Sebuah pagi di pesisir Lamong Bay, Surabaya, matahari belum tinggi. Pak Matari, nelayan setengah baya, menatap hasil tangkapan semalam: udang, kerang, dan beberapa ikan kecil. Ia menghela napas saat memungut seekor ikan kerapu dari jaring. Di sela-sela sisiknya, mengkilat serpihan bening yang bukan garam, bukan sisik. Itu plastik. Mikroplastik.
“Sekarang laut bukan cuma tempat cari ikan. Tapi juga tempat orang buang sampah,” katanya lirih. Jari-jarinya yang kasar mencomot serpihan itu, lalu melemparkannya ke pasir. Tanpa sadar, ia mengulang siklus: memungut mikroplastik, lalu membuangnya ke bumi yang sama.
Laut yang Makin Padat, Tapi Bukan Ikan
Fenomena mikroplastik bukan lagi dongeng buruk ilmuwan lingkungan. Ia adalah kenyataan pahit yang terapung di lautan dari Samudra Atlantik hingga pesisir Bali. Berdasarkan analisis global terkini, rata-rata air laut dunia kini mengandung antara 1 hingga 3 partikel mikroplastik per meter kubik, meskipun hotspot seperti Laut Cina Selatan bisa mencapai 350 partikel/m³. Bahkan lokasi sejauh Point Nemo di Pasifik Selatan, lebih dari 2.000 km dari daratan terdekat, tidak luput dari polusi ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sedimen dasar Laut Mediterania, konsentrasi mikroplastik bahkan mencapai 1,9 juta partikel/m². Mikroplastik bukan hanya mengapung di permukaan; ia juga mengendap, menyusup ke tubuh ikan, kerang, hingga garam dapur yang kita konsumsi.
Dari Dapur ke Darah: Mikroplastik Menyerbu Tubuh
Tak ada tempat aman. Mikroplastik kini ditemukan dalam air minum kemasan, air keran, bahkan dalam darah dan plasenta manusia. Penelitian internasional menyebutkan bahwa partikel mikroplastik bisa menembus sawar darah-otak, mengganggu sistem hormonal, bahkan memicu kanker. Setiap hari, kita mungkin menelan butiran plastik seukuran kartu kredit.
Seorang peneliti Indonesia, Dr. Andhika Puspito Nugroho dari Fakultas Biologi UGM, yang menempuh studi doktoralnya di Jepang, telah lama meneliti kontaminasi mikroplastik dalam organisme akuatik. Ia mencatat bahwa partikel plastik ini berperan sebagai vektor polutan kimia dan patogen. Mikroplastik tidak hanya mencemari tubuh ikan, tetapi juga membawa penyakit yang bisa melompat ke tubuh manusia.
Bukan Masalah Lingkungan Semata
Mikroplastik bukan hanya perkara laut dan ikan. Ini tentang keadilan sosial dan ekologi. Komunitas pesisir miskin di negara berkembang paling terdampak, menjadi muara dari kebiasaan konsumsi negara maju. Mereka yang paling sedikit menggunakan plastik, justru paling banyak menelannya.
Industri plastik global—Big Plastic—berusaha membentuk narasi bahwa tanggung jawab ada di tangan konsumen. Padahal, setiap tahunnya, lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi, dan hanya sebagian kecil yang didaur ulang. Sisanya? Menjadi sampah abadi, mengendap di laut dan tubuh kita.
Upaya Menanggulangi: Dari Lab hingga Dapur
Tapi harapan belum punah. Di banyak belahan dunia, inovasi mulai bermunculan:
- Bioplastik dari alga dan rumput laut yang bisa terurai tanpa meninggalkan mikroplastik.
- Filter bioaktif untuk menangkap mikroplastik di pabrik dan PDAM.
- Beeswax wrap, pengganti plastik bungkus makanan.
- Ecobricks: botol plastik berisi limbah plastik padat yang digunakan sebagai bahan bangunan.
Beberapa startup seperti Lactips di Prancis bahkan membuat plastik dari protein susu yang larut di air tanpa meninggalkan residu berbahaya.
Di level global, negosiasi Global Plastics Treaty yang diprakarsai PBB tengah berlangsung. Indonesia sendiri telah menyusun National Plastic Action Partnership untuk memangkas 70% sampah plastik laut pada 2025.
Masa Depan yang Terbentuk dari Limbah
Namun, perjuangan masih panjang. Tanpa regulasi ketat, tanpa perubahan pola konsumsi, dan tanpa investasi serius dalam edukasi dan teknologi alternatif, mikroplastik akan terus mengendap. Bukan hanya di laut, tetapi di sejarah manusia.
Suatu hari nanti, fosil masa depan mungkin bukan dari tulang dinosaurus, tapi dari botol air mineral yang hancur jadi partikel dan masuk ke tubuh kita. Seperti kata Andhika, “Kita adalah generasi yang menciptakan tanda zaman dalam bentuk plastik. Pertanyaannya: mau sampai kapan?”
Di pesisir Lamong Bay, Pak Matari masih melaut. Ia tak tahu nama-nama zat kimia, tak paham istilah PHA atau PLA. Tapi ia tahu satu hal: laut yang dulu menghidupi, kini perlahan mematikan. Dan itu bukan karena air asin. Tapi karena tubuh laut kini tak lagi hanya air dan garam, melainkan juga plastik.
Timeline fenomena mikroplastik
-
1970-an: Peneliti AS mendokumentasikan “butiran plastik” terapung di Atlantik—cikal-bakal istilah mikroplastik.
-
2004: Richard Thompson (Univ. Plymouth) memperkenalkan istilah microplastics dalam makalah landmark-nya dan menunjukkan sebaran globalnya.
-
2010-an: Ledakan riset tentang sumber serat tekstil, ban, cat kapal, dll.
-
2020-an: Fokus bergeser ke nanoplastik (<1 µm) dan dampak kesehatan manusia.
Klasifikasi ringkas
Jenis | Contoh | Jalur masuk utama |
---|---|---|
Primer | Microbeads kosmetik, nurdles (pelet resin), glitter | Produk industri & konsumen |
Sekunder | Serpihan botol, ban, jaring, tekstil | Pelapukan UV, abrasi, pencucian |
Resiko bagi manusia:
Temuan kunci | Detail |
Partikel di plasenta & darah | Ditemukan di 100 % sampel plasenta & arteri manusia; diduga terkait inflamasi & gangguan kardiovaskular |
Paparan inhalasi kerja | Industri tekstil & 3D-printing: 4×10¹? partikel/m³, jauh di atas lingkungan umum |
Pencemaran pangan | 80 % ikan konsumsi di Indonesia terkontaminasi; botol air & kemasan panas meningkatkan pelepasan partikel |
Penilaian WHO | Data toksikologi masih terbatas, tapi partikel <150 µm berpotensi menembus jaringan; riset lanjutan sangat dibutuhkan |
Berikut ringkasan “snapshot” tren tahunan sebaran mikroplastik di perairan pantai beberapa negara—berdasarkan literature terbuka (permukaan laut ? 1 m, satuan diseragamkan ke particles m-3 bila data aslinya dalam items L-1):
Negara | 2016 | 2017–18 | 2020–22 | 2023–24 | Arah umum* |
---|---|---|---|---|---|
Tiongkok | 0 .33 (Bohai Sea) | — | — | 11 980 ± – (S. Yellow Sea, konversi 11.98 items L-1 ? m-3) | ?? tajam |
Indonesia | — | 495 (Lamong Bay, Surabaya) | — | 0.48–1.03 (Perairan Nusantara, studi 2024) | fluktuatif† |
Amerika Serikat | — | 7.25 (S. California 2002; nilai 2014 setara) | 6.03 ± 1.0 (Gulf of Maine 2022) | — | ? stabil |
India | — | 3.58 (Thottappally, Kerala 2018) | 165–547 (Mumbai 2020, rata-rata ? 356) | — | ? |
Italia | — | 0.26 (Laut Toscana 2018) | 0.04 particle m-2 ? 40 000 km-2 (median nasional 2016-2023) | — | ?‡ |
Kanada | — | — | — | 7 630 ± 1 410 (Queen Charlotte Sound 2021) | ? |
Argentina | — | — | 5 900–782 000 (Est. Bahía Blanca 2019-20) | — | ?? |
* Panah memberi sinyal kecenderungan relatif (“?” = naik, “?” = turun, “?” = relatif stabil); interpretasi harus hati-hati karena metodologi, musim, hingga mesh-size jaring berbeda antar-studi.
† Nilai 2017 (hot-spot estuarin) jauh di atas rata-rata nasional 2024; tren Indonesia tampak “bergejolak” tergantung lokasi dan banjir musim hujan.
‡ Italia sejak 2018 menerapkan protokol pemantauan MSFD; angka 40 000 particle km-2 masih tinggi, namun area-density sulit langsung dibanding dengan volume-density.