Iwan Kurniawan hari Kamis lalu (25/2) tak puas dengan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Hampir semua pertimbangan yang dipakai PTUN untuk menolak gugatan Iwan kepada Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang memberhentikannya sebagai pegawai negeri sipil, justru didasarkan kepada kesimpulan pihak Batan sebagai tergugat.
”Hampir tak ada kesimpulan saya yang dipakai untuk konsiderans keputusan itu, kata sang doktor fisika nuklir eksperimental kepada Kompas di kediamannya di kawasan Pondok Kopi, Jakarta Timur, hari Sabtu lalu.
Maka, seusai keputusan dibacakan, Iwan segera naik banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti diberitakan, pada tanggal 4 Mei 1992 Dirjen Batan memberhentikan Dr Iwan Kurniawan sebagai pegawai negeri sipil dengan alasan: Iwan meninggalkan tugas secara terus-menerus tanpa alasan yang sah sejak bulan Januari 1992 sampai bulan Maret 1992. Dalam surat keputusan pemberhentian disebutkan, Iwan harus membayar dua kali biaya pendidikan master dan doktornya di Universitas Tsukuba, Jepang, sebesar Rp 547.768.495,50.
Bagi Iwan, keputusan ini sepihak. Sepengetahuannya, menurut peraturan kepegawaian, pemberhentian mestinya, dilakukan lewat dialog dulu. Tapi, menurut mantan pegawai negeri bergolongan IIIb ini, Batan tidak mengadakan dialog.
Kejanggalan lain dalam keputusan Batan, kata Iwan, adalah kewajiban membayarkan biaya pendidikan yang setengah milyar lebih itu. Pada perjanjian tugas belajar ke luar negeri yang ia tanda tangani disebutkan bahwa wajib bayar dilakukan bila pihak yang dibiayai –dalam hal ini Iwan sendiri– menyatakan keluar dari Batan. Tapi, Batan memutuskan wajib bayar itu justru karena pemberhentian oleh Batan sendiri, bukan atas kemauan Iwan keluar.
Mengenai ketakhadirannya terus-menerus selama Januari 1992 sampai Maret 1992, Iwan melihat ada yang kurang akurat. Menurut Nota Dinas Batan bertanggal 18 Maret 1992 yang ditandatangani Kepala Pusat Penelitian Sains Materi, Iwan masuk kantor tanggal 4, 8, dan 29 Januari, serta tanggal 1 dan 2 Maret, tapi keputusan Batan menyebutkan meninggalkan tugas secara terus-menerus.
Selain tiga keberatan tadi, sejumlah keberatan lain mendorong pria kelahiran Jakarta, 17 Juli 1957 ini untuk menggugat Dirjen Batan pada tanggal 12 Agustus tahun lalu. Di tingkat PTUN, Iwan dinyatakan kalah, dan Iwan naik banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Ke mana saja Iwan sejak Januari 1992 sampai Maret 1992? Bahkan, menurut catatan Batan sejak 1 Juli 1991 sampai 18 Maret 1992 tercatat di kartu kehadiran Amano, Iwan hanya hadir selama 35 hari.
Ketakhadiran seorang Iwan selama kurang dari delapan bulan tampaknya harus dipahami dari sudut eksistensinya sebagai ilmuwan. Sayangnya, pada ilmuwan yang menyandang predikat sebagai pegawai negeri, kebebasan yang khas ilmuwan harus berbenturan dengan peraturan kepegawaian yang kaku.
Pada perspektif inilah kasus Iwan boleh dipahami sebagai sesuatu yang organis mudah terjadi pada seorang manusia. Jika hanya ngotot memandang kasus ketakhadiran sebagai sesuatu yang mekanistis bertentangan dengan pasal ini dan itu dari peraturan itu dan ini, koreksi terhadap budaya riset yang tak dimilliki kebanyakan lembaga riset di negeri ini barangkali tak akan pernah terjadi. Riwayat hubungan Iwan dengan Batan barangkali bisa memperjelas asal-usul pemangkiran seorang Iwan selama hampir . delapan bulan.
