Ketika pemerintah mencanangkan pembukaan satu juta hektar lahan gambut, harapan mewujudkan program itu seolah ditumpukan kepada para ahli gambut. Namun, harapan itu pun diwarnai kekhawatiran mengingat jumlah ahli gambut Indonesia bisa dihitung dengan jari. Sementara pusat riset gambut belum dimiliki, meski tak sedikit mulai berkiprah melalui riset gambut yang diselenggarakan BPPT.
Sejak itu pula, Bambang Setiadi selaku Ketua Umum Perhimpunan Gambut Indonesia (HGI) yang juga Ketua Tim Riset Gambut BPPT, mulai memberi perhatian lebih pada megaproyek di Kalimantan Tengah. Betapa tidak, ahli gambut BPPT ini melihat megaproyek itu tak mungkin mencapai sasaran, jika pemanfaatan gambut masih seperti selama ini.
Itu pula yang merangsang Bambang Setiadi menggumuli lebih dalam persoalan lahan gambut. Kebetulan dalam pendidikan pascasarjana dia memilih gambut sebagai obyek penelitian. Karena itu, selain bertekad meraih doctor, sekaligus menghasilkan konsep baru pemanfaatan lahan yang selama ini belum memberi andil bagi produksi pangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perhatiannya pada lahan gambut kemudian mengantar Bambang Setiadi meraih gelar doktor di UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta, Senin (27/5). Sebagai doktor ke-276 UGM, konsep baru yang dikemukakan memberi harapan bagi pengelolaan lahan gambut. Setidaknya lewat penelitiannya, lahan yang ditingkatkan kesuburannya bisa menaikkan produksi kedelai.
Dengan penelitian itu dia juga membuktikan kekeliruan pemanfaatan lahan gambut. Tanpa mengurangi arti keberhasilan yang dicapai di lahan gambut Kalimantan selama ini, lahan itu diperlakukan tak beda dengan sawah lainnya. Padahal, gambut yang unsur organiknya di atas 50 persen, lebih dulu harus ditingkatkan kesuburannya agar unsur organik dan mineral seimbang.
”Keliru jika pemanfaatan gambut sama seperti sawah di Klaten yahg subur,” ujarnya.
KEPRIHATINAN pada usaha pertanian pangan andalan Indonesia, sejak lama jadi obsesi Dr Ir Bambang Setiadi SU yang dilahirkan di Magelang Jawa Tengah, 23 Mei 1952. Sejak kecil ia tidak tidak mengenal gambut. Tapi entah apa yang membuatnya tertarik mengajak anak muda seperti dia untuk pergi ke timur sebelum ungkapan KTI (Kawasan Timur Indonesia) tercetus. Ini terlihat dari tulisannya di sebuah koran daerah tahun 1978 berjudul Pergilah ke Timur Anak Muda.
Lalu tiba-tiba ia diminta terlibat pada Seminar Gambut Dunia tahun 1985 di Yogyakarta sebagai penterjemah. Ketika itu ia mengajak beberapa orang untuk membentuk HGI, dan ternyata banyak yang berminat. Kemudian dalam peninjauan peserta seminar ke Kalimantan Tengah, ia pun jadi lebih tertarik pada gambut .
”Inilah masa depan pertanian pangan Indonesia dan bisa diolah seperti di California di AS ” ujarnya.
Meski beberapa kali harus mempertaruhkan nyawa untuk bisa lebih dekat dengan gambut, tak membuatnya kendur. Misalnya ia pernah terkatung-katung 11 hari di lahan gambut antara Palembang dan daerah transmigrasi di Sumatera Selatan. Pernah pula ia terkurung di tengah kebakaran gambut dan terbentur rel lori di lahan gambut.
Setelah bekerja di BPPT, Setiadi terlibat aktif pada Tim Tanah Gambut dan hingga sekarang menjabat Ketua Tim Riset Gambut serta Koordinator Proyek Pusat Riset Gambut Tropika (Purigatro). Baginya, mengatasi lahan pertanian tak cukup melihat masalahnya saja. Tapi butuh kemauan untuk terlibat.
”Ibaratnya penderita lepra, tidak hanya disembuhkan tapi juga diberi peluang untuk berperan,”ungkapnya.
Dalam hai ini, bagi Bambang Setiadi gambut akan jadi andalan menyelesaikan masalah. Tapi faktanya,gambut itu lahan yang kesuburannya rendah, sehingga jaminan utama pemanfaatannya sebagai lahan pertanian adalah kesuburan.
”Harus dibuat konsep baru mengatasi kesuburan di lahan gambut. Arah pikiran baru untuk konsep itu ialah lebih dahulu harus dilakukan penyuburan sebelum dimanfaatkan dan menciptakan kondisi supaya siap dimanfaatkan,” tegasnya.
