Hakim Luthfi Malasan; Pelajaran dari Gerhana

- Editor

Kamis, 10 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

”Selama astronomi belum menjadi pelajaran wajib di sekolah, selama itu pula posisi astronomi akan terus termarjinalkan.” Demikian perkiraan Hakim Luthfi Malasan (54) tentang masa depan ilmu astronomi di Indonesia.

Hakim adalah dosen di Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, Jawa Barat. Ia juga peneliti di Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung Barat. Namun, rutinitas itu belum membuatnya puas.

Dia pun rajin ”keluar” dari lingkungan kampus dan observatorium demi mengabdi kepada masyarakat. Salah satu kegiatannya, sejak tahun 2007, dia aktif menjadi pembimbing dan juri di Olimpiade Sains Nasional (OSN) bidang astronomi tingkat sekolah menengah atas. Dia memburu calon astronom-astronom muda potensial.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Saya tak hanya menjadi pemandu bakat, tetapi juga melatih para guru,” ujar Hakim saat ditemui di kampus ITB Bandung, awal Maret ini.

Walau cukup melelahkan, dia mengaku sangat menikmati pekerjaan tersebut. Kelelahannya seakan terbayar ketika menyaksikan siswa-siswa sangat antusias mengikuti dan berkompetisi di OSN. Apalagi, setelah lulus sekolah, mereka diberdayakan untuk membimbing calon peserta OSN berikutnya di daerah. ”Mereka menjadi agen kami di daerah,” ujarnya.

Menurut Hakim, pendekatan ini cukup efektif untuk mengenalkan ilmu astronomi kepada siswa. Meski demikian, metode seperti ini hanya akan berdampak pada sebagiansiswa yang dipersiapkan mengikuti olimpiade. Idealnya, astronomi dikenalkan sejak dini kepada siswa dengan metode pembelajaran yang menyenangkan. Jika tidak, Indonesia bakal terus tertinggal dari negara lain dalam perkembangan ilmu falak.

Pengalaman dari Jepang
Hakim mengisahkan pengalamannya mengunjungi sekolah dasar di Jepang pada tahun 1990-an. Di ”Negeri Matahari Terbit” itu, pelajaran astronomi, baik secara teori maupun praktik, telah diajarkan sejak kelas IV sekolah dasar. ”Siswa diajak mengamati langit dan menggambar rasi bintang pada pagi, sore, dan malam. Mereka antusias karena pelajarannya tidak hanya teori. Walau sangat sederhana, dari situ siswa bisa belajar tentang pergerakan di langit,” ujarnya.

Perubahan kurikulum dengan menggamit astronomi sebagai pelajaran wajib di sekolah merupakan salah satu cara untuk menambah pengetahuan siswa mengenai benda-benda langit dan fenomenanya. Namun, cara ini harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas tenaga pengajar dan penyediaan alat penelitian di sekolah.

Soal peralatan penelitian, Hakim bercerita, pada OSN dua tahun lalu masih ada peserta yang kebingungan saat menggunakan teleskop. Ternyata, siswa itu belum pernah menggunakan teleskop karena tidak tersedia di sekolahnya.

”Begitu juga dengan pengajar astronomi. Bagaimana guru dapat menerangkan astronomi dengan baik jika tidak pernah meneliti. Guru juga perlu dibekali pengetahuan jika astronomi dimasukkan dalam kurikulum,” ujarnya.

Selain aktif di OSN, Hakim juga melayani diskusi dengan sejumlah klub astronomi. Terkadang, ia menjadi mediator untuk mengundang astronom dari luar negeri. ”Keberadaan klub-klub sangat baik untuk perkembangan ilmu astronomi. Sebaiknya, sekolah-sekolah juga membentuk klub astronomi untuk mengasah kemampuan siswa,” ujarnya.

Pelajaran dari gerhana
Sejumlah daerah di Indonesia telah mengalami gerhana matahari total (GMT), Rabu pagi kemarin. Sambutan masyarakat pada gerhana 2016 sangat berbeda dibandingkan dengan tahun 1983. Pada masa lalu, masyarakat melewatkan gerhana karena adanya larangan dari pemerintah.

Pada 1983, Hakim, yang masih menjadi mahasiswa tahun ketiga di ITB, mengamati GMT di Tuban, Jawa Timur. Perasaannya saat itu campur aduk antara bangga dan sedih. ”Saya bangga karena bisa ikut mengamati gerhana bersama peneliti profesional. Tetapi, saya juga miris dan sedih karena hampir semua warga Indonesia tidak berani keluar rumah. Padahal, warga asing berbondong-bondong datang ke sini untuk melihat gerhana,” ujarnya.

Pengamatan gerhana sangat penting untuk pendidikan astronomi di Tanah Air. Namun, antusiasme menyambut gerhana tahun 2016 dinilai lebih didominasi unsur wisata ketimbang pendidikan.

Gerhana kali ini seharusnya menjadi panggung besar bagi dunia pendidikan Indonesia untuk belajar dan meneliti. Bukan hanya bagi kampus, melainkan juga ke jenjang pendidikan sekolah dasar hingga tingkat lanjutan.

”Kita bisa melihat betapa gencar paket wisata yang ditawarkan di Belitung berkaitan dengan gerhana. Tetapi, apa manfaatnya bagi pembelajaran dan dunia pendidikan di sana? Unsur komersialisme lebih ditonjolkan. Ini luput dari perhatian,” ujarnya.

Hakim berharap, sekolah tak melewatkan kesempatan mengamati GMT kali ini. Menurut dia, sekolah dapat memberdayakan komunitas-komunitas astronomi agar siswa merasakan pengalaman mengamati sekaligus belajar mengenai gerhana meski dengan peralatan sederhana.

Untuk menyambut GMT kali ini, Hakim dan timnya, yang terdiri atas lima mahasiswa Jurusan Astronomi ITB, sudah mempersiapkan penelitian sejak enam bulan lalu. Mereka meneliti mengenai pencitraan langsung korona serta spektrum kilatan korona dan atmosfer matahari. Mereka mengamati gerhana di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

”Salah satu target kami adalah memublikasikan penelitian ini pada konferensi internasional di ITB, Juni nanti,” ujarnya.

Namun, Hakim tak bisa mendampingi timnya ke Palangkaraya. Sebab, pada 6-9 Maret, dia masih disibukkan dengan persiapan OSN di Palembang. Ia pun mengamati gerhana di Palembang.

Tak berhenti di situ, Hakim juga menghadiri lokakarya teleskop You Are Galileo di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, 10-12 Maret ini. Dia menyiapkan paparan tentang gerhana dan fenomena langit lain untuk puluhan guru sekolah menengah atas.

Lokakarya itu diharapkan menjadi bekal bagi guru dalam memberikan pelajaran kepada siswa. Walau waktunya relatif singkat, kesempatan itu cukup berguna untuk memberikan pemahaman ilmiah mengenai gerhana.

Berbagai kegiatan itu tentu melelahkan. Namun, Hakim puas karena bisa mencerdaskan masyarakat dalam ilmu astronomi. Dia juga bahagia bisa membimbing mahasiswa untuk meneliti gerhana, membantu pemerintah menggelar OSN, dan membuat lokakarya untuk guru. Harapannya, fenomena astronomi seperti gerhana tak hanya disambut gegap gempita wisata, tetapi juga berbuah pembelajaran yang nyata.

Hakim-Luthfi-MalasanHAKIM LUTHFI MALASAN

LAHIR:
Jakarta, 1 Juni 1961
ISTRI:
Dinar Adjis
ANAK:
Prananda Luffiansyah
Hana Prinantina
Vagantara Widita
PENDIDIKAN:
S-1 Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung
S-2 dan S-3 The University of Tokyo
PROFESI:
Dosen Jurusan Astronomi ITB
Anggota International Astronomical Union (IAU)
Mantan Kepala Observatorium Bosscha Lembang, Bandung Barat

TATANG MULYANA SINAGA
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Maret 2016, di halaman 16 dengan judul “Pelajaran dari Gerhana”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 67 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB