KETIKA orang Semarang akhir-akhir ini bicara soal konservasi, yang terbayang adalah wilayah Kota Lama dan Tugu Muda. Kawasan Simpanglima pun masuk dalam hitungan. Nyaris tak terdengar suara mengenai Kota Kuno yang sebenarnya. Sisa-sisa Kota Kuno sebagai simbol pemerintahan tradisional Semarang masih bisa dijumpai.
Karena itu, agak terasa aneh jika masih ada yang peduli pada Kota Kuno Semarang. Apalagi dibarengi keinginan memulihkan bagian dari Kota Kuno yang mulai dilupakan orang. Tapi keanehan itu bukan hambatan bagi Prof Ir Agustinus Sidharta (68), guru besar arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Perasaan aneh itu akhirnya merupakan sesuatu yang wajar datang dari seorang warga kota yang dilahirkan, dibesarkan, dan bertahan hidup di tengah kebisingan Kota Semarang. Prof Sidharta ternyata tidak sendirian. Gagasan memulihkan Alun-alun Semarang, disambut kalangan politisi, budayawan, seniman, dan perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tentu saja dukungan itu cukup beralasan. Jika terhadap Kota Lama buatan Belanda dilakukan konservasi, tidak ada alasan mengabaikan Kota Lama. Masalahnya, wujud pusat Kota Lama sudah tidak nampak. Bangunan kanjengan (kabupaten) dan alun-alun beralih menjadi kawasan perdagangan. Masjid Besar Semarang pun terjepit bangunan.
Keadaan ini bukan tak disadari Prof Sidharta yang dilahirkan di Semarang, 8 Mei 1929. Karena itu ia tak berharap Alun-alun Semarang dipulihkan seperti sediakala, tapi cukup sebagian, sehingga bisa muncul benang merah sejarah lahirnya Kota Semarang. Katanya, ”yang penting, agar anak cucu kita tahu di mana dugderan harus dilakukan dan di mana pusat pemerintahan tradisional Semarang.”
BAHWA sejarah tak boleh dilupakan begitu saja, sejak dulu menjadi sikap guru besar yang juga mengajar di berbagai perguruan tinggi itu. Karena itu, sikapnya dalam melontarkan kritik sosial, khususnya terhadap pengalihfungsian Alun-alun Semarang, bukan baru ia lakukan. Tapi karena ada yang merasa lebih berhak menentukan, ia pun tak bisa berbuat apa-apa.
”Saya memahami jika memulihkan alun-alun itu sekarang, bukan hal mudah. Tapi masih bisa diharap ada upaya yang membuat alun-alun itu tidak lenyap begitu saja. Kalau tak mungkin seluruhnya, ya sebagian saja atau seberapa saja sudah cukup,” ungkapnya.
Betapa pun, sesuatu yang punya nilai sejarah apa pun keadaannya pantas dilestarikan. Bahkan salah satu syarat paling tidak berusia 50 tahun, seperti tercantum dalam UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, tidak mengikat. Yang penting, cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, demi pembentukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional.
Sebagai contoh, ungkapnya, ia menilai rumah tempat Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan, dari segi arsitektur tidak bagus. Bahwa itu harus dilestarikan, karena punya nilai sejarah. Sama halnya dengan Alun-alun Semarang yang secara ekonomis sangat berarti bagi pendapatan pemda dan pedagang.
Tapi, kepentingan orang banyak, dalam hal ini masyarakat yang memanfaatkan alun-alun untuk kegiatan budaya dan ritual, juga, perlu diperhatikan. Itu tak bisa digantikan oleh tempat lain. Simpanglima misalnya, tak mungkin menyamai kemeriahan dugderan di alun-alun.
Meski demikian, ia pun menyadari tak semua bisa dikonservasi. Kondisi saat suatu bangunan dibangun, tentu berbeda dengan keadaan sekarang. Untuk menyediakan prasarana transportasi yang makin padat, tentu ada bangunan yang harus digeser atau diubah. Dalam hal ini harus bisa memilih yang layak dipertahankan.
SIKAP seperti yang ia munculkan akhir-akhir ini menyebabkannya lebih memilih menjadi arsitek pendidik, meski pada awalnya sebagai penerima beasiswa bekerja pada Jawatan Gedung-gedung Negara. Untuk menanamkan banyak hal mengenai sejarah dan kebudayaan, seorang arsitek harus menjadi arsitek pendidik yang tidak hanya bisa mengamalkan ilmu, tapi juga mengajarkan kepada masyarakat.
Ini sudah terungkap sejak lama. Pada pidato pengukuhan guru besar tahun 1984, ia menyampaikan, sesuai perjalanan waktu, peran, tugas, dan kedudukan, arsitek mengalami banyak perubahan. Meskipun pada hakikatnya dia tetap seorang perencana dan perancang bangunan, kompleks bangunan atau kota.
