IDEALNYAterdapat mata rantai yang menghubungkan antara riset dasar dan sektor industri (lihat gambar). Mata rantai tersebut adalah riset terapan, dan riset pengembangan yang harus ada dalam kubu perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Di samping itu di kubu industri seharusnya terdapat perangkat yang sama yang menyelenggarakan riset terapan, riset lanjutan dan pengembangan, dalam suatu interaksi yang terpadu dengan perguruan tinggi. Mata rantai itulah yang justru lenyap, sehingga nampak sekali perguruan tinggi/lembaga penelitian dan sektor industri merupakan dua kubu yang berdiri sendiri dan tidak ada keterkaitan satu sama lain.
Perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Indonesia terlalu sibuk dengan riset untuk ilmu, atau riset untuk riset itu sendiri, atau paling jauh riset untuk mengembangkan konsepsi baru. Jarang sekali lembaga-lembaga tersebut melaksanakan riset pengembangan, riset untuk mengubah konsepsi ilmiah menjadi teknologi terapan yang dapat dimanfaatkan oleh sektor industri.
Perbedaan
Ada perbedaan dasar antara negara industri dan negara berkembang dalam konsep pengembangan riset dan teknologi. Perbedaan pertama adalah sulitnya peneliti di negara berkembang dan juga di Indonesia memperoleh pengetahuan dasar yang memadai. Tetapi yang lebih penting adalah rendahnya minat dosen dan peneliti menggali informasi baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, riset dasar yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian praktis merupakan penelitian dasar yang benar-benar murni. Dengan kata lain hasil penelitian dasar hanya menjadi bagian dari pengetahuan dasar itu sendiri.
Keberhasilan ilmuwan mentransfer gen insulin dari pankreas ke bakteri E. coli menimbulkan tantangan baru yang memacu ilmuwan di negara maju memetakan gen manusia lebih lengkan. Transfer gen menimbulkan tantangan baru yang memacu ilmuwan di negara maju memetakan gen manusia lebih lengkap. Transfer gen merupakan satu sisi dari teknologi, sedangkan pemetaan gen merupakan riset dasar.
Ketiga, di negara maju riset terapan mendapat perhatian serius karena merupakan jembatan yang menghubungkan antara kalangan universitas dan pengusaha. Keduanya bahu membahu dalam melaksanakan riset terapan yang membentuk sintesis erat antara kalangan universitas sebagai sumber informasi dengan pengusaha sebagai pemasok dana penelitian.
Di Indonesia ikatan tersebut lemah bahkan sering timbul kecurigaan jika seorang dosen atau peneliti mulai membangun hubungan dengan pihak swasta, dengan tuduhan yang kadang-kadang kejam yaitu ”melacurkan ilmu”.
Keempat, berbeda dengan negara industri, di Indonesia tidak ada kesinambungan antara komponen riset dengan komponen industri/pemasaran. Dalam proses yang ideal, riset lanjutan dan pengembangan teknologi merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dan harus ada baik pada komponen riset maupun komponen Industri (lihat gambar).
Kelima, sektor industri di Indonesia khususnya sebagian besar menggunakan teknologi impor yang langsung masuk menjadi komponen industri tanpa melibatkan sektor penelitian yang berbasis di perguruan tinggi dan lembaga penelitian.
Keenam, mirip dengan kelima, sektor industri tidak memiliki kemampuan riset dan pengembangan teknologi kecuali beberapa industri tertentu yang secara persentatif sangat rendah dibanding dengan seluruh industri yang ada di Indonesia.
Ketujuh, tiadanya hubungan antara ilmuwan dengan sektor industri menyebabkan dana penelitian yang tersedia untuk peneliti menjadi sangat terbatas. Menyempitnya dana menyebabkan lingkaran setan yang tak berujung pangkal. Di satu pihak dosen dan peneliti berkeinginan besar untuk meneliti tetapi tidak ada dana.
Di lain pihak karena sedikitnya penelitian menyebabkan tidak ada hasil nyata yang bisa dimanfaatkan sektor industri. Di Jerman Barat industri kimia dan farmasi dalam tahun 1987 mengeluarkan dana DM 860 juta (Rp 835 milyar) untuk riset bioteknologi yang berbasis di perguruan tinggi, sedangkan dana dari pemerintah hanya DM 222 juta. Di Indonesia kita hanya mampu menadahkan tangan ke pemerintah untuk membiayai penelitian yang kita lakukan.
Pemecahan
Sampai saat ini hubungan yang terjalin antara perguruan tinggi dan pengusaha hanya sebatas saling undang saja. Artinya perguruan tinggi mengundang pengusaha untuk ceramah di kampus sebaliknya pengusaha mengundang para elite ilmuwan untuk mengemukakan gagasan dan wawasannya dalam memporkas (fore cast) masa depan. Hubungan yang membaik ini perlu dikembangkan ke arah kerja sama riset dan pengembangan teknologi.
Faktor lain, pengertian tentang riset dasar perlu dibenahi. Jika riset dasar diartikan riset untuk ilmu, maka penulis sependapat dengan gagasan bahwa prioritas utama diletakkan ke penelitian terapan dan pengembangan, bukan di riset dasar. Sebab selama ini riset dasar yang dilakukan di Indonesia, sebagian besar hanya mengulang sesuatu yang sudah dikerjakan orang lain. Jika kita rajin membuka khasanah hasil penelitian, nampak sekali banyaknya penelitian yang hanya berputar di satu masalah.
Konsepsi riset dasar perlu diperbaiki dan diarahkan untuk memecahkan masalah yang muncul di riset terapan dan pengembangan, sehingga riset dasar yang dilaksanakan benar-benar tepat sasaran.
Pandangan lain yang kurang tepat adalah kita tidak perlu mengadakan riset sendiri, sebab memakan biaya yang sangat besar impor saja teknologi yang sudah jadi. Hal ini benar-benar pola pikir yang sangat menjerumuskan, yang menyebabkan ketergantungan yang semakin besar kepada raksasa teknologi dunia.
Terakhir, perlunya membangun jaringan informasi antar perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan industrialis. Banyak informasi panting yang muncul pada waktu seminar, lokakarya, maupun simposium tidak mencapai kalangan industri karena diselenggarakan dalam lingkup terbatas. Di samping itu informasi baru yang terdapat dalam jurnal-jurnal ilmiah tersaii dalam bahasa ilmiah yang terlampau tinggi untuk mampu dicerna oleh kaum pengusaha. Untuk itu perlu usaha untuk “menerjemahkan” karya ilmiah tersebut dalam bahasa awam yang mudah dimengerti dan diterapkan.
Dapat disimpulkan, selama mata rantai yang hilang tersebut belum terwujud selama itu pula kita akan selalu ketinggalan kereta teknologi.
Dwi Andreas Santosa, dosen dan peneliti pada Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Tanah IPB
Sumber: Kompas, 13 Desember 1989