Dalam suasana hingar-bingar reformasi saat ini, kegiatan yang dilakukan Dr Tukirin Partomihardjo mungkin tidak menarik. Masuk-keluar hutan, menginap berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan di dalam hutan yang lokasinya ribuan kilometer dari Ibu Kota Jakarta, dan jauh dari gemerlap kota.
Dari Taman Nasional (TN) Gunung Lauser di Aceh ke TN Bentuang Karimun di Kalimantan Barat. Dari TN Kerinci Seblat di Jambi hingga hutan-hutan di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya.
Bagi Tukirin, hari apa pun sama saja. Ia menikmati betul keberadaannya di dalam hutan. Tak peduli ketika hari ulang tahun tiba. Yang ia pedulikan, bagaimana bisa mengumpulkan berbagai contoh jenis tumbuhan untuk koleksi herbarium.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh pakar botani dan ekologi hutan lulusan Universitas Kagoshima (Jepang) ini , contoh-contoh tersebut lantas dikirim ke Herbarium Bogoriense, satu-satunya herbarium terbesar di kawasan Asia Tenggara dan diakui dunia internasional. Saat ini di Herbarium Bogoriense terkumpul sekitar dua juta nomor koleksi herbarium. Namun dari jumlah itu, baru lima persen yang sudah masuk dalam data komputer.
Keahlian Tukirin dalam soal taksonomi botani dan ekologi hutan memang langka. Jumlah ahli bidang ini di Indonesia tak banyak, bahkan bisa dihitung dengan jari. Tak heran jika di setiap ekspedisi, seperti yang dilakukannya di TN Bentuang Karimun Kalbar Mei lalu, kepada siapa pun yang menemaninya Tukirin bisa menyebutkan dengan persis nama-nama pohon yang tumbuh di tepi sungai, dan ia mampu menjelaskannya secara rinci.
DARI pengalamannya menjelajahi hutan di pelosok Indonesia, Tukirin menilai hutan di Kalimantan Barat masih sangat utuh. Jika menyebut hutan di Kalbar, berarti yang dimaksud adalah hutan di Taman Nasional Bentuang Karimun (TNBK) seluas 800.000 hektar di Kabupaten Kapuas Hulu.
Keanekaragaman hayati di TNBK, ungkap Tukirin yang sudah beberapa kali melakukan ekspedisi di sana, memang tiada bandingannya. Bahkan kekayaan flora TNBK itu dinilai sebagai yang paling kaya di seluruh Indonesia. Jika penelitian di TNBK dilakukan intensif dan berkesinambungan, Tukirin yakin kekayaan flora di TNBK mampu mengalahkan hutan Amazon di Brasil.
Hutan di Kalbar masih kaya dan mengandung banyak jenis pohon. Sungainya masih jernih, bebas polusi. ”Pokoknya hutan di Kalbar masih bisa memberikan kedamaian jiwa,” ungkapnya.
Sementara hutan di Kaltim nyaris habis karena sering terbakar, hutan di Kalsel tak utuh lagi, dan hutan di Kalteng banyak dimanfaatkan untuk lahan gambut. Sedangkan hutan di Sumatera sudah rusak oleh ulah manusia, apalagi hutan di Jawa. Hutan di Irian Jaya memang luas, tapi belum bisa dijamah manusia.
Ada pengalaman unik ketika ia menjelajahi hutan di Sumatera yang dinilainya masih seram. ”Kita memang masih bisa menikmati alam, tapi dengan perasaan was-was, karena masih banyaknya binatang buas,” tuturnya. Pada suatu pagi, ketika melakukan ekspedisi di hutan Sebrida di Bukit Tigapuluh, Rengat, Riau; Tukirin dan kawan-kawannya menemukan jejak harimau yang hanya berjarak 200 meter dari tenda mereka. Sedangkan di hutan di Bukit Duabelas di Jambi, Tukirin dan peneliti lainnya menemukan jejak-jejak beruang.
