Seiring Peningkatan Jumlah Penduduk, Risiko Bencana Berlipat 10 Kali
Indonesia dinilai memasuki siklus gempa dan tsunami besar setelah periode fase tenang. Padahal, jumlah penduduk yang tinggal di zona rawan bencana terus berlipat. Zona subduksi di selatan Jawa, Bali, hingga Sumba dinilai sebagai salah satu yang paling rentan, selain di segmen Mentawai di Maluku.
Gempa Aceh tahun 2004 menandai kembalinya siklus gempa besar di Indonesia. Namun, hal ini bukan satu-satunya kejadian gempa besar yang terjadi di wilayah Jawa dan Indonesia timur dalam 160 tahun.
“Sejak bencana Aceh 2004, Indonesia baru memasuki sekitar sepertiga paruh waktu keberulangan gempa besar,” kata Ron Haris, profesor geologi dari Brigham Young University, Amerika Serikat, dalam diskusi yang diadakan International Center for Interdisciplinary and Advanced Research, di Pusat Studi Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bandung, Jawa Barat, Rabu (14/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut kajian Ron, kegempaan di Jawa dan Sumatera memiliki siklus fase sepi gempa dan kemudian banyak gempa. Fase banyak gempa terjadi tahun 1920-an hingga 1935-an, dan kemudian sepi gempa hingga tahun 1950-an. Periode 1950-an hingga 1970-an banyak gempa dan kemudian fase sepi, dan mulai naik lagi sejak tahun 2000-an.
Ron telah meneliti kegempaan di Indonesia sejak 1997, mulai dari Jawa, Sumatera, hingga Ambon. Pada 2002, dia memublikasikan paper ilmiah tentang adanya seismic gap di Jawa dan bagian barat Sumatera. Zona seismic gap artinya, kawasan ini lama tidak dilanda gempa besar, tetapi menyimpan energi besar.
Kawasan ini dipercaya memiliki potensi gempa besar karena adanya bidang kuncian (locked patches) yang terisolasi di daerah pertemuan lempeng. Locked patches yang terisolasi ini ketika akhirnya lepas akan menghasilkan gempa bermagnitudo besar. “Lalu, pada 2004 terjadi gempa Aceh yang menewaskan lebih dari 200.000 orang,” kata Ron.
Ron menyesali karena tidak mampu membawa perubahan untuk meminimalkan korban tsunami di Aceh. Sejak saat itu, dia semakin intensif melakukan kajian di Indonesia, terutama di kawasan zona subduksi di sekitar Maluku yang menurut data historis memiliki jejak rekam gempa dan tsunami paling tinggi.
Dokumen sejarah kegempaan yang menjadi rujukan terutama adalah katalog gempa dan tsunami di Indonesia pada periode 1538-1877 yang disusun Wichmann. “Data ini sangat penting dan cukup lengkap di tengah minimnya catatan sejarah di Indonesia. Kami telah menerjemahkan katalog berbahasa Jerman ini ke dalam bahasa Inggris dan dalam proses ke bahasa Indonesia dan bisa diakses publik,” kata Ron.
Geolog dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, Prasetyadi, menambahkan, berdasarkan catatan sejarah sejak abad ke-16, telah terjadi sekitar 1.000 gempa bumi besar, 95 tsunami, dan 1.300 letusan gunung api. “Kejadian geologi itu sesuatu yang berulang dan cenderung konsisten. Padahal, jumlah populasi kita meningkat 10 kali lipat sejak 1950-an, yang artinya risiko bencananya berlipat 10 kali,” kata Prasetyadi.
Gempa berikutnya
Menurut Ron, setelah gempa Aceh tahun 2004 dan juga gempa Jepang tahun 2011, semua zona subduksi aktif di dunia berpotensi dilanda gempa besar. Untuk Indonesia, gempa besar berikutnya bisa terjadi di zona selatan Jawa hingga Sumba, subduksi Mentawai, dan subduksi di sekitar Palung Banda. Potensi gempa di zona ini bisa di atas M 9 atau setara gempa Aceh 2004.
Pemodelan yang dilakukan Ron menghitung, dengan kekuatan gempa ini, tsunami yang dibangkitkan di selatan Jawa, Bali, dan Lombok bisa 27-30 meter dan mencapai 5 km ke daratan.
Purna S Putra, peneliti paleotsunami dari LIPI, mengatakan, penelitian yang dilakukan timnya sejak beberapa tahun terakhir menemