SEHARI-hari bergulat dengan masalah kondom dan kesehatan reproduksi. Kesibukan lain, sebagai pengamat gender. Menu lain adalah politik dalam negeri. Belakangan ini, namanya banyak dikutip dalam kementar-komentarnya menyangkut masa depan Indonesia, figur-figur elite politik, sampai siapa yang layak menjadi presiden.
Itulah Dr Muhadjir Darwin (47), Dosen Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Politik dan MAP Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia dianggap menguasai berbagai disiplin ilmu karena, katanya, “Sarjana S1 saya Fisipol jurusan Administrasi Publik. Ini merupakan ilmu yang terbuka, yang mengharuskan mempelajari ilmu-ilmu yang lain.”
Menurut Muhadjir, banyak hal yang mencengangkan. Dalam pemiIu yang relatif jujur dan adil misalnya, perolehan suara Golkar masih tinggi. Yang tak kalah ajaib-menurut istilahnya-adalah, kendati berkaitan erat dengan mantan Presiden Soeharto, justru Habibie terkesan lebih berpeluang dibanding Megawati Soekarnoputri untuk menjadi presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Apa yang terjadi setahun terakhir merupakan sesuatu yang baru bagi bangsa, dan mengejutkan, tidak terduga bahwa semuanya terjadi,” tegasnya. Perubahan itu begitu cepat terjadi, namun di lain pihak kita juga merasa jengkel kenapa kita terlambat melakukan perubahan.
”Siapa sih yang menyangka bila Soeharto begitu cepat diturunkan, tetapi kita terperanjat ketika elemen-elemen status quo begitu kukuh bertahan. Ini juga di luar yang kita bayangkan.”
GELAR master yang ia peroleh di Universitas Southern California, Amerika Serikat, juga mengenai administrasi publik, makin memperkaya pemikirannya tentang dunia politik.
”Namun yang terpenting adalah belajar keras membaca. Tanpa itu kita tak bisa mengembangkan diri,” tegasnya.”
Ia membuktikan hal itu ketika oleh pimpinan Pusat Penelitian Kependudukan UGM ia ditunjuk menjadi Koordinator Bidang Kesehatan Reproduksi. Awalnya, lelaki kelahiran Yogyakarta 31 Desember 1952 ini, tidak tahu apa itu kesehatan reproduksi. Dengan tekun belajar sendiri dan mengambil kursus di Cairo, lelaki ini boleh dikata menguasai bidang yang menyangkut keluarga berencana (KB) ini.
”Saya sudah belajar masalah keluarga berencana sejak mahasiswa,” ujar alumnus S1 UGM jurusan Administrasi Publik, dengan skripsi menyangkut kepemimpinan dalam mensosialisasikan kontrasepsi KB di pedesaan ini. ”Apakah karena ini, UGM menempatkan saya di PPK?”
Karena kemampuannya di bidang KB dan kesehatan reproduksi, Muhadjir aktif dalam lembaga-lembaga atau organisasi kesehatan. Misalnya dia menjadi ketua asosiasi pengetahuan kesehatan social dan anggota kerja sama kesehatan sosial Asia Pasifik.
BAHKAN belakangan ini dia diangkat menjadi Ketua III PKBI (Paguyuban Keluarga Berencana Indonesia) Yogyakarta. Dalam, jabatan inilah Muhadjir mendapat pengetahuan baru, yaitu ketika dia masuk Pasar Kembang, yang terletak di keramaian Jl Malioboro. Inilah tempat pelacuran yang legendaris di Yogyakarta, dan sering menjadi bahan isu oleh pelawak atau bahan guyonan wong Yogyakarta.
”PKBI ’kan punya LSM, namanya Griya Lentera, yang kantornya berada di tengah-tengah kompleks Pasar Kembang. Tiga hari setelah dilantik menjadi ketua, saya langsung datang ke sana,”katanya.
Apa hasilnya? ”Saya bisa wawancara langsung dengan para wanita di sana. Jumlahnya banyak lho, ada 250 orang. Mereka semakin bertambah banyak sejak ditutupnya kompleks pelacuran Sanggarahan. Saya datang siang hari, sehingga perempuannya kelihatan pucat-pucat. Kalau malam pasti penampilan mereka bersinar-sinar,” tuturnya.
