Tokoh perintis pendidikan Indonesia
Nama dan kiprah Willem Iskander (1840-1876) nyaris dilupakan dalam sejarah pendidikan. Padahal, lembaga yang dia dirikan, Kweekschool (Sekolah Guru) Tanobato (1862-1874) di Panyabungan, Sumatera Utara, termasuk tempat pembenihan ide kebangsaan, khususnya terkait peran strategis guru.
Apa yang dicita-citakan dan dikerjakan serupa misalnya yang dilakukan Ki Hajar Dewantara lewat Perguruan Taman Siswa tahun 1922 dan Engku Mohammad Syafei lewat Indische (kemudian jadi Indonesische setelah Indonesia merdeka) Syafei (INS) Kayutanam 1926. Bedanya, Taman Siswa dan INS Kayutanam secara revolusioner melawan sistem pendidikan penjajah Belanda. Sekolah Guru Tanobato mengintrodusir ide kebangsaannya dalam koridor penjajahan Belanda.
Dalam hal narasi sejarah pendidikan di Indonesia, selain besar-besaran taruhlah tentang Taman Siswa, INS Kayutanam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama, kurang disebut peranan lembaga-lembaga pendidikan seperti yang dirintis RA Kartini, Dewi Sartika, Rohana Kudus. Padahal, dari segi awal kehadiran dan cara, apa yang digagas dan dilakukan Willem Iskander lebih dulu tampil dibanding Taman Siswa dan INS Kayutanam. Ide dan fokusnya berbeda dengan ide-ide aliran pendidikan yang sudah berjalan seperti Frobel, Montessori, Kerscheteiner, John Dewey, Rabindranath Tagore-tokoh-tokoh yang muncul bersamaan waktu dengan Willem Iskander dan yang menginspirasi Ki Hajar Dewantara dan Engku Syafei dalam sistem pendidikan mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Basyral Hamidy Harahap, peneliti yang pernah mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, asli Mandailing Natal (Madina), boleh dikatakan pembela fanatik ketokohan Willem Iskander. Sejak 1975, dia meneliti dan mengkaji tentang Willem Iskander dan menghasilkan lebih dari 20 buku terkait Willem Iskander. Dia menjadi narasumber lewat naskah dan bukunya tentang kisah sebenarnya Willem Iskander.
Tidak hanya Willem Iskander, Basyral-peneliti yang berlatar belakang sejarah ini-pun mengingatkan sejumlah tokoh asli Sumatera Utara yang dilupakan. Taruhlah seperti nama Rajiun Harahap Gelar Sutan Casayangan Soripada, pendiri Indische Vereeniging cikal bakal Perhimpoenan Indonesia di Belanda tanggal 25 Oktober 1928, dan Ja Endar Muda, raja surat kabar Sumatera. Keduanya alumni Kweekschool Padangsidimpuan, pengganti (penerus) Kweekschool Tanobato yang ditutup tahun 1874. Sekolah ini pernah dipimpin Profesor Charles Adriaan van Ophuijsen yang kemudian dikenal dengan Ejaan van Ophuijsen.
Perlu ditampilkan
Berdasar penelusuran naskah, wawancara, dan kunjungan ke lokasi yang terkait Willem Iskander pada Agustus-September 2015, mendesak perlu disampaikan ke publik tentang ketokohan Willem Iskander. Willem Iskander, nama aslinya Sati Nasution kemudian bergelar Sutan Iskandar, hidup tahun 1840-1876. Anak raja Tinating di Pidoli Lombang, Panyabungan.
Saat ini, lokasi kelahirannya terletak di pinggir jalan lintas Trans-Sumatera, 3 kilometer selatan pusat kota Panyabungan, ibu kota Kabupaten Mandailing Natal. “Willem Iskander itu keturunan ke-11 marga Nasution,” kata Effendi Nasution (50), salah satu ahli waris Willem Iskander, awal Agustus lalu.
