”SAYA belum apa-apa saat ini. Ilmu arsitektur itu ilmu jangka panjang,” kata Ir Yori Antar pada pembukaan pameran foto-foto arsitektur karyanya di World Trade Center (WTC) Jakarta, akhir Februari lalu. Pameran foto ini banyak dikomentari sebagai dokumentasi arsitektur yang komprehensif dan lengkap nuansa arsitekturalnya.
Lulusan Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) yang lalu mengajar di almamaternya ini tampaknya merendah sekali. Sebagai arsitek, ia cukup punya kelas di negeri ini. Sudah sekitar 50 karyanya menyebar di berbagai sudut Kota Jakarta dalam usianya yang masih kepala tiga. Kiprahnya di Arsitek Muda Indonesia cukup ”berbunyi” dalam menyuarakan arsitektur Indonesia baru.
”Arsitektur itu ilmu yang tidak pernah selesai, sebab ia adalah catatan peradaban juga. Seorang arsitek harus terus belajar, kalau tidak ia hanya tukang jahit bangunan,” kata salah satu pengurus pusat Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yori menyimpulkan, seorang arsitek tidak pernah mencapai titik akhir, namun kematangannya timbul pada usia lanjut. ”Kenyataannya, semua arsitek dunia yang hebat baru matang pada usia 50-60-an. Bahkan banyak yang terus berkarya sampai akhir hayatnya. Paul Rudolph yang merancang Wisma Dharmala, masih merancang saat tangannya sudah gemetaran. Juga Antoni Gaudi dari Spanyol yang bahkan sampai tidak sempat menyelesaikan bangunan Sagrada Familia di Barcelona,” kata bujangan kelahiran 4 Mei 1962 ini.
Ihwal terus belajar ini juga yang membuat dia terus berburu foto bangunan-bangunan arsitektur di seluruh dunia.
”Sebelum memotret sebuah bangunan, saya coba pelajari dulu jiwa bangunan itu. Bangunan, atau karya arsitektur lain yang berhasil, terasa punya dialog dengan lingkungannya. Bangunan dan lingkungan akan saling mendukung,” paparnya.
***
LALU, seperti apa sebenarnya arsitektur Indonesia yang sering diperdebatkan itu? Menghadapi pertanyaan ini, Yori kembali melontarkan ”mantra”-nya, ”Kita harus terus belajar.”
Menurut Yori, harus dibedakan antara arsitektur tradisional di Indonesia dan arsitektur Indonesia sendiri. Saat ini yang terjadi adalah pencomotan berbagai atribut arsitektur tradisional untuk membuat bangunan baru bertajuk ”arsitektur Indonesia”.
”Banyak bangunan sekadar beratap joglo, atau sekadar beratap Minangkabau, atau beratap dari daerah Indonesia lainnya, lalu dikatakan berarsitektur Indonesia. Yang saya lihat justru bangunan itu adalah bangunan yang tidak punya kepribadian,” kata Yori.
Pandangannya tentang almarhum YB Mangunwijaya bisa menjelaskan sikapnya sebagai arsitek. Romo Mangun yang disebutnya sebagai manusia multidimensi, selalu mampu menciptakan bangunan berkarakter yang tidak pernah sama tetapi beragam mulai dari rumah ibadah, proyek sosial hingga rumah tinggal. ”Karyanya selalu mencerminkan keindonesiaan yang ditunjang pengetahuan hingga ke detail tentang struktur dan ilmu arsitektur modern yang diperlajarinya dari Barat, tanpa lalu menjadi ke-barat-baratan,” kata Yori.
Yori memberi contoh bangunan di kompleks Kali Code, Yogyakarta, karya almarhum Mangunwijaya. ”Bangunan di Kali Code itu luar biasa. Mereka fungsional dan memenuhi kaidah bangunan tempat tinggal modern, namun suasananya tetap kampung. Kampung ya kampung. Ini yang luar biasa,” kata Yori yang memang pengagum Mangunwijaya di samping Le Corbusier dan Louis I Khan ini.
Contoh lain yang dipaparkan Yori tentang upaya mencapai arsitektur Indonesia adalah bangunan-bangunan yang dibuat Belanda di Indonesia. Yori mencatat, bangunan-bangunan itu banyak yang bisa dikatakan ”mewakili” Indonesia seperti bangunan kompleks Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sangat menggali arsitektur tradisional Sunda, dan bukan sekadar mencomot.
