Lebih dari 40 tahun Profesor Emeritus Mitsuo Nakamura (81) meneliti dan mengamati Islam di Indonesia. Hingga hari ini, ia tidak berpaling ”ke lain hati”. Ia setia di jalur kajian Islam di Indonesia dan menjadi salah satu narasumber utama pada kajian itu dari kalangan akademisi asing.
Bagi Nakamura, Indonesia merupakan kampung halaman keduanya setelah Jepang. Hampir setiap tahun ia berkunjung ke Indonesia. Entah menghadiri konferensi, seminar, forum ilmiah lain, atau memenuhi undangan organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Ketika kedua ormas itu menghelat muktamar bersamaan, awal Agustus lalu, Nakamura juga hadir. Dua hari di Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur, lalu ke Muktamar Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Mungkin kehadiran saya di muktamar-muktamar itu lebih sering dari banyak anggota mereka,” kata Nakamura, mengawali wawancara di rumah Hj Sinta Nuriyah, istri almarhum mantan Ketua PBNU dan Presiden RI Abdurrahman Wahid, di Ciganjur, Jakarta Selatan, Senin (17/8) pagi.
Di Muhammadiyah, ia secara tidak resmi diangkat menjadi anggota khusus. Setiap muktamar, ormas itu selalu mengundangnya dan memberinya kursi di barisan terdepan.
”Waktu saya mau berangkat ke Muktamar NU dan Muhammadiyah tahun ini, pada pertemuan alumni Universitas Tokyo, mereka—profesor, pengacara, pengusaha, wartawan, dokter kesehatan, dan elite masyarakat Jepang—bertanya kepada saya, ’Anda mau ke konferensi Islam, tidakkah bahaya? Kok berani?’” kenang Nakamura.
Ia menyebut itu salah satu bentuk ekspresi islamofobia yang kini menggejala di Jepang. Fenomena itu muncul setelah eksekusi dua warga Jepang, jurnalis Kenji Goto dan konsultan keamanan Haruna Yukawa, oleh milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Januari lalu. Dua tahun sebelumnya, 10 pelaku bisnis Jepang juga diculik dan dibunuh di Aljazair.
”Islamofobia harus dilawan. Yang paling cocok melawan itu adalah cendekiawan Indonesia,” ujar Nakamura.
Caranya, menampilkan Islam yang ramah, moderat, dan pluralistis. Nakamura yakin hal itu bisa diperankan Islam di Indonesia. Ia telah meneliti Islam di Indonesia sejak 1970-an, era ketika belum banyak akademisi Jepang mengkaji Islam di Indonesia.
Beberapa sarjana Jepang telah mengkaji Islam, seperti Toshihiko Izutsu, Sachiko Murata, disusul Kazuo Shimogaki. Yang lain meneliti gerakan nasional di Indonesia, seperti Akira Nagazumi (tentang Budi Utomo) atau Tsuchiya Kenji (tentang Taman Siswa), yang belakangan diikuti Takashi Shiraishi.
Pencerahan di Kotagede
Namun, pada 1970-an itu, tak banyak akademisi Jepang yang mengamati Islam di Indonesia. Melalui disertasi berjudul The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, Nakamura adalah generasi pertama akademisi Jepang pasca Perang Dunia II yang menekuni Islam di Indonesia.
Disertasi itu diajukan di Universitas Cornell, Amerika Serikat, pada 1976, salah satu karya klasik kajian Islam di Indonesia. Untuk menyusun disertasinya, Nakamura tinggal hampir dua tahun di Kotagede, Yogyakarta, bersama keluarganya. Kotagede dipilih atas rekomendasi almarhum Selo Soemardjan, doktor lulusan Cornell dan Bapak Sosiologi Indonesia.
Awalnya, fokus penelitian Nakamura berkisar masalah perkotaan di daerah itu. Fokus berubah saat menemukan hal yang dilihatnya unik pada empat asisten risetnya: tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) dan satu mahasiswa lainnya.
”Mereka dari keluarga Muhammadiyah, rajin sekali, tepat waktu masuk kantor, melaporkan berapa jam kerja juga cocok, tidak meminta-minta, gaya kerja sungguh-sungguh. Kesalehan religius mereka sangat mengesankan. Ya shalat, puasa,” katanya.
Disertasinya diterima Cornell. Namun, saat ingin menerbitkan disertasinya, tidak ada penerbit yang berminat. ”Alasan penerbit, buku tentang Islam tidak laku,” ujarnya.
Disertasi itu akhirnya diterbitkan penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1983. Suasana kebatinan berubah, antara lain, setelah Revolusi Islam Iran 1979. Kajian Islam, termasuk yang ditekuni Nakamura, menjadi penting.
Pada 2012, disertasi itu diperluas— dari studi tahun 1910-an hingga 1972, diperluas sampai 2010—dan diterbitkan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapura. Edisi terbaru itu sedang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan Jepang.
Jembatan
Dengan penguasaan soal Islam di Indonesia, sejak pertengahan 1980-an Nakamura dilibatkan pemerintah dan kalangan bisnis Jepang untuk mengkaji Islam di Indonesia. Ia ditunjuk mengetuai proyek tentang masyarakat Islam di Asia Tenggara.
”Secara politik dan ekonomi, berkembang kesadaran pada elite Jepang, Islam harus diberi perhatian,” katanya.
Mulai 1990-an, Pemerintah Jepang menjalin kerja sama erat dengan Kementerian Agama RI dan pesantren di Indonesia. Setiap tahun, Jepang juga mengundang sekitar 10 ustaz dari Indonesia untuk hadir di Jepang. Pada saat bersamaan, akademisi Jepang kian banyak yang mendalami Islam di Indonesia.
Lahir 1933 dari keluarga Kristen di Manchuria, Tiongkok—saat itu di bawah Kekaisaran Jepang—Nakamura masih tampak bugar meski memasuki 82 tahun dan mengidap penyakit tekanan darah tinggi, tulang belakang, dan kanker prostat.
Melalui kajian Islam di Indonesia yang ditekuninya, ia menjadi jembatan penghubung Jepang dan Indonesia. ”Jika kita sudah diperkenalkan oleh Nakamura ke berbagai institusi di Jepang, semuanya akan lancar,” ucap Ahmad Najib Burhani, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), koleganya.
”Saya menganjurkan kepada teman-teman di Indonesia, silakan bentuk misi Islam yang damai untuk dikirim ke Jepang,” kata Nakamura. Ia siap menjembatani….
MITSUO NAKAMURA
LAHIR: Manchuria, 19 Oktober 1933
KEWARGANEGARAAN: Jepang
ISTRI: Hisako, dikaruniai tiga anak dan tiga cucu
JABATAN: Profesor Emeritus Universitas Chiba, Jepang
PENDIDIKAN:
BA bidang Filsafat, Universitas Tokyo (1960)
MA bidang Antropologi, Universitas Tokyo (1965)
PhD bidang Antropologi, Universitas Cornell (1976)
KARIER:
Senior Research Advisor (Sovereign Risk Assessment), Japan Bank for International Cooperation (2001-03)
Visiting Scholar, Center for Middle Eastern Studies, Harvard University (2004-2005)
KARYA:
The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town (disertasi, 1976)
Sejak 1979, dia tak pernah absen hadir di Muktamar NU dan Muhammadiyah. Muktamar dua ormas keagamaan terbesar di Tanah Air itu digelar lima tahun sekali (sejak 1979 bagi NU dan sejak 1985 bagi Muhammadiyah).
MH SAMSUL HADI
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 September 2015, di halaman 16 dengan judul “Jembatan Islam Indonesia dan Jepang”.