PERSOALAN yang kemudian dilihat ialah bagaimana menyuburkan lahan gambut. Ia berpaling ke Jawa Sumatera, dan Sulawesi, yang daerahnya memiliki gunung berapi, yang memberi unsur organik dan mineral secara berimbang pada lahan pertanian. Sementara 129 gunung api di Indonesia atau 17 persen dari jumlah gunung api di dunia bisa dimanfaatkan. Sejak itu ia berpikir untuk memberikan abu vulkan pada lahan gambut, karena abu vulkan mengandung mineral terbaik.
Itulah sebabnya, konsentrasi penelitiannya diarahkan pada abu vulkan untuk menyediakan unsur penting bagi lahan gambut dengan membuat produk abu vulkan jadi pupuk yang baik. Setelah konsep yang diajukan diuji secara ilmiah, tahun ini BPPT akan memanfaatkannya pada skala yang lebih luas.
Yang kemudian jadi pertanyaan ialah bagaimana menyediakan 10 ton abu vulkan untuk satu hektar lahan gambut. Namun itu tak merisaukan karena jumlah itu untuk tiga musim tanam atau tiga ton satu musim tanam. Untuk penelitiannya, ia mendatangkan sendiri abu vulkan dari Merapi dengan ongkos Rp 67/kg yang berarti jauh lebih murah daripada harga pupuk. Setelah dihitung, biaya itu rendah dibanding produksi yang diharap, yaitu Rp 1.000 sampai Rp 1.500/m.
”Prinsipnya, upaya itu membuat gambut terpakai, karena tanpa itu gambut tidak terpakai,” tuturnya.
Kekhawatiran lain seperti ungkap Prof AM Satari, teknologinya tersedia tapi komitmen buat melaksanakannya tidak ada. Seperti teknologi pengapuran lahan yang sudah lama diperkenalkan tapi tak dilakukan petani karena tak ada komitmen menyediakan dana bagi petani untuk melaksanakan pengapuran.
Namun ini tak merisaukanDr Bambang Setiadi, sebab dengan konsep baru yang disodorkan, penyuburan gambut tidak diserahkan kepada petani. Pemberian abu vulkan harus dilakukan pemerintah. Petani tinggal menerima lahan yang sudah subur.
”Pemanfaatan teknologi membutuhkan komitmen untuk suksesnya program satu juta hektar,” katanya.
MERAIH gelar doktor bagi Bambang Setiadi bukan saja dihadapkan pada keprihatinan pada lahan gambut. Ia juga menghadapi sulitnya program pendidikan doktor karena standar pemerintah untuk biaya penelitian hanya Rp 1 juta/tahun. Dari 17 unit penelitiannya, 10 unit di Kalimantan Barat perlu biaya Rp 1 juta sekali jalan menuju lokasi penelitian lapangan.
Duka paling dalam dialaminya ketika putra sulungnya dari perkawinan dengan Widarti meninggal sewaktu ia melakukan penelitian di Kalimantan Barat. Hanya karena ia menikmati profesi peneliti serta dorongan ayahnya –purnawirawan polisi W. Poerwowasito dan ibunya Marjatoen, anggota DPRD II Magelang– membuat dia mampu menyelesaikan penelitian.
”Jika saya mengeluh menghadapi cobaan dan sulitnya pendidikan doktor di Indonesia, saya bisa patah semangat,”ungkapnya.
Melalui penelitiannya ia membuktikan perlunya perubahan visi dalam program pendidikan doktor di Indonesia. Perubahan yang diharapkan ialah tidak digunakannya sistem paket biaya yang disediakan pemerintah, ditetapkan berdasar proposal yang diajukan.
Perubahan ini diperlukan, agar pendidikan doktor pertanian difokuskan di Indonesia, karena masalah pertanian di Indonesia sangat besar. Contohnya, ia tak melihat doktor pertanian yang mengerti produksi gandum. Sementara impor gandum Indonesia empat juta ton setahun, berarti lebih besar dibanding produksi beras.
Di sisi lain, ahli gambut untuk menangani 27 juta hektar lahan, masih terbatas. Pusat studi gambut baru tahun ini akan diresmikan di Kalimantan Barat. Padahal, Malaysia yang hanya memiliki dua juta hektar, punya enam unit pusat studi gambut.
”Akibatnya, untuk perkabunan sawit di lahan gambut, kita terpaksa manunggu hasil penelitian mereka,”kata Bambang Setiadi.
Meski demikian, yang paling berkesan bagi Bambang Setiadi ialah sesaat satelah menerima gelar doktor dengan hati lapang ia menerima pesan promotor utama Prof Dr Ir Soemantro Sastrosoedarjo. Yang dirasakan menyentuh ialah ketika dikatakan seorang doktor harus menjadi pengabdi pada keahliannya.
Pesan itu kini selalu terngiang. Ia berdoa agar tidak menjadikan predikat doktor yang diraihnya berada di atas segala-galanya. Ia ingin menempatkan pengabdian di atas segala-galanya. Apalagi tantangan dihadapannya justru semakin besar karena uji coba penyuburan lahan gambut akan dilakukan mulai tahun ini juga. (dth)
Sumber: Kompas, Jum’at, 7 Juni 1996