”Lihat bangunan tua di Menteng, Jakarta. Bangunan itu bukan jiplakan dari bangunan di Belanda. Mereka sangat tropis, dan dibuat benar-benar dengan memikirkan tempat di mana bangunan itu berdiri. Tanpa AC pun bangunan-bangunan itu nyaman dihuni,” ujar arsitek yang dipercaya membuat dokumentasi foto pada bangunan di Indonesia yang dicalonkan untuk menerima Aga Khan Award dan sekarang juga diminta masukannya oleh organisasi yang berpusat di Geneva, Swiss, itu.
KEMBALI ke definisi tentang arsitektur yang ”berdialog” dengan lingkungan, Yori justru bersyukur dengan adanya krisis moneter beberapa waktu lalu yang sampai kini imbasnya masih terasa.
”Dengan adanya krisis, banyak hal bisa direm. Dulu, arsitektur kita betul-betul diisi arogansi uang dan kekuasaan. Rusaklah berbagai tatanan. Kini, kita sepertinya membangun sesuai dengan apa yang kita punya. Ini yang patut disyukuri,” kata Yori. Sikap Yori terhadap dunia yang digelutinya sangat jelas. Salah satu penggagas forum diskusi Arsitek Muda Indonesia (AMI) ini ”cuma” punya keinginan ”sederhana” yaitu menjadi arsitek yang benar karena baik saja tidak cukup. Benar dalam pandangan Yori berarti benar dalam sikap, yaitu tampil bersahaja, tidak berlebihan, tidak mungandung kepalsuan; benar dalam hal-hal teknis seperti konstruksi, prosedur, detail pekerjaan, bahan, sehingga arsitektur bisa bertahan lama dan sesuai dengan kondisi di mana ia berada; benar dalam berinteraksi dan berdialog dengan lingkungan sosial dan fisik, dengan manusia dan iklim.
Dengan sikap seperti itu, Yori meyakini bahwa arsitektur bersifat universal, harus mampu menjawab barbagai tantangan, memecahkan persoalan sosial, kebudayaan, iklim, termasuk masalah teknis konstruksi. Dengan kata lain, arsitektur bisa membangun kota tetapi juga bisa menghancurkan. Arsitek ikut bertanggung jawab terhadap pilihan mana yang diambil.
”Saya hanya ingin menjadi arsitek yang dikenal karena karakternya. Banyak sekali contoh bangunan di dunia yang mempunyai karakter dan langsung terbaca ’tanda tangan’ arsitek yang membangunnya, terlepas dari bangunan berkarakter yang dibangun itu berhasil atau tidak,” tambah Yori.
Akhirnya, menyikapi berbagai pertanyaan yang menghunjaminya, Yori lalu mengembalikan segala hal kepada pendidikan. Menurut dia, bila sebuah pendidikan benar maka lulusan yang dihasilkannya pun akan bekerja dengan benar.
Lalu, sudah benarkah pendidikan arsitektur di Indonesia?
Terkesiap oleh pertanyaan ini, Yori sempat terdiam sesaat. Dengan hati-hati ia mengatakan, ”Kita masih terlalu akademis, ya. Maksud Saya, pendidikan arsitektur di Indonesia kurang banyak belajar dari lapangan. Kasarnya, kalau anak UI akan sangat UI. Kalau anak ITB akan sangat ITB…”
Banyak berpikir dan banyak bereksperimen memang cocok untuk menggambarkan Yori Antar. Contohnya bangunan di Cinere, Jakarta Selatan, yang diberinya nama Galeri Puzzle itu memang lalu menjadi puzzle atau sesuatu yang harus dipecahkan. Dibangun sejak tahun 1992, Galeri Puzzle yang direncanakan Yori menjadi rumahnya merekam perjalanan Yori sebagai arsitek, termasuk pendalamannya tentang arsitektur tropis. Sampai sekarang pun ada bagian rumahnya yang belum diselesaikannya karena ia belum menemukan sesuatu yang unik.
Kegelisahan Yori memang kegelisahan arsitektur Indonesia. Di satu sisi kegelisahan adalah ketidaktenteraman, namun di sisi lain kegelisahan adalah stimulus untuk terus maju. ”Penjelajahan berarti suatu penemuan baru. Bila pencarian telah berhenti, berarti itu awal kemandekan. Saya memang terus gelisah, mungkin karena semakin banyak tahu ternyata semakin sedikit tahu.” (arb/mh/nmp)
Sumber: KOMPAS, SABTU, 4 MARET 2000