Tukirin memulai penjelajahannya ke hutan tahun 1979. Ia masuk ke hutan di Kualakurun di Kalimantan Tengah, melakukan eksplorasi botani selama satu bulan. Kemudian ia terjun ke hutan penelitian Wanariset Kalimantan Timur, meneliti perkembangan ekosistem dan dampak kebakaran hutan Kaltim tahun 1982 (salah satu hasilnya, pohon-pohon kecil berdiameter kurang dari 10 meter banyak yang mati di sana).
Ia juga terjun ke hutan Lempake, kebun botani Universitas Mulawarman di Kaltim, melakukan ekspedisi ke TN Gunung Leuser di Aceh atas kontrak dengan Universitas Harvard dalam program National Geography Society. Tukirin mengumpulkan berbagai jenis tumbuhan di hutan-hutan di Riau, Jambi, Kalteng, Sulut, Maluku, Irja. Di TN Bentuang Karimun Kalbar yang sudah dijelajahinya empat kali, Tukirin dan kawan-kawan peneliti lainnya terikat kontrak dengan WWF (World Wide Fund for Nature). Semuanya untuk tambahan koleksi herbarium nasional, yang bermanfaat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dunia.
MASA kecil dan masa remaja Tukirin tidak terlalu mulus. Sebagai anak kedua dari 10 bersaudara, lelaki kelahiran Cilacap 18 Mei 1952 harus rajin membantu orangtuanya, seorang petani penggarap. Mencari kayu bakar di hutan, mencangkul sawah, atau memanjat kelapa adalah sebagian bentuk “tanggung
jawab” untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga.
Itu semua dilakukannya sampai tamat SMA. ”Tak ada waktu untuk bermain setelah sekolah,” begitu selalu yang didengungkan orangtuanya.
”Kami tak punya warisan dari kakek dan nenek, sehingga kami harus berjuang keras untuk mempertahankan hidup, terutama agar kami dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi,” ungkapnya.
Meski ayahnya, Partomihardjo (70), hanya petani desa yang tidak tamat SD; semangat Tukirin untuk belajar tetap tinggi. Tamat SMAN Cilacap, Tukirin melanjutkan pendidikan di Fakultas Biologi Jurusan Botani Universitas Soedirman Purwokerto dan lulus tahun 1980. Selama sepuluh tahun, ia merintis menjadi pengajar bidang taksonomi tumbuhan di Universitas Pakuan Bogpr. Setelah itu, Tukirin memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Kagoshima Jepang.
Tesisnya menyangkut soal suksesi tumbuhan di Krakatau dan interaksi serangga pembuat GALL. Bagi masyarakat awam kebanyakan, tesis ini mungkin tidak populer karena tidak berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat luas, namun bagi bidang ilmu pengetahuan yang didalaminya, tesis itu tentu bermakna.
HUTAN tempat Tukirin berkelana memang nun jauh di sana. Untuk mencapai kawasan TNBK, misalnya, ia harus menempuh perjalanan 15 jam dengan bus umum dari Pontianak dan dilanjutkan dengan perahu motor melintasi sungai penuh dengan riam berbahaya selama lima jam.
Tapi itu semua tidak membuat Tukirin jauh dari ”dunia”. Meski berada di tengah rimba belantara, setiap pagi ia selalu setia mendengarkan siaran radio luar negeri. BBC London, Radio Hilversum (Belanda), dan Voice of America (AS) mendekatkannya dengan semua masalah yang terjadi di dunia, dan tentu juga di Indonesia.
Baginya, siapa pun yang memimpin bangsa ini, ia berharap memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan berupa ilmu-ilmu dasar, bukan cuma teknoIogi. Ia juga berharap pemerintah konsisten memperhatikan pelestarian lingkungan hidup, termasuk menjaga hutan-hutan di Indonesia agar tidak habis digarap oleh pengusaha HPH dan HTI. Ia menyadari jika hutan yang luas ini tidak dimanfaatkan, kita seperti ”hidup di lumbung padi, tapi mati kelaparan”.
”Sayangilah hutan kita dan jagalah paru-paru dunia,” harapnya. (Adhi Ksp)
Sumber: KOMPAS, SABTU, 13 JUNI 1998