Sejak tahun 2004, pisang ambon lumut (“Musa acuminata”) tidak pernah lepas dari hidup Fenny Martha Dwivany (40), dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Dia meneliti pisang tersebut, mempelajarinya hingga tingkat gen, demi menjawab pertanyaan: “Mengapa pisang menjadi matang?”
OLEH DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Jawaban itu pun didapatkan setelah dua tahun lebih meneliti, yakni keberadaan hormon etilen yang berperan dalam membuat buah pisang menjadi matang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Etilen menyebabkan gen-gen lain yang terlibat dalam pematangan buah bekerja dan menghasilkan perubahan pada buah, meliputi perubahan warna, tekstur, aroma, dan rasa.
Setelah mengetahui runtutan proses pematangan pisang ambon, riset selanjutnya dilakukan untuk menghambat pembentukan etilen agar pematangan buah bisa lebih lama. Dengan risetnya, Fenny berhasil “mengganggu” pembentukan etilen dan akhirnya buah menjadi tidak matang.
Berkat riset ini, Fenny mendapatkan penghargaan internasional L’Oreal UNESCO for Women in Science serta paper terbaik Hayati Award pada tahun 2009.
Saat ini, Fenny ternyata masih berkutat dengan riset terkait pisang ambon shingga seorang rekan dengan nada bercanda pernah menjulukinya “Banana Lady”, seperti halnya julukan “Iron Lady” yang disematkan kepada mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher.
Fenny memiliki segudang alasan mengenai pemilihan obyek risetnya. Alasan pertama, dia dan keluarganya sejak kecil adalah penyantap pisang. Pisang adalah makanan favorit karena mudah diperoleh, murah, dan kaya vitamin yang bermanfaat bagi tubuh. Setelah nasi, gandum, dan jagung, pisang juga menjadi makanan yang paling banyak dikonsumsi di dunia.
“Di Uganda, setiap orang mengonsumsi 1 kilogram pisang setiap hari,” ujarnya.
Indonesia merupakan negara yang kaya ragam jenis pisang dengan sekitar 200 kultivar pisang. Hal itu menjadikan negeri ini sebagai penghasil pisang yang dominan di Asia, bahkan dunia. Dengan produksi tahunan sekitar 5 juta ton, Indonesia terletak pada peringkat keenam negara penghasil pisang setelah India, China, Brasil, Filipina, dan Ekuador.
Namun, yang mencengangkan justru data ekspor yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60. Penelusuran yang dilakukan menunjukkan bahwa rendahnya angka ekspor sudah dimulai dari hulu, yakni perlakuan sebelum panen hingga pascapanen. Faktor distribusi hingga penanganan produksi membuat pisang cepat membusuk.
Berdasarkan riset yang dilakukan, pisang adalah buah yang harus mendapatkan perlakuan khusus sejak distribusi hingga dipajang di supermarket. Selama pengiriman, pisang tidak boleh lebam atau kulitnya tergores karena proses pematangan akan berlangsung cepat. Pengaturan suhu tidak bisa bisa dikenakan pada pisang karena justru merusak fisik buah.
“Etilen pun bergerak layaknya gas. Jika di satu kontainer ada pisang yang sudah busuk, itu akan menyebabkan pisang lain cepat matang dari seharusnya,” kata Fenny.
Transgenik
Riset yang berhasil mengungkap penyebab pematangan pisang tidak berhenti sampai di sana. Fenny berpendapat, harus ada perbaikan agar petani pisang di Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Riset mengenai peran etilen dilanjutkan dengan rekayasa untuk menghasilkan pisang transgenik dengan pematangan yang terhambat. Saat ini uji coba tengah dilakukan dengan mempersiapkan bibit pisang transgenik yang memiliki karakter pematangan yang terhambat.
Sebagai Kepala Laboratorium Keahlian Genetika dan Analisis Molekuler SITH ITB, Fenny beranggapan, walau teknik rekayasa genetika yang dilakukan sangat panjang dan membutuhkan baya besar, pada akhir penelitian bibit tanaman pisang transgenik dapat diperbanyak dengan mudah dan menjadi produk agrikultur yang murah.
“Saya tidak dalam posisi untuk berkata bahwa kita harus mendukung produk transgenik. Biarkan mahasiswa saya membaca dan memutuskan sendiri,” ujar Fenny.
