Membelah perut berukuran kurang dari dua millimeter untuk mencari indung telur, lalu menghitung jumlah telur di dalamnya, pasti bukan pekerjaan yang menarik banyak orang. Namun, Dr Damayanti Buchori (3 9) menemukan pekerjaan itu sangat menantang dan bisa membenamkannya berjam-jam di dalam laboratoriumnya di Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
Anak ketiga dari empat bersaudara Dr Mochtar Buchori ini sejak remaja sudah menaruh minat terhadap keseimbangan alam. Sepulang ayahnya dari Boston, Amerika, keluarga Buchori mukim di Salatiga pada tahun 1970-1971. Di kota sejuk di Jawa Tengah itulah Damayanti menikmati suasana yang benar-benar berbeda dari Boston yang baru ditinggalkannya ”Sekolah saya berlantai tanah dindingnya setengah papan setengahnya lagi gedek (anyaman bambu),” tuturnya. Di sekolah itu, dan kemudian ketika keluarga Buchori pindah ke Semarang, Damayanti belajar bahasa dan kebudayaan Jawa termasuk wayang, dan ia merasa sangat beruntung.
Tahun 1970-an, sebelum mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat, terjadi ledakan hama wereng yang menyerang tanaman padi dalam skala luas. Rupanya penggunaan varietas yang seragam dalam hamparan sawah yang luas tidak adanya tenggang waktu tanam, dan kemungkinan karena penggunaan pestisida secara intensif sebagai cara mengendalikan hama, mengakibatkan ledakan wereng. “Kejadian itu sangat menarik perhatian saya. Kenapa keseimbangan lingkungan berubah,” tutur Damayanti di kantornya di Bogor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu semakin memperkuat minatnya terhadap masalah lingkungan. Itu masih ditambah lagi dengan keinginannya untuk mengerjakan sesuatu yang berbeda. Ketika diterima di IPB setelah kembali dari Amerika, Damayanti ingin bekerja dengan sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan tetapi berbeda dari orang kebanyakan.
”Saya sempat bimbang memilih masuk ke fakultas kehutanan, masuk ke agronomi (budidaya tanaman) atau ke hama penyakit tanaman. Akhirnya saya memilih Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman karena mahasiswa diajar tentang pestisida. Lagi pula banyak orang tidak mau mengerjakan serangga karena ada rasa jijik melihat kecoa, misalnya,” tambah Damyanti, Lagi-lagi keinginan mengerjakan sesuatu yang berbedalah yang akhirnya membuat ,Damayanti menekuni serangga.
BUKAN sembarang serangga yang menarik perhatian Damayanti. Ia memilih menekuni penelitian dasar tentang serangga jenis parasitoid, yaitu serangga yang memarasit serangga lain. Karena memarasit serangga lain, ukuran serangga itu beragam, paling besar hanya dua mm. Parasitoid yang sedang ditelitinya ada tiga genus, yaitu Trichogramma dan Telenomus untuk fase telur, dan Eryborus untuk fase larva. Karena serangganya saja ukurannya sudah mungil, maka bisa dibayangkan seberapa besar ukuran telur atau larvanya.
Bidang yang dipelajari Damayanti di tempatnya meneruskan pendidikannya ke jenjang S-2 di University of Illinois at Urbana-Champaign dan S-3 di Indiana University, Bloominton, AS, juga bukan bidang yang biasa-biasa. Ia mempelajari tentang evolusi serangga sehingga ketika kembali ke Bogor pada tahun 1993 ia mulai meneliti bagaimana mendapatkan sebanyak mungkin betina dari genus serangga yang menarik minatnya tersebut.
”Karena yang memarasit adalah telur dan larva, dan yang bertelur dan menghasilkan larva adalah serangga betina, maka yang penting adalah bagaimana mendapatkan sebanyak mungkin serangga betina, ” tutur ibu dari Dana (12), Dini (6,5) dan Mayang (4,5).
Ternyata, pengembangbiakan di laboratorium cukup sulit. Bukan perkara ukuran serangganya yang kecil saja yang berarti perlu ketelitian ekstra ketika membedah indung telur dan menghitung jumlah telur di dalam perut si serangga, tetapi juga mempelajari tingkah laku serangga untuk mengetahui apa yang membuat serangga itu menghasilkan telur betina dan telur jantan.
