Bagi peternak kambing Teguh Haryanto (33), daulat energi bukan semacam dongeng pengantar tidur di ujung ancaman kepunahan energi fosil. Itu juga bukan klaim sepihak profesor di ruang-ruang seminar hotel berbintang. Daulat energi nyatanya bisa lahir dari kegelisahan rakyat kecil, yang jemu terus tersisih oleh timpangnya pembangunan.
Menyusuri Desa Kesenet, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, tak banyak berbeda dari kampung lain di lereng Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Hamparan kebun salak dan kandang ternak selalu dijumpai di setiap rumah warga. Bedanya, jika di tempat lain bau kotoran selalu menyengat, termasuk dari dalam rumah, di Kesenet hampir tak tercium aroma itu.
”Di desa lain, kotoran ternak hanya dibuang atau maksimal langsung dijadikan pupuk kandang tanpa pengolahan. Di desa kami, setahun terakhir, kotoran diolah jadi biogas dan limbah padat biogasnya dipakai sebagai pakan ternak dan pupuk,” ujar Teguh, Sabtu (5/3) dua pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bahkan, Desa Kesenet telah ditetapkan sebagai salah satu Desa Mandiri Energi di Provinsi Jawa Tengah. Sebutan ini cukup membuat kening mengernyit mengingat letak kampung ini cukup terpencil di lereng Pegunungan Dieng. Dari jalan raya utama Banjarnegara-Semarang, desa ini masih masuk ke arah barat laut sejauh 10 kilometer dengan akses jalan relatif sempit dan berliku.
Menengok sedikit ke belakang, keberhasilan Kesenet menjadi salah satu Desa Mandiri Energi tak bisa dilepaskan dari kiprah Teguh Haryanto. Lewat usaha coba-coba diimpit kondisi ”kepepet”, pemuda berbadan gempal tersebut coba mewujudkan impian warga agar terlepas dari lilitan beban biaya membeli elpiji dan pupuk tanaman.
Sedari awal, di jiwanya, Teguh menyimpan api kecil sebagai seorang perintis. Kendati hanya lulus sekolah dasar, peternak kambing yang juga petani salak itu tak segan bergaul dan mencari informasi kepada banyak orang. Semangat perubahan juga ditularkan kepada petani dan peternak lain.
Hingga akhirnya dia dipilih sebagai salah satu penyuluh swadaya dari Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian Jateng. Pada 2013, dia mendapat kesempatan mengikuti Pelatihan Pengolahan Limbah Ternak di Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) Batu, Malang, Jawa Timur.
Reaktor biogas sederhana
Sepulangnya dari Malang, Teguh begitu bersemangat mempraktikkan ilmu yang didapatnya untuk mengolah limbah kotoran ternak menjadi energi biogas. Namun, ketika melihat kenyataan yang ada, angannya yang sempat membuncah seketika layu.
”Saya bersemangat. Tetapi, di sisi lain juga ragu-ragu. Dalam pelatihan dikatakan, untuk menghasilkan biogas butuh minimal 40 kambing atau 10 sapi. Apalagi, biaya pembuatan digester (reaktor) juga besar, bisa mencapai Rp 30 juta hingga Rp 40 juta,” ucap Teguh mengenang hambatan awalnya.
Pikir Teguh, tidak mungkin rasanya mengolah biogas limbah ternak di Kesenet dengan teori yang didapatnya. Sebab, rata-rata warga hanya memiliki paling banyak lima kambing atau dua sapi saja.
Selain itu, sulit menyatukan semua ternak dalam satu kawasan untuk diambil kotorannya dan diolah jadi biogas. Sebab, ternak itu dimiliki setiap warga. Belum lagi bicara soal biaya. Mustahil dengan model patungan apa pun, kelompok warga di situ bisa membiayai hingga Rp 30 juta.
Alih-alih mengucap sumpah serapah dan mengangkat tangan tanda menyerah, Teguh memilih berinovasi di luar teori. Dia nekat merangkai instalasi biogas yang sederhana dan murah.
Misalnya saja, jika teorinya pembuatan unit digester harus dengan cor beton atau fiber, Teguh menggunakan bahan dari plastik. Ia membuat lubang di tanah dengan ukuran lebar 0,5 meter dan panjang 3-4 meter. Lubang tersebut kemudian dilapisi plastik sebagai penampung kotoran yang telah dicampur dengan air dan dekomposer.
Bahan kotoran juga tidak banyak, menyesuaikan jumlah ternak kambing di kandang Teguh yang waktu itu hanya 4 ekor. Jumlah kotoran yang dimasukkan hanya satu ember kotoran kambing dan dicampur dua ember air. Jika yang dimasukkan kotoran sapi, karena lebih lembek, satu ember kotoran harus dicampur satu ember air.
Setelah 10 hari dibiarkan, gas mulai muncul. Gas dialirkan melalui lubang kecil yang dibuat di atas plastik kemudian dimasukkan ke dalam pipa paralon. Gas dari pipa dialirkan lagi ke dalam tiga drum bekas berisi air. Di bagian atasnya diberi ember dalam kondisi terbalik sebagai indikator mengetahui gas keluar. ”Jika embernya naik, berarti gasnya penuh. Kalau turun, gasnya sedikit,” ucap Teguh.
Pada uji coba pertamanya, gas langsung disalurkan ke kompor. Namun, nyala api masih berwarna kemerahan dan mengeluarkan aroma tidak sedap. Ini disebabkan kandungan uap air yang masih terlalu tinggi. Untuk menetralkan gas dan menyerap air, Teguh menambahkan empat botol kecil kapur tulis. Setelah melalui media penetral, gas baru mengalir ke kompor. Hasilnya, apinya berwarna biru dan tidak berbau.
Murah dan sederhana
Teguh menghabiskan waktu sekitar sembilan bulan untuk usaha ”coba-coba” itu. Tidak hanya murah, tetapi pengoperasiannya juga sangat sederhana dengan hasil yang sama. ”Barangkali karena memakai plastik sehingga seluruh mikroorganisme mampu bekerja maksimal. Kalau dengan beton, mikroorganismenya masuk ke dalam pori-pori beton,” ujarnya.
Berhasil membuat inovasi, Teguh getol mendorong warga, melalui para pemuda untuk ikut membuat instalasi pengolahan biogas. Terlebih, instalasi biogas versinya sangat murah, hanya butuh biaya Rp 3 juta-Rp 4 juta. Warga yang punya tiga kambing atau satu sapi saja sudah bisa memproduksi biogas.
Hingga kini, sekitar 42 keluarga di Kesenet telah memakai biogas untuk memasak dan memanfaatkan limbah padat sebagai pupuk pohon salak. Jiman, salah satu warga mengaku, kini dirinya tak lagi membeli gas 3 kilogram karena telah tergantikan biogas. Padahal, sebelumnya dia menghabiskan setidaknya tiga tabung untuk dua bulan senilai Rp 60.000.
Di samping itu, limbah padat sisa pengolahan biogas dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Sebelumnya, petani harus mengeluarkan hingga Rp 4 juta per tahun untuk membeli pupuk kimia bagi 600 pohon salak. ”Limbah padat juga bisa jadi campuran pakan ternak,” ucap Jiman.
Dari inovasi dan prakarsanya, Teguh mendapat apresiasi sebagai Penyuluh Pertanian Swadaya Teladan Tingkat Nasional Tahun 2015. Kiprah Teguh mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberi bantuan puluhan reaktor biogas dari kotoran kambing ke desa tersebut.
Profesor Muladno, Guru Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), saat menyambangi penemuan Teguh pun tak cukup dibuat kaget. Baginya, teknologi pengolahan biogas sudah ada di mana-mana. Namun, instalasi berbiaya jauh lebih murah dengan cara pengoperasiannya yang sangat mudah itu baru dibuat oleh Teguh. Dia menyarankan temuan ini dipatenkan.
Teguh membuktikan, dengan kerja keras, orang desa ternyata mampu menerjemahkan daulat energi secara nyata di lingkungannya. Dia berharap kreativitasnya itu bisa mengangkat derajat hidup peternak-peternak kecil sepertinya.
KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO
TEGUH HARYANTO
Lahir:Banjarnegara, 20 April 1982
Alamat:
Desa Kesenet, RT 07 RW 03, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, Jawa Tengah
Pekerjaan:
Petani/peternak
Istri:
Nur Eka (30)
Pendidikan:
SDN Kesenet
Aktivitas Lain:
Penyuluh Pertanian Swadaya UP-FMA Bhakti Muda
Penyuluh Swadaya Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (FEATI) Jawa Tengah
Penghargaan:
Juara II Lomba Kreasi dan Inovasi/Krenova Teknologi Tepat Guna Kabupaten Banjarnegara (2014)
Juara III Penyuluh Pertanian Swadaya Tingkat Provinsi Jawa Tengah (2014)
Penyuluh Pertanian Swadaya Teladan Tingkat Nasional Tahun (2015)
GREGORIUS MAGNUS FINESSO
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2016, di halaman 16 dengan judul “Merintis Daulat Energi dari Desa”.