Dia memahami, kata transgenik masih terdengar sumbang di Indonesia karena berbagai ketakutan yang tidak terlalu berdasar, seperti menyebabkan kanker bagi siapa pun yang mengonsumsinya.
Sebelum diedarkan, produk transgenik harus melalui proses yang ketat oleh berbagai lembaga, seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta Kementerian Pertanian. Kedelai yang diimpor Indonesia adalah produk transgenik.
Sembari menanti bibit pisang transgenik rampung, Fenny juga memanfaatkan hasil riset etilen untuk mendesain tempat penyimpanan buah dengan pemberian gas oksigen, karbon dioksida, ataupun nitrogen. Gas karbon dioksida bisa menghambat pematangan buah, sementara gas oksigen mempercepatnya.
Dengan pengaturan gas tersebut, Fenny tengah mengerjakan purwarupa tempat penyimpanan buah yang bisa dibawa para penjual buah-buahan dengan mudah. Dengan demikian, pisang bisa menjadi lebih awet dan pedagang pun bisa untung.
Segala kerja keras hanya untuk pisang ambon ini bukan tanpa maksud. “Riset ini menjadi pintu masuk bagi rekayasa pangan untuk buah ataupun sayuran lain,” ujarnya.
Dengan rekayasa seperti ini, buah ataupun sayuran bisa bertahan lebih lama sehingga perjalanan dari petani ke tangan pelanggan terjaga dalam kondisi yang baik. Begitu pula sewaktu dikirim ke daerah lain. Peluang rekayasa genetika di masa mendatang masih terbuka untuk meningkatkan produksi pangan.
Pidato ilmiah
Pencapaian itulah yang membuat Fenny didaulat untuk memberikan pidato ilmiah pada acara penerimaan mahasiswa baru ITB, akhir Juli lalu. Di hadapan sekitar 3.400 mahasiswa baru, Fenny membawakan pidato ilmiah berjudul “Aplikasi Ilmu Hayati dalam Menjawab Tantangan Pangan di Abad 21”, berisi mengenai pencapaian ilmu hayati mulai penemuan mikroskop, rekayasa genetika, hingga biologi sintetis.
“Saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia punya daya saing dalam perkembangan ilmu biologi,” kata Fenny.
Dalam pidato ilmiah tersebut, Fenny mengaku tidak bisa menerangkan seperti halnya di ruang kuliah yang interaktif dan santai. Dia ingin meruntuhkan kesan, orang yang belajar ilmu biologi itu adalah orang kutu buku yang sulit berinteraksi dengan orang lain.
Dengan gaya yang santai di hadapan 3.400 mahasiswa baru itu, Fenny dengan lantang berkata, “Biologi itu te-o-pe-be-ge-te (top banget),” dan disambut derai tawa sekaligus tepuk tangan dari para mahasiswa.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 9 AGUSTUS 2012
FENNY MARTHA DWIVANY
Lahir: Bandung, 18 April 1972
Pendidikan Terakhir: S-3 The University of Melbourne
Jabatan: Kepala Laboratorium Keahlian Genetika dan Analisis Molekuler Sekolah Ilmu dan Teknologi ITB
Penghargaan:
– 2010, Endeavour Award dari Pemerintah Australia
– 2007, The Best Achievement Category-Asosiasi Akademisi Perguruan Tinggi
Seluruh Indonesia (ASASI) Award
– 2007, Indonesia UNESCO-L’Oreal for Young Women in Life Science
———–
Dr. Fenny M. Dwivany: “Jangan Takut Jadi Peneliti”
Bulan April selalu diidentikkan dengan bulannya perempuan, karena bertepatan dengan hari Kartini tanggal 21 April. Kartini adalah sosok yang sangat peduli pada pendidikan, tidak hanya pemberdayaan perempuan. Pendidikan dan penelitian juga tampaknya menjadi bidang utama yang digeluti sosok dosen perempuan berikut ini.
Dr. Fenny Martha Dwivany, seorang staf pengajar Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB berhasil mendapatkan award dari program L’oreal-UNESCO for Women in Science yaitu : Unesco- L’Oreal for Young Women in Life Science International Fellowship 2007 (Paris, 21 Februari 2007), Unesco-L’Oreal for Women in Science National Fellowship 2006 (Jakarta, 29 Agustus 2006). Dua penghargaan tersebut berupa dana penelitian $40,000. Award tersebut berhasil dimenangkan melalui penelitian beliau yang berjudul ‘Metoda alternatif pengontrolan pematangan buah dengan pembungkaman gen ACC oksidase pada buah pisang’. “Ceritanya, proposal penelitian saya menang di tingkat nasional sehingga saya pun dibawa ke tingkat internasional beserta dua peneliti perempuan lainnya,” tutur perempuan cantik kelahiran 18 April 1972 ini ketika ditemui tim reporter.