HUBUNGANNYA dengan Batan berawal pada saat ia menerima beasiswa ikatan dinas tahun 1982, setahun sebelum menyelesaikan sarjana dari Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. Lulus dari UI tahun 1983, Iwan langsung bekerja di Pusat Pengolahan Bahan Galian Nuklir (PPBGN) Batan.
Setahun kemudian, tepatnya bulan April 1984, sebagai staf PPBGN, ia ditugaskan masuk hutan di Nangaphino, Kalimantan Barat. Di sana Batan sedang meneruskan sebuah proyek kerja sama Perancis-Indonesia untuk mengkalibrasi data-data geologis batu-batuan di kawasan itu yang diduga mengandung unsur uranium. Perancis meninggalkan proyek ini dengan membawa data batu-batuan di Nangaphino karena tak puas dengan sistem bagi hasil proyek.
”Saya ditugaskan sebagai perintis untuk mengkalibrasi data logging batu-batuan yang sebagian ditinggalkan pihak Perancis untuk melihat seberapa banyak unsur uranium terdapat pada batu-batuan itu,” kata Iwan. Selama bertugas di Nangaphino dan melihat bagaimana batu-batu yang mengandung unsur radioaktif bernama uranium itu dipindahkan langsung oleh manusia, Iwan berpikir bagaimana kesehatan pengangkut-pengangkut batu itu kelak?
Bayangkan, kata Iwan, batu-batu yang mengandung uranium itu digendong langsung oleh pekerja-pekerja tanpa pengaman. Mereka tentulah terkena radiasi tanpa sedikit pun penghalang. Yang terkena radiasi tentu bertambah lagi: penduduk yang menggunakan air sungai, tempat sebagian batu-batu mengandung uranium itu tercebur.
BELUM lima bulan bekerja di terowongan kawasan Nangaphino, bulan Agustus 1984, Batan Jakarta memanggil Iwan untuk kembali ke Jakarta: ia akan disekolahkan ke luar negeri.
Keberangkatan ke luar negeri punya kisah sendiri. Batan merencanakan Iwan belajar ke Jerman Barat mulai tahun 1987, tapi lembaga ini justru menandatangani penugasan ke Perancis, dan yang terjadi bukan Perancis atau Jerman Barat. Iwan akhirnya berangkat ke Universitas Tsukuba, Jepang di tahun 1985.
Sebelum berangkat, Jepang setuju kalau Iwan belajar elektronika di Universitas Tsukuba. Bidang ini adalah pilihannya karena ia menekuni instrumen (elektronika) nuklir untuk tugas akhirnya di UI. Tapi. sesuatu yang direncanakan tampaknya bukan milik ayah dua anak ini. Enam bulan setelah menyelesaikan kursus bahasa Jepang, jurusan elektronika Universitas Tsukuba menolak warga non Jepang menekuni elektronika. Soalnya kebijaksanaan negeri matahari terbit ini: warga negara asing tak boleh mendalami elektronika di universitas-universitas terkemuka Jepang. Elektronika yang merupakan tulang punggung teknologi negeri ini hanya boleh untuk pribumi Jepang.
Merasa diperlakukan tak adil dan tak sesuai dengan janji, gejolak keterusterangan Iwan bangkit. Ia protes, tapi yang dihadapinya justru ahli atom Universitas Tsukuba. ”Beruntung Anda diterima di sini. Lagi pula yang mengutus Anda kan badan atom,” kata Prof M. Yamanouchi.
Tak ada pilihan lain. Sarjana instrumentasi (elektronika) nukllr ini harus mengubah haluan: dari elektronika ke fisika nuklir eksperimental. Bagi awam, dua bidang ini hanyalah dibedakan nuansa-nuansa. Tapi, bagi orang yang pernah belajar fisika, meskipun kedua bidang ini boleh dibilang seketurunan, tapi keduanya sama hitam putihnya dengan utara-selatan. Menurut Iwan, ihwal perpindahan bidang studi ini diketahui oleh atasannya, ketika itu, di PPBGN Batan.
Dasar berotak cemerlang, kuliah tingkat master bidang fisika nuklir eksperimental yang dimulainya April 1986 dia selesaikan tepat waktu: April 1988. Dari Indonesia diprogramkan sampai master, tapi Prof M. Yamanouchi, yang akhirnya menjadi dosen pembimbingnya, jatuh hati kepada kecemerlangan pegawai Batan ini. Yamanouchi lalu memohon kepada Batan supaya membolehkan Iwan meneruskan studi ke program doktor. Batan setuju.
Masa studinya diperpanjang. Selagi memulai program doktor, Iwan jatuh hati kepada seorang wanita Batak Karo bernama Herlina br Sembiring. Herlina –yang ketika itu mahasiswa tingkat empat Sastra Jepang, Universitas Padjadjaran, Bandung– berada di Jepang untuk memperlancar bahasa Jepang dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Jepang. Tahun 1989, Iwan Kurniawan kawin dengan Herlina br Sembiring di Jepang.
Program doktor dia selesaikan lagi-lagi tepat waktu. Hubungannya dengan Prof Yamanouchi bukan lagi hubungan promotor-kandidat doktor, tapi sudah seperti ayah-anak. Dengan kopromotornya Prof T. Aoki –lagi-lagi karena kecemerlangan dan keterbukaan Iwan– hubungan itu sama intensifnya.
Itu sebabnya ketika ia hampir menyelesaikan doktornya, Yamanouchi dan Aoki meminta Iwan meneruskan tawaran mereka kepada Batan: Iwan diminta meneruskan riset pascadoktoral di Universitas Tsukuba. Riset yang ditawarkan tak tanggung-tangung: penelitian untuk fusi dingin, yang pemerintahan Bill Clinton pun harus menunda program ini karena biayanya yang amat mahal. Reaktor yang ada hingga saat ini menggunakan reaksi fisi: pembelahan inti; belum fusi = penggabungan inti.
Tidaklah berlebihan mengatakan, adalah membanggakan tawaran Jepang ini kepada putra Indonesia untuk riset di bidang nuklir yang paling frontier: fusi dingin. Tentulah Yamanouchi dan Aoki tak sembarang memilih muridnya melakukan riset berprestise ini.
Menelepon langsung dari ruang kerja Yamanouchi ke Jakarta di bulan Maret 1991, Iwan mendapat jawaban dari Jakarta: segera pulang, tugas menunggu. Segala resep sudah disampaikan ahli atom dan ahli nuklir Jepang ini untuk meyakinkan Batan, tapi Batan tampaknya memang memerlukan tenaga Iwan yang merupakan satu-satunya doktor fisika nuklir eksperimental.
Setelah mendengar jawaban Batan, satu-satunya yang menghibur Iwan adalah tanggapan kedua profesor Jepang itu ”Kami amat menghargai keputusan lembaga yang mengirimkan Anda ke sini. Mungkin itu cara yang lebih baik untuk berkarier.”
Iwan yang sudah mempublikasikan sebuah risetnya di jurnal nuklir kelas satu dunia Nuclear Physics A pertengahan tahun 1991 harus kembali ke Batan, Jakarta tanggal 29 Maret 1991, beberapa hari setelah wisuda doktornya.
Betulkah ada tugas mendesak di Batan?
Selain berbulan-bulan tak mendapat kursi dan meja di Batan, Iwan malah ditawarkan supaya mengajar komputer saja kepada pegawai-pegawai Batan yang lulusan SLTA. Inilah yang membuatnya sering tak hadir di kantor. ”Untuk apa saya belajar fisika nuklir eksperimental sampai doktor, kalau hanya untuk mengajar komputer?” kata ayah dua anak ini Luky (putra, 4 tahun) dan Saka (putra, 2 tahun) kepada Kompas. (sal)
Sumber: Kompas, Senin 1 Maret 1993