Beberapa saat setelah menjabat Rektor Universitas Mataram (Unram) empat tahun lalu, Prof Dr Sri Widodo mengeluhkan sikap kalangan manengah ke atas di Nusa Tenggara Barat. Alasannya, kelompok ini lebih memilih PTN maupun PTS di kota besar terutama di Jawa untuk pendidikan anak-anaknya dibanding Unram di daerah sendiri.
Keluhan itu cukup beralasan. Misalnya dibanding PTS di kota besar dengan biaya pendidikan dan biaya hidup yang tinggi, Unram bisa jadi pilihan untuk menekan biaya tersebut. Selisih biaya itu bisa digunakan menopang pendidikan di Unram sekaligus membantu mereka yang kurang mampu.
Namun, hingga saat ini tak sedikit mahasiswa PTN/PTS di Jawa berasal dari kalangan menengah terutama pejabat di NTB. Mungkin bagi orangtua atau mahasiswa itu sendiri –lepas dari mereka yang diterima PTN terkenal– soal status masih diutamakan. Memasuki PTN di daerah sendiri seolah mengurangi kebanggaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski demikian, ada juga yang merantau karena pendidikan di daerah sendiri kurang mendukung iklim akademis seperti yang bisa diperoleh di kota besar. Iklim akademis di Unram nyaris tak dijumpai di daerah berpendapatan per kapita terendah di Indonesia itu. Namun ini tak berarti staf S2 dan S3 tak cukup tersedia, tapi mereka lebih bergulat meraih posisi struktural.
Iklim pendidikan di Unram empat tahun terakhir ini seolah tak mengalami perubahan, kecuali menghasilkan dua guru besar yang diharapkan menopang peningkatan kualitas pendidikan. Salah satu dari guru besar itu adalah Prof Dr dr Mulyanto yang meraih jabatan itu dalam usia tergolong muda, 46 tahun.
UNTUK mendorong daerah NTB yang mulai melepaskan diri dari kemiskinan struktural, Unram dituntut memiliki sasaran ilmiah yang tepat. Setidaknya Unram sudah harus memiliki Pola Ilmiah Pokok buat memperjeIas perannya. Bukan hanya untuk mengangkat kemampuan sendiri, tapi yang lebih penting manfaat bagi daerah sebagai lingkungannya.
Upaya ke arah itu sudah dilakukan sejak awal tahun 80-an. Waktu itu terdengar keinginan menetapkan Ekologi Kepulauan sebagai PIP Unram. Ada pula yang menghendaki Pengembangan Wilayah Wallace bagian Selatan serta Teknologi Lahan Kering sebagai PIP. Walau belum pasti dipilih, Prof Ir M Qazuini MSc saat menjabat rektor menyatakan PIP yang sedang dikembangkan adalah Pemanfaatan Teknologi Lahan Kering.
Namun kalangan di Unram menyebut belum semua sadar pentingnya PIP bagi sebuah universitas. Masih ada yang mengkaitkan PIP dengan kepentingan fakultas. Jadi pemilihannya tidak berdasarkan kepentingan daerah, tapi pada egoistis fakultas. ”Padahal semua bisa dikembangkan mendukung perwujudan PIP,” tukas seorang dosen.
Nampaknya kondisi itu timbul akibat lemahnya staf pengajar Unram, Karena itu Unram memang memerlukan standarisasi tenaga dosen, untuk melangkah maju. Meski tak sedikit yang menyandang S2 dan S3, Unram baru sekadar mampu melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran dari tiga fungsi (tri darma) perguruan tinggi. Waktu bagi seorang dosen habis untuk mengajar, tak tersisa untuk kepentingan masyarakat.
UNRAM memang diharap berperan besar bagi daerah. Untuk itu, tenaga pengajar cukup memadai terutama fakultas eksakta. Hanya masalahnya, kualitas dosen yang sebagian besar tergolong muda. Upaya peningkatan dilakukan melalui pendidikan S2 dan S3 dengan mengupayakan tenaga muda tak lebih cepat tergiur jabatan struktural.
Dengan kondisi ini, sebenarnya Unram cukup berperan bagi daerah. Sebut saja Dr Ir Parman yang mengembangkan tanaman pakis pengganti pupuk agar petani tidak berlebihan menggunakan pupuk organik. Atau Dr Ir Kantun yang mengembangkan jenis padi untuk lahan kering.
Bahkan, Prof Dr dr Mulyanto yang tidak pernah berminat menduduki jabatan struktural, mengangkat nama daerah dan Unram ke tingkat internasional. Sebagai ahli hepatitis yang khusus meneliti virus penyebab utama radang hati, bersama koleganya di Kelompok Kerja Hepatitis (KKH) Mataram, ia mampu membuat Pulau Lombok dan Unram dikenal hingga mancanegara. Ini dilakukan karena pengidap hepatitis di Indonesia tergolong tinggi, sekitar 3-17 persen dari jumlah penduduk, terutama di luar Jawa 10-17 persen.
