbagai persoaian secara lebih mendalam.
***
DALAM mengembangkan jaringan komputer, mulai dari jurusannya hinga ke seluruh ITB dan kemudian keluar kampus, sebenarnya Onno tidak berbekal dana yang memadai. Karena itu, ia dan rekan-rekannya tanpa malu “memulung” peralatan elektronika dan computer yang tidak terpakai lagi, atau membeli bekas. Ia pun memilih pengembangan jaringan komputer melalui radio yang biayanya relatif rendah. Komunikasi radio memang sudah menjadi obsesinya sejak SMP. Mulanya Onno yang gemar mendaki gunung itu tertarik pada peralatan CB atau walkie-talkie yang dibawa-bawa pendaki lain. “Untuk memiliki sendiri tak mungkin. Bapak saya tidak pernah member banyak uang,” kenang anak pertama ahli pemukiman kota Prof Hasan Purbo, itu. Keinginan itu sementara dipendanmya sambil terus mencari akal untuk mewujudkannya.
Menginjak kelas satu SMA, ia mendapat pinjaman buku ORARI dari temannya yang bapaknya kebetulan anggota organisasi komunikasi radio itu. Dari buku itulah ia mempelajari cara membangun pemancar radio sendri. Komponen-komponen yang dipakainya juga merupakan barang-barang bekas hasil memulung dari kakak teman-temannya.
Remaja Onno kemudian asyik dengan mainan barunya itu, sementara banyak teman sebayanya lebih memilih rekreasi yang tidak memeras otak. ”Ibu suka kesal kalau saya sudah di ‘depan radio’ berjam-jam, ungkapnya. Hobi ngoprek dan nyolder itu kemudian membawanya pula berkutat dengan program komputer, dan akhirnya mendorong Onno masuk jurusan elektro.
Di ITB, Onno pun berupaya membentuk klub peminat komputer dan elektronika. Namun, belaj ar dari pengalamannya yang gagal membentuk klub aeromodeling di SMA, maka dia berpedoman bahwa untuk membentuk kumpulan harus dilakukan dari bawah, perlu lebih dulu mengkondisikan masyarakatnya.
Maka selama satu semester di tingkat satu, Onno telah berhasil menggalang teman seminat pada komputer untuk membentuk perkumpulan yang namanya Divisi Komputer, di bawah Himpunan Mahasiswa Elektro ITB. Bersama teman-temannya kemudian Onno merintis bidang pengembangan jaringan komputer.
Untuk itu ia tetap menerapkan keahlian lamanya sebagai ”pemulung”. Mengumpulkan PC yang telah rusak atau dianggap pemiliknya out of date, kemudian diperbaiki hingga menjadi router. Sedikit demi sedikit akhimya jadilah suatu jaringan computer. Jaringan itu tidak seperti jaringan komunikasi komputer umumnya yang menggunakan saluran telepon, namun dikembangkan dengan mengandalkan keahliannya membangun komunikasi radio.
Keahlian itu terus ditempanya sambil menempuh studi untuk meraih master di bidang serat optic dan laser semikonduktor serta doktornya di Kanada, 1987-1993. Gelar Doktor diraih di Universitas Waterloo setelah ia berhasil membuat desain chip atau IC untuk satelit. Selama dinegeri itu ia juga memperdalam pengetahuannya untuk pengembangan jaringan komputer dengan radio.
“Ketika di Kanada saya masih melanjutkan komunikasi lewat electronic mail ke Indonesia, dengan memakai jaringan komputer yang menggunakan gelombang radio amatir berkomunikasi dengan seniornya Rosihan Soebiakto yang mengunakan jaringan komunikasi komputer IBM,” katanya.
Kembali ke Tanah Air pengetahuannya kemudian diimplementasikan sehingga kemampuan komunikasi radio itu apat ditingkatkan menyamai kemampuan teknologi internet. Meskipun banyak ganjalan, Onno tetap jalan terus dengan proyeknya dan membentuk masyarakat tersendiri di perguruan tinggi.
Meskipun semula ia menggunakan packet radio karena terbentur dana, Onno kemudian malah serius mengembangkan kemampuan jaringan dengan altematif komunikasi itu. Yang dilakukannya adalah membuat perangkat packet radio berkecepatan 56 kbs yang masuk dalam Riset Unggulan Terpadu (RUT) I.. Ini merupakan proyek riset kerja sama PAU Mikroelektronika ITB dengan Puskom ITB. Pada RUT II propoposal pembuatan packet radio 64 kbps juga disetujui untuk dilaksanakan.
Onno pun megciptakan modem yang kapasitasny a sampai 1200 bps, bahkan telah di produksi kecil-kecilan. Produk ini dijual ke universitas lain atau mahasiswa yang punya HT. Dengan alat ini pengguna dapat berkomunikasi melalui gelombang radio namun pada jarak yang terbatas. Sekarang tengah dikembangkan pula modem berkapasitas 9600 bps sampai beta test.
DENGAN segala kemampuannya itu, sebenarnya memang bukan hal mustahil baginya untuk mendapat uang lebih banyak dan menjadi makhluk berdasi yang sering lupa membumi. Tetapi, Onno tetaplah dosen muda yang penampilannya sulit dibedakan dengan mahasiswanya. Ketika diundang ke Kompas untuk membagikan ilmu misalnya, ia datang dengan celana jeans dan kemeja lengan pendek. Tas kulit yang dibawanya muIai memudar warnanya sementara jahitan sepatunya mulai lepas di beberapa tempat.
Tetapi, kemasan memang tidak selalu mencerminkan isi. Ketika Onno mulai berbicara, sungguh terlihat betapa jauh apa yang dibayangkannya untuk mengembangkan sistem jaringan komunikasi di Indonesia, dan betapa besar energi yang dimiliki untuk mewujudkan impiannya.
Bila telah masuk lab ia bisa bertahan pagi sampai pagi lagi. Tetapi ini terpaksa berubah setelah menikah, karena diprotes isteri. Apalagi dua anak baIita juga telah meramaikan keluarganya. “Sekarang sih orangnya saja yang kelihatan di rumah. Padahal sebenarnya tetap saja kerja di depan computer,” katanya. Kalau sudah begitu, ia bisa bertahan di depan computer sampai pukul 01.00 dinihari, dan bangun lagi jam 06.00 pagi.
Ketika mulai membangun jaringan computer tahun 1986, Onno memperkirakan perlu waktu 20 tahun untuk sampai ke jaringan yang luas seperti internet. Setelah hamper 10 tahun berlalu, terbukti jumlah anggotanya terus berlipat ganda. “Sepuluh tahun lagi, saya memimpikan jaringan yang sama akan meluas ke pedesaan lewat intercom.” (Tim Kompas)
Sumber: Kompas, Senin 26 Desember 1994