Menunjukkan piagam Hadiah Seni tahun 1978 yang dianugerahkan Pemerintah Indonesia, disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed Joesoef, dia masih menyayangkan nama Willem Iskander kurang ditampilkan. Effendi mengapresiasi seorang Daoed Joesoef, satu-satunya pejabat tertinggi pemerintah yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan yang pernah datang ke Panyabungan. Daoed Joesoef tiga kali datang, pertama waktu penyerahan piagam Hadiah Seni, kedua waktu peletakan batu pertama SMAN Willem Iskander di Panyabungan Selatan (bekas petilasan Kweekschool) Tanobato tahun 1981, dan peresmian sekolah tahun 1982. Daoed Joesoef pun diberi gelar Iskandar Muda Nasution.
Kondisi keterjajahan Mandailing oleh Belanda dipicu oleh gerakan emansipasi dan pencerahan Alexander Godon, Asisten Residen Mandailing Angkola. Dikecualikan dari kebiasaan asli penjajah yang suka memeras dan main kuasa, Godon justru ingin memajukan pengetahuan rakyat Mandailing akan hak-hak mereka.
Gerakan pencerahan ini dilanjutkan oleh Willem Iskander setelah menempuh pendidikan dalam dua kali periode di Belanda. Periode pertama tahun 1857-1861, periode kedua tahun 1874-1876.
“Dia tokoh yang tragis. Di satu pihak berdiri di atas tradisi, dengan sebelah kaki di pihak lain berdiri di atas alam pikiran modern. Dan, kenyataan lain menghadapi penjajahan Belanda hal mana menyebabkan Willem harus menempuh jalan bunuh diri beberapa bulan setelah menikah,” kata Mochtar Lubis dalam sambutan peringatan 100 tahun meninggalnya Willem Iskander, Mei 1976. Dalam acara yang sama, Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri dan asli Madina mengatakan, Willem Iskander itu bukan tokoh daerah, melainkan tokoh nasional. Perjuangan pencerahannya, terbebasnya dari penjajahan bukan hanya untuk rakyat Mandailing, melainkan juga untuk Indonesia.
Willem Iskander memang ditemukan sudah meninggal bunuh diri tanggal 9 Mei 1876, dimakamkan di Begraafpelaats Zorgvlied, Amsterdam. Dalam kunjungan Basyral Harahap tahun 2004, makam itu masih ada, tetapi pada kunjungan kedua tahun 2006 makam sudah digusur. Istrinya, Maria Jakoba Winter yang dinikahi tahun 1876 secara dispensasi, menjanda hingga meninggal dalam usia tua.
Perintisan dan loncatan gagasan kebangsaan Willem Iskander tidak bisa lepas dari para mentor yang memberikan fasilitas, seperti Godon, Dirk Hekker, Milles-guru-guru di Belanda yang sangat menaruh perhatian pada pendidikan keguruan. Tak ketinggalan pula Eduard Douwes Dekker, sesama pegawai Belanda yang kemudian terkenal dengan nama samaran Multatuli lewat karya monumentalnya, Max Havelaar, yang ditulisnya tahun 1859.
Selain sebagai perintis sekolah guru desa, dalam arti pendidikan tidak hanya dalam kelas, tidak hanya bagi para murid, tetapi juga masyarakat dan dengan bahasa Mandailing sebagai pengantar, Willem Iskander juga dikenal sebagai pengarang. Prosa dan puisinya yang terkumpul dalam Si Bulus Bulus, Si Rumbuk Rumbuk (Tulus, Mufakat, Rukun) adalah karangan satiris yang menyuarakan semangat kemerdekaan. Prosa dan puisi ini pernah dilarang beberapa tahun oleh Pemerintah Belanda sebab dinilai menyulutkan semangat kemerdekaan.
Di kalangan masyarakat Mandailing, ketokohan Willem Iskander selama bertahun-tahun kurang memperoleh tempat. Muncul narasi-narasi bias, yang kemudian dibantah oleh Basyral Harahap, dan sebaliknya lewat penelitian mendalam Basyral menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi pada Willem Iskander.
“Apa pun narasi dan kisah yang berkembang, Willem Iskander dalam usianya yang relatif pendek itu adalah tokoh hebat yang ikut serta menginspirasi ide kebangsaan,” kata Ichwan Azhari, Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, pekan lalu.
ST SULARTO
——————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 November 2015, di halaman 12 dengan judul “Willem Iskander, Sang Inspirator”.