Arsitek menduduki tempat penting dalam masyarakat, ibarat pendeta yang tidak hanya dengan keterampilan dan keahliannya saja tetapi dengan arif kebijaksanaannya menurunkan rakhmat dan darmanya dalam menggubah tata ruang bagi perorangan maupun masyarakat.
Peran arsitek tidak lepas dari tugas agama, karena arsitektur induk segala seni juga mewarisi tradisi yang besar, yaitu profesi pemimpin pembangunan. Jelasnya, ”arsitek tidak selalu mandapat kedudukan terhormat dalam masyarakat. Dunia modern telah mengubah peranan dan kedudukan arsitek. Arsitek pendeta telah tiada. Arsitek telah lama meninggalkan alam mistik dan peranannya sekarang bergulat penuh dalam dunia materi.”
Karena itu ia selalu mengingatkan, seorang ingin menjadi arsitek karena satu motivasi. Ada yang berharap lewat profesi ini dimungkinkan memperoleh kekayaan materiil yang memadai kemudian hari. Ada yang cita-citanya samar-samar muncul dalam benaknya, tetapi ada juga yang betul-betul terpanggil menjadi arsitek. Untuk itu, yang paling penting bagi seorang arsitek ialah harus jujur, berdedikasi penuh dengan tanggung jawab.
PILIHAN itulah yang menyebabkan Prof Sidharta tak pernah ragu mengemukakan kebenaran. Ia melakukannya secara terbuka. Meski tak dijawab langsung, kemungkinan itulah yang menyebabkannya jarang terpilih dalam suatu tim yang membutuhkan keahliannya.
Keluarganya memahami benar prinsip hidup kakek dua cucu itu. Apalagi kedua putrinya, Chandra Maitriyani yang arsitek dan Dian Murti Wedastuti yang sarjana sejarah, berpeluang memadukan obsesi ayahnya, walau keduanya bekerja di swasta.
Begitu pula istrinya, Susiyanti Sidharta, yang ia nikahi 9 Juli 1961, tak banyak berharap dari profesi suaminya, tapi mendukung penuh pilihannya sebagai pendidik. Tugas suami sebagai pendidik, menyebabkan Ny Susiyanti lebih menekuni kegiatan pada sebuah lembaga sosial di samping aktif dalam Dharma Wanita.
Kesederhanaan mewarnai kehidupan keluarga yang menempati perumahan dosen Undip sejak 34 tahun silam itu. Selama menempati rumah itu, tak banyak perubahan ia lakukan, kecuali meninggikan dasar rumah karena selalu diterjang banjir, dan membuat sebuah garasi, serta memperpanjang emper teras agar suasananya sejuk.
Sebagai arsitek yang menyelesaikan pendidikan tahun 1958 di ITB, Prof Sidharta berpeluang berkarier di pemerintahan, karena ia kemudian ditempatkan sebagai ahli teknik di Jawatan Gedung-gedung Negara di Semarang. Tiga tahun kemudian ditunjuk sebagai kepala Jawatan Gedung-gedung Negara di Surabaya.
dung-godung Nvgara d1 Semarang. Tiga mhun komumun ditunjuk sobagal ketpnlu anntan Godung-godung Negara dl Surabaya.
SEBELUM berangkat ke Surabaya tahun 1963, sejak 1962 ia diminta dan menjadi Ketua Bagian Arsitektur Fakultas Teknik Undip. Perjalanan hidup Prof Sidharta mungkin tidak seperti sekarang, jika di Surabaya ia memiliki rumah untuk tinggal bersama keluarga.
Rumah jabatan memang tersedia. Tapi masih tetap dihuni pejabat yang digantikan. Permintaan untuk menggusur pimpinan lama tidak ia penuhi karena perasaannya tak mengizinkan. Begitu pula tawaran untuk menempati bangunan bekas direksi kit, ditampik dan memilih tinggal di hotel. Itulah kemudian yang menyebabkan ia kembali dan menjadi tenaga tetap Undip sejak 1965 dan menghuni perumahan yang memadai. Persoalan bukan sekadar rumah. Ia memang tidak banyak menuntut, meski jabatan ia poroleh di Undip mulai dari kepala bagian arsitektur, Dekan Fakultas Teknik, Sekretaris Universitas, pembantu rektor, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, dan juga Ketua Jurusan Arsitektur.
Dari kehidupan di rumahnya nampak tercipta suasana kedamaian. Sebagai arsitek pendidik, kedamaian itulah yang ingin ia bagikan termasuk bagi warga Kota Semarang. (hh/dth)
Sumber: Kompas, RABU, 10 DESEMBER 1997