Salah satu kegiatan Griya Lentera adalah membina wanita pekerja seks –begitu istilahnya- seperti membagi kondom kepada pihak wanita atau Ielaki yang datang ke Pasar Kembang. Muhadjir agak cemas ketika mendengar Griya Lentera saat ini kehabisan kondom, karena pendana tidak lagi memberi bantuan. Tegasnya, ”Penyakit kelamin terutama AIDS akan merajalela kalau sampai kondom habis.”
Menurut Muhadjir memberi kondom kepada wanita pekerja seks, bukan berarti ingin melegalkan pelacuran. Jelasnya ”Secara moral kita bertanggung jawab terhadap berkembangnya penyakit kelamin.” Namun Griya Lentera tidak hanya memberikan kondom saja, tetapi juga memberikan keterampilan bahasa Inggris, dan kegiatan lain, yang bisa memberikan lahan kehidupan baru.
UPAYANYA meraih gelar doktor dari Universitas Southern California, 1990, menambah disiplin ilmu yang dimiliki. Walau masih menyangkut administrasi publik, disertasinya seputar ekonomi kesejahteraan dan perumahan. Jadi menyimpang agak jauh, antara politik dan perumahan.
Namun, bapak beranak empat, semuanya lelaki, dari istri Bromida Etiyawati (41) ini, merasa belum bisa mengembangkan ilmu yang menyangkut perumahan.
”Saya lebih banyak mengurus kondom dan kesehatan, sehingga saya harus menentukan pilihan. Untuk sementara, ilmu saya tentang perumahan memang menjadi mandhek, tetapi suatu saat nanti saya akan melakukan penelitian menyangkut perumahan ini,” tandasnya.
Berkecimpung di bidang masalah kesehatan reproduksi yang menyangkut kesehatan perempuan, memang tidak bisa lepas dari masalah gender, yang harus ditekuni oleh Muhadjir sebagai peneliti di PPK.
”Demokrasi itu landasan ideologinya ’kan individualisme. Jadi pengakuan kepada hak individu. Karena itu penyetaraan gender itu merupakan salah satu proses demokratisasi, bagaimana laki-laki dan perempuan diposisikan dalam dalam proses politik,” tegasnya.
Sayangnya dunia politik sering diasumsikan dunia laki-laki. Maka muncul isu tentang presiden perempuan, yang ia tuding sebagai pengingkaran terhadap demokrasi. Tuturnya, ”Ada niat untuk menisbikan hak politik wanita. Kenapa hak menjadi presiden dibatasi, sementara hak memilih itu ada pada semuanya, laki ataupun perempuan?”
Di Amerika pada awal kemerdekaannya, kata Muhadjir, hak memilih hanya milik pria. Bahkan demokrasinya waktu itu bias gender, bias agama, dan bias ras. Namun dalam proses kemudian, semua boleh memilih, tanpa memandang ras, agama maupun jenis kelamin.
”Di Indonesia, hak politik tidak dibedakan, semuanya bisa one man one vote. Tetapi hak untuk menduduki jabatan politik ternyata dibedakan. Kalau kita melihat rasio laki-laki dan perempuan dalam struktur politik, bedanya jauh sekali. Itu sebabnya boleh saya bilang politik kita masih politik maskulin, dominasi laki-laki,” tegasnya.
KENYATAAN itu juga bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena PDI Perjuangan. PDI Perjuangan dipimpin oleh seorang perempuan, tidak terlihat tampilnya Megawati itu karena keperempuanannya, tetapi karena dia orang yang teraniaya oleh politik.
“Survei LP3ES itu menarik. Ternyata pemilih perempuan yang memilih PDIP proporsinya paling kecil dibanding empat partai besar yang lain, yaitu antara lain PAN, PKB, dan PPP,” katanya sambil tertawa tergelak. ”Ini ’kan peristiwa lucu, artinya sebagian besar pemilih Megawati adalah laki-laki. Padahal PKB yang mengatakan presiden tidak boleh perempuan, tetapi proporsi perempuan yang memilih PKB lebih banyak.” (thomas pudjo widiyanto)
Sumber: Kompas, Senin 28 Juni 1999