Sejak meraih gelar doktor di Unair, Prof Mulyanto memperkaya pengetahuan tentang VHB melalui disertasi: Perbedaan Imunogenisitas Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg) dari Berbagai Subtipe, Studi Seroepidemiologik dan Eksperimental di Surabaya tahun 1992. Prof Mayumi Makoto, ahli hepatitis dari Jichi Medical School, Jepang menyebut penelitian itu pertama dilakukan peneliti VHB. Karena itu, hasilnya tak hanya bermanfaat bagi ilmu kedokteran di Indonesia, tapi seluruh dunia. Terutama studi seroepidemiologik subtipe virus dikaitkan dengan fenomena imunologis Virus, yaitu subtipe virus dikaitkan dengan kuantitas antigen pre-S2 dan frekuensi HBeAg pada serum pengidap VHB.
Karena itu, guru besar kedua Unram kelahiran Cilacap, Jawa Tengah 20 Mei 1948 itu melihat Unram bisa jadi ajang meningkatkan kemampuan iptek. Apalagi tersedia laboratorium dengan peralatan canggih didukung milik Laboratorium Hepatika Mataram sebagai pusat penelitian hepatitis di Indonesia.
PENELITIAN memang merupakan pilihan putra kedua dari sembilan bersaudara seorang pegawai Dinas Kesehatan di Cilacap itu. Seusai meraih gelar dokter dari UGM Yogyakarta tahun 1974 ia bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang membawanya bertugas di Mataram, meski tidak sebagai pengajar karena tidak ada fakultas kedokteran di Unram. Tapi melihat peluang penelitian sebagai ajang meningkatkan pengetahuan, ia kemudian memilih sebagai pengajar di Fakultas Peternakan Unram.
Apalagi mengajar dalam bidang fisiologi dan biokimia, membuat ia punya banyak waktu meneliti virus hepatitis di Mataram. Bersama KKH Mataram membuat ahli hepatitis dunia menunjang penelitian di Mataram sampai berdiri Laboratorium Hepatika Mataram tahun 1987. KKH Mataram pun dipercaya meneliti hepatitis-B di sebagian wilayah Indonesia, antara lain NTT Kalimantan, Irian Jaya, dan Jawa.
Dalam masalah hepatitis terutama virus hepatitis, kemampuan Prof Mulyanto tidak diragukan lagi. Kini, kemampuannya diuji ke bidang yang sejak semula nyaris tak pernah disentuh yaitu jabatan struktural di lingkungan Unram. Hari Rabu (7/5) ini, Mendikbud Wardiman Djojonegoro melantik Prof Mulyanto sebagai Rektor Unram periode 1997-2001 yang bisa dipastikan menghadapi tantangan berat di awal abad XXI.
Karena itu, sebagai pengajar yang sejak awal lebih memilih karier penelitian, seolah dituntut membedah persoalan perguruan tinggi yang berupaya menapak maju. Barangkali hal ini tak bisa disebut lebih mudah ketimbang mengurus perilaku virus hepatitis yang bukannya tidak aneh seperti virus hepatitis-C yang sering berubah dan tanpa wujud.
Meski demikian, satu hal yang jadi tekadnya memikul tugas sebagai rektor ialah menciptakan iklim akademis di lingkungan Unram. Tugas ini memang tidak ringan dan memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Prof Mulyanto sendiri mengakui, tak sedikit yang harus dilakukan guna mewujudkan harapan itu kelak.”Paling tidak, saya ingin mengajak rekan-rekan menekuni penelitian yang setidaknya bermanfaat bagi daerah agar peran Unram meningkat,” ungkapnya.
Agaknya, keteladanan membuat Prof Mulyanto diharap menjadi panutan bagi civitas akademika Unram. Jika iklim itu tercipta, bukan saja masyarakat NTB, tapi dari luar daerah juga menjadikan Unram pilihan ajang menimba ilmu.
Ini berarti tugas baru akan semakin menyita waktu termasuk yang seharusnya buat keluarga, bagi istrinya Dra Ny Enny Yulianti yang juga dosen Fak Peternakan Unram dan kedua anaknya Joko Anggoro (18) dan Joko Prakoso (16). Meski sibuk Prof Mulyanto masih menyediakan waktu buat mereka, setidaknya sambil menyalurkan hobinya memancing di laut. (dth)
Sumber: Kompas, Jum’at, 9 Mei 1997