Penelitiannya bertujuan untuk menghambat pematangan buah klimaterik sehingga masa konsumsi buah bisa diperpanjang. Penelitian ini sebenarnya memiliki sebuah misi besar untuk membantu petani dan pedagang kecil Indonesia untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dan memajukan perdagangan buah-buahan Indonesia. “Nantinya tidak hanya pisang yang akan saya teliti dan kembangkan, tapi juga seluruh buah-buahan asli Indonesia,” terang wanita yang memang bercita-cita menjadi dosen ini. Beliau pun tidak hanya bekerja di bidang molekulernya saja, tapi juga tes di lapangan hingga produksi buahnya. Untuk itu, beliau bekerjasama dengan staf pengajar SITH lainnya dan dengan Biogen yang memiliki konservasi plasma nutfah seluruh jenis pisang di Indonesia.
Mulai tahun 2008, beliau akan meneruskan risetnya dengan dana dari L’oreal-UNESCO di Melbourne, Australia. “Penelitian saya nantinya masih dalam skala lab (laboratorium-red) dan bagi waktu dengan mengajar,” jelas beliau. Rencananya, enam bulan pertama beliau akan mengerjakan riset, enam bulan berikutnya beliau kembali ke Indonesia untuk mengajar dan begitu seterusnya. Kemudian, jika penelitian skala lab yang kini mencapai 50-60% itu akan diteruskan dengan uji coba lapangan dan produksi massal. ”Hasilnya nanti tentu berupa produk GMO (genetically modified organism-red) yang ditanam dan diproduksi mengikuti regulasi di negara kita,” terang lulusan Biologi ITB (sarjana’95 dan master’98) ini.
Sebagai seorang peneliti perempuan, beliau memandang peneliti perempuan Indonesia telah memiliki kesempatan yang luas. “Kesempatan peneliti perempuan di Indonesia sebenarnya luas, mungkin yang kurang adalah dukungan dari keluarga.” Kebanyakan perempuan Indonesia mendapatkan tuntutan dari keluarganya untuk tidak bekerja penuh di luar rumah. Beliau sendiri mendapatkan dukungan penuh dari keluarga, terutama suaminya yang berprofesi sebagai konsultan IT. Para peneliti perempuan juga kurang mendapatkan akses informasi. “Peneliti-peneliti perempuan di daerah kurang memperoleh akses informasi, seperti jurnal-jurnal penelitian dari luar negeri.” Perkembangan ilmu dan teknologi dunia maju dengan pesatnya sehingga akses informasi sangat diperlukan untuk menunjang penelitian.
Sedangkan, menurutnya peneliti Indonesia secara umum sampai saat ini masih mengalami kesulitan dana, akses informasi dan fasilitas. Keterbatasan dana, tuturnya, dapat disiasati dengan mengajukan permohonan bantuan dana pada pihak swasta dalam dan negeri. “Sekarang ini banyak kok, perusahaan-perusahaan yang mau mendanai penelitian…tidak hanya Dikti,”ungkap beliau.
Pihak ITB sebagai institusi pun sangat mendukung kinerja Bu Fenny sebagai peneliti, terutama staf-staf SITH. “Saya bisa dibilang beruntung karena ITB memiliki fasilitas dan akses informasi yang memadai, selain itu saya juga mendapatkan banyak bantuan dari rekan-rekan kerja saya di SITH,” ujar beliau. Lingkungan akademis di SITH pun tidak kaku, sehingga hubungan antara mahasiswa, dosen dan karyawan terjalin dengan baik.
Penghargaan ini tentu membuat beliau bangga, apalagi banyak media dalam negeri yang menyiarkan keberhasilan beliau. Bu Fenny pun seakan menjadi seorang selebritis kampus. “Saya sih biasa saja, malah sempat kecapekan diliput sana-sini. Tapi melalui media, saya ingin memperkenalkan profesi peneliti ke anak-anak jaman sekarang. Profesi ini sebenarnya juga menjanjikan dan tidak sulit, kesempatannya pun banyak. Jadi, jangan takut jadi peneliti,” harap Bu Fenny. Keberhasilannya juga diharapkan dapat memicu peneliti-peneliti perempuan Indonesia untuk tidak patah semangat dan terus bekerja keras demi ilmu pengetahuan bangsa.
———–
Fenny Martha Dwivany: Menikmati Hidup di Laboratorium
Peneliti muda ini pemenang UNESCO-L’OREAL Fellowships For Women in Science 2007. Menjadi duta Benua Asia untuk berlaga di arena peneliti tingkat dunia.
Peneliti yang satu ini modis penampilannya. Rambutnya pendek dengan highlight warna blonde. Saat ia berbicara, tampak behel warna pink menghiasi gigi putihnya. Kacamata minus membingkai wajah ovalnya. Dialah Dr. Fenny Martha Dwivany, pemenang UNESCO-L’OERAL Fellowships for Women in Science 2007.
Fellowship internasional yang berlangsung sejak tahun 2000 itu dikhususkan bagi peneliti perempuan muda di seluruh dunia. Fenny adalah perempuan Indonesia kedua yang mendapatkan penghargaan tersebut. Sebelumnya, Dr. Ines Admosukarto, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, meraih penghargaan serupa pada 2004.
Fenny, yang meraih gelar doktor bidang biologi molekuler dari University of Melbourne, Australia, menjadi salah satu dari 15 pemenang fellowship internasional. Penganugerahannya berlangsung pada 22 Februari 2007 di Paris, Prancis. Selanjutnya ia mewakili Benua Asia bersama peneliti dari Thailand dan Uzbekistan untuk berlaga di tingkat dunia.
Ajang bergengsi di bidang penelitian ini diikuti 180 peserta dari 20 negara. Setiap benua, yakni Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan Asia, diwakili tiga pemenang. Sebelum bersaing di level internasional, setiap peneliti mengikuti ajang UNESCO-L’OREAL Fellowships For Women in Science di tingkat negara.
Di Indonesia, ada ratusan peserta. Dari hasil penilaian juri, Fenny masuk lima besar tingkat nasional pada Agustus 2006. Kemudian dipilih dua finalis yang akan mewakili Indonesia di level internasional. Fenny terpilih bersama Dr. Fatma S. Wahyuni dari Universitas Andalas. Masing-masing mendapat hadiah uang tunai Rp 50 juta.
Dalam penjurian tingkat internasional yang berlangsung di Paris, Fenny-lah yang muncul sebagai jawara. Perempuan kelahiran Bandung, 18 April 1972, ini dihadiahi beasiswa senilai US$ 40.000 atau sekitar Rp 360 juta.
Peneliti muda yang bisa bersaing dalam UNESCO-L’OREAL Fellowships For Women in Science harus memiliki proyek riset yang menjanjikan untuk mendukung awal karier di bidang ilmu pengetahuan. Syarat lainnya, minimal berpendidikan S-2 dan maksimal berusia 35 tahun.
Proyek penelitian Fenny yang dimajukan dalam lomba itu dilabeli ”Konstruksi Vektor Biner ACS yang Meregulasi Aktivitas Gen ACC Sinatase sebagai Alternatif Pengontrolan Pematangan Buah Pisang Ambon”. Awalnya, Fenny sempat minder dengan tema penelitiannya. Maklum, pesaingnya membahas tentang kanker dan tema lain yang kelihatan lebih ”wah”.
“Ternyata malah pisang yang menarik perhatian para juri,” katanya. Buah yang berasal dari keluarga Musacea ini dianggap sebagai salah satu jenis buah khas Indonesia. Kepala Laboratorium Analisis Kromosom dan Molekuler Institut Teknologi Bandung (ITB) ini meneliti pisang karena gemar sekali makan pisang.
Setiap kali penjaja buah datang ke rumahnya, ia selalu membeli pisang. Tapi Fenny tak bisa menyimpan pisang terlalu lama. Sebab kulit pisang yang berwarna hijau atau kuning –tergantung jenisnya– akan berubah menjadi berbintik-bintik hitam, yang membuat penampilan pisang tak menarik. Tak cuma itu, pisang yang terlalu matang tidak enak dikonsumsi karena buahnya melembek.
Ini terjadi karena pisang termasuk buah climacteric (proses pematangan terus berjalan dari mulai dipetik hingga seterusnya). Pematangan buah yang tidak berhenti itu tak menguntungkan bagi petani maupun penjualnya. Ini terutama karena dalam proses distribusi tak boleh terlambat. ”Kalau terlalu matang, pisang tak laku dijual,” katanya.
Untuk mencegah proses pematangan yang berkelanjutan, selama ini dilakukan cara ”tradisional”, yakni dengan memasukkannya ke lemari pendingan atau kardus busa. Dari persoalan yang ada di buah kegemarannya itu, Fenny tergelitik untuk menemukan teknologi yang bisa menghentikan proses pematangan pisang.
Selepas menyelesaikan program doktor di University of Melbourne, Fenny memfokuskan penelitian untuk mengisolasi gen pada 2004. Terlebih dulu ia mencari gen yang dibutuhkan dalam proses pematangan buah. ”Ada setahun untuk mencari gen itu,” ujarnya.
Lamanya proses pencarian, karena asam deoksiribo-nukleat (DNA) pisang sulit ditemukan. Padahal, DNA adalah komponen kimia utama kromosom dan merupakan bahan penghasil gen. Penyebabnya, pisang mengandung banyak zat pati alias karbohidrat. “Ini mengganggu proses isolasi gen,” katanya.
Dari hasil penelitian, Fenny menemukan bahwa gen ACO berperan dalam pematangan buah. Untuk mencegah pematangan itu, ia menggunakan metode RNA interference. Metode ini membungkam gen dengan asam ribonukleat (RNA) untai ganda. ”Jadi, proses pematangan buah dapat dihentikan pada saat yang diinginkan,” ujarnya.
Cara kerjanya, gen ACO memberi kode pada enzim atau protein. Enzim atau protein itu adalah produk dari gen. Enzim inilah yang melakukan katalisasi produksi etilen alami pada tanaman buah. Etilen merupakan hormon tumbuhan yang bersifat gas.
Nah, etilen inilah yang menginduksi buah menjadi matang atau tidak. Apabila ada etilen, buah akan matang. Tetapi sebaliknya, jika tidak ada etilen, buah tidak akan matang. Fenny lantas membuat gen ACO itu ”tidur”.
Dampaknya, enzim tidak memberi kode kepada etilen. Otomatis, etilen tidak bisa diproduksi sehingga buah tidak akan matang. Setelah itu, apabila pisang hampir matang, disemprotkan alkohol 0,01%.
Karena sifat alkohol adalah gas, apabila disemprotkan, akan menyebar di permukaan pisang dan diserap oleh pisang. “Sensitif banget,” katanya. Alkohol inilah yang akan menginduksi RNA, sehingga menentukan kapan gen tersebut aktif dan kapan tidak.
Pemberian alkohol ini, menurut Fenny, tidak akan memberikan rasa yang berbeda pada pisang. “Karena hanya di permukaan,” ungkapnya. Teknologi temuannya itu, kata Fenny, tak hanya bisa diterapkan pada pisang, melainkan juga pada buah lain. Selama dua tahun meneliti, ia telah menghabiskan biaya sebesar Rp 200 juta.
Fenny mengaku tak mendapat kesulitan berarti dalam proses penelitian. ”Karena banyak pihak mendukung saya,” katanya. Ia dibantu mahasiswa dan dosen senior di ITB. Sedangkan dana penelitian berasal dari pemerintah, ITB, dan PT Bogasari Sukses Makmur. ”Sehingga saya tak bisa main-main karena mempertaruhkan nama pribadi dan institusi,” ujarnya.
Bogasari Sukses Makmur kemudian menganugerahkan penghargaan Bogasari Nugraha atas penelitian pisang ambon itu. Selama meneliti, Fenny juga harus membagi waktu untuk mengajar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. “Kalaupun Sabtu-Minggu harus meneliti, tak masalah,” katanya.
”Saya sangat menikmati hidup di laboratorium,” ia menambahkan. Namun, jika Sabtu-Minggu ”kosong”, ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan suami tercinta, Adam Haikal Moeis, 35 tahun, yang menikahinya delapan tahun lalu. Biasanya mereka menonton bioskop atau membeli film dan menontonnya di rumah.
Fenny, yang anak pertama dari tiga bersaudara, terlahir dari keluarga pendidik dan peneliti. Sang ayah, Aas Syamsuddin, adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Sedangkan keluarga sang ibu, yakni Sri Mulyati, banyak yang berprofesi sebagai peneliti. “Tidak aneh kalau saya juga meneliti,” kata peneliti yang selalu tampil modis ini.