Menurut Damayanti, serangga betina memiliki rangkaian gen diploid sementara serangga jantan haploid (tunggal). Serangga betina yang tidak kawin menghasilkan telur haploid yang berarti menghasilkan keturunan yang seluruhnya jantan. Tetapi, ketika kawin ia menghasilkan telur yang bisa diploid atau haploid. Apakah telur yang akan dihasilkan itu jantan atau betina, sepenuhnya berada di bawah kontrol si induk betina.
Serangga yang diteliti Damayanti, hanya sekali kawin seumur hidup dan sperma dari serangga jantan disimpan di dalam spermatekanya. Ketika akan bertelur, induk betina memainkan otot spermateka untuk mengeluarkan simpanan sperma atau tidak mengeluarkan. Keputusan itu diambil tergantung suasana lingkungan dan Jenis serangga, misalnya bisa karena kehadiran betina lain. Bila ada betina lain, induk memilih membuahi telurnya karena lebih banyak serangga jantan keturunannya bisa membuahi lebih banyak telur.
”Ini yang menarik pada parasitoid karena bisa memainkan nisbah kelamin,” kata Damayanti. ”Ini juga yang membuat saya lebih mengerti tentang dunia.” Pada hampir semua jenis makhluk hidup, betina lebih pemilih, selalu hati-hati memilih telurnya akan diberikan kepada jantan yang mana, sementara jantan lebih ”murah hati”, menjual kepada banyak betina. ”Itu teori evolusi, sehingga dunia menjadi seperti saat ini’
Penelitian Damayanti untuk proses penentuan nisbah kelamin itu termasuk salah satu penelitian yang didorong oleh IPB untuk mendapatkan hak paten.
MESKIPUN ia menyenangi bidang penelitian dasar, tetapi Damayant tidak bisa menutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia yang membawanya memasuki juga dataran penelitian terapan. Karena itu, selain meneliti dan mengajar di IPB, ia juga rajin berkunjung ke berbagai SD terutama di Bogor untuk menggalang kesadaran sejak dini tentang pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk dengan menghargai serangga. Ia juga menggalang mahasiswa dan bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk memasyarakatkan kesadaran tentang konservasi lingkungan.
”Minat dan kerja saya sekarang akhirnya lebih ke konservasi serangga, peranan serangga, yang lebih dalam lagi dari parasitoid. Misalnya serangga sebagai jasad renik yang menguraikan limbah seperti rayap. Orang sering memusuhi rayap, tetapi tanpa rayap tunggul kayu di hutan akan tetap tinggal sebagai tunggul kayu. Tidak ada siklus kehidupan. Serangga bahkan sebagai pemakan tanaman, ia adalah juga bagian dari siklus kehidupan. Kebanyakan orang selalu melihat dari sudut pandangnya sendiri, tidak mau melihat dari peran yang lebih luas,” tuturnya.
Dalam konteks itu Damayanti ingin menjadi jembatan antara konservasi dan pertanian yang sering dilihat sebagai ancaman terhadap kelestarian lingkungan karena antara lain penggunaan pestisida. Dengan menggunakan serangga, serangga yang dianggap hama dapat dikendalikan, seperti yang oleh pemerintah selama sekitar 10 tahun terakhir diperkenalkan dengan sukses sebagai pengendalian hama terpadu. Pemikirannya ini yang akhirnya memenangkan The Iris Darnton Award for International Nature Conservation senilai 20. 000 poundsterling dari sebuah yayasan di Inggris yang sepenuhnya dibiayai oleh pribadi-pribadi yang menaruh perhatian pada pelestarian lingkungan. Penghargaannya awal tahun ini diserahkan oleh Putri Anne dari Inggris.
Menurut Damayanti, uang itu akan digunakannya untuk menyeleksi tumbuhan gulma yang digunakan masyarakat Kasepuhan di Gunung Halimun, Jawa Barat, mengusir hama penyakit dan pengembangan kesadaran pengendalian hama terpadu di Subang, Jawa Barat.
”Saya membayangkan penelitian harus bisa membantu menaikkan posisi tawar pemerintah di dunia internasional. Hutan, misalnya, bisa menaikkan posisi tawar dengan negara industri. Mereka menuntut hutan dilestarikan karena setiap saat menyerap karbondioksida, tetapi untuk itu mereka harus membayar. Hal-hal seperti ini untuk kebaikan Bumi dan makhluk hidup di dalamnya, lingkungan hidup, bukan cuma untuk manusianya,” kata Damayanti. (Ninuk Mardiana Pambudy)
Sumber: Kompas, Sabtu 1 Juli 2000