Meledak, Tanpa Kiamat

- Editor

Rabu, 4 Mei 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

TANGGAL 14 Februari 2011 bakal dikenang astronom dan fisikawan matahari sedunia. Sebab, saat itulah matahari bergemuruh dengan ledakan magnetik terbesar sepanjang empat tahun terakhir, tepatnya sejak 6 Desember 2006.

Peristiwa itu terbit dari sekelumit noktah gelap pada fotosfera (kerak matahari) yang disebut bintik matahari nomor 1158, yang telah berkembang sedemikian pesat sejak lahir dua hari sebelumnya dan pada puncaknya memiliki luas lebih besar ketimbang planet Jupiter. Bintik itu telah melepaskan beberapa ledakan magnetik dengan yang terkuat kelas X2,2 dan langsung mengarahkan pancaran sinar X energetiknya ke bumi.

Untung ledakan itu tak memicu peristiwa pelepasan massa korona, yakni semburan jutaan ton massa proton dan elektron dari korona (atmosfer terluar matahari) sebagai rangkaian dari peristiwa badai matahari. Jadi dampaknya bagi bumi tergolong minimum.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

NASA mencatat ada lonjakan proton matahari pascaledakan dengan puncak mencapai 700.000 proton/m3 (dua kali lipat di atas normal) yang melesat 1.000 km/detik saat tiba di magnetosfer. Namun proton itu (beserta elektron) segera dibelokkan magnetosfer ke arah kutub-kutub geomagnet, tanpa menimbulkan gangguan lebih serius. Hanya menyajikan panorama aurora (cahaya kutub) spektakuler di atas lingkar kutub utara dan selatan tatkala berbenturan dengan atom-atom oksigen dan nitrogen sehingga memicu proses promosi-eksitasi tingkat atomik yang memproduksi foton cahaya berwarna-warni.

Matahari Lebih Aktif Ledakan itu adalah ledakan terkuat sejak siklus matahari ke-24 dimulai pada Desember 2008. Siklus ke-24 diprediksikan berlangsung selama 10,4 tahun dengan puncak pada April-Mei 2014. Itu berarti hingga dua tahun ke depan matahari akan cenderung lebih aktif. Tak pelak, badai matahari, entah dalam wujud tunggal sebagai ledakan magnetik maupun yang diikuti pelepasan massa korona, akan terus terjadi dengan intensitas kian tinggi.

Itu mendatangkan dua pertanyaan menggelisahkan: akankah aktivitas tersebut berdampak negatif bagi manusia dan akankah terjadi badai matahari luar biasa hingga menghancurleburkan peradaban manusia seperti diwartakan isu kiamat 2012? Apalagi sejumlah lembaga melansir “kiamat” secara rasional lebih mungkin disebabkan oleh badai matahari, mengingat kandidat lain seperti benturan dengan “planet” Nibiru sama sekali tidak logis (Suara Merdeka, 14/2/2011).

Sebagai benda langit berbentuk gumpalan plasma panas dengan dimensi merupakan hasil keseimbangan antara pengerutan gravitasi akibat massanya sendiri dan tekanan radiatif reaksi fusi termonuklir di intinya, matahari memiliki medan magnet amat kuat sebagai hasil mekanisme magnetohidrodinamik yang dikontrol pembangkitan energinya. Sementara reaksi fusi melepaskan energi sebagai foton sinar gamma yang segera berjuang menuju fotosfera lewat mekanisme hamburan Compton. Proses itu menempuh waktu sangat lama sekaligus meluruhkan frekuensi foton, dari yang semula adalah sinar gamma yang radioaktif menjadi spektrum foton non-pengion seperti gelombang radio, cahaya tampak, sinar inframerah, dan sinar ultraviolet. Itulah paradoks matahari. Cahayanya hanya butuh waktu 8,33 menit untuk memancar dari fotosfera ke bumi, namun cahaya yang sama butuh waktu ribuan tahun untuk menjalar dari inti menuju fotosfera.

Bintik Matahari Jadi transfer energi matahari bergantung pada dinamika inti-inti atom plasmanya. Di sisi lain perilaku inti-inti atom (sebagai partikel bermuatan positif), khususnya di fotosfera, sangat dipengaruhi dinamika medan magnet matahari. Oleh sebab yang belum jelas, gangguan magnetik bisa terjadi di fotosfera yang menghalangi transfer energi sehingga muncul area yang bersuhu 1.500 derajat C lebih rendah daripada lingkungannya dan tampak gelap, sehingga disebut bintik matahari. Oleh sebab yang belum jelas pula, jumlah bintik matahari akan meningkat setiap 11 tahun sekali (rata-rata), yang dikenal sebagai siklus matahari atau siklus Schwabe.

Ibarat bendungan pasir di arus air nan liar, bintik matahari hanya memberikan hambatan sementara dan pada satu saat ia akan jebol sembari memuntahkan kandungan energi dengan menyusuri garis-garis gaya magnet matahari setempat. Itulah ledakan magnetik, yang menjulur bagaikan lidah api menyemprotkan rata-rata 10-100 juta ton elektron pada kecepatan rata-rata 500 km/detik dengan energi setara 15-150 juta bom nuklir Hiroshima. Namun beberapa badai matahari bisa lebih energetik. Badai matahari 24 April 1984, misalnya, melontarkan energi luar biasa besar yang setara dengan 7,2 miliar bom Hiroshima. Bila energi sebesar itu tepat melanda bumi, bencana lingkungan berskala global takkan terelakkan seperti diprediksikan model TTAPS (Suara Merdeka, 3/1/2011).

Untung bumi punya “selimut” pelindung tak kasatmata: magnetosfer (medan magnet Bumi) yang terdiri atas beberapa lapisan dengan yang terbawah adalah sabuk radiasi van-Allen. Magnetosfer membelokkan aliran semua partikel bermuatan listrik dari luar bumi menuju ke kutub-kutub geomagnet, di mana makin tinggi energi partikel kian dalam lapisan magnetosfer yang tertembus sebelum partikel terbelokkan. Namun seenergetik apa pun partikel dari matahari, akan terbelokkan tanpa sempat berdampak bagi atmosfer bumi. Itulah yang membedakan bumi dari Venus.

Planet itu tak memiliki medan magnet, meski dimensi dan massanya hampir sama dengan bumi. Akibatnya ketika diterpa badai matahari, Venus langsung terpanggang hebat dengan ditandai kenaikan suhu sampai 150 derajat C di atas normal dan bertahan hingga 10 menit kemudian ketika sedikit melandai menjadi 90 derajat C di atas normal. Sebaliknya, perlindungan magnetosfer membuat badai matahari terjinakkan dan dalam beberapa peristiwa hanya meninggalkan jejak senyawa nitrat di atmosfer yang kemudian mengendap ke bumi lewat air hujan, seperti terekam dalam lapisan es kutub sepanjang puluhan ribu tahun terakhir. (51)

Muh Ma’rufin Sudibyo, astronom lulusan Teknik Fisika UGM, bertugas pada Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen

Sumber: Suara Merdeka, 2 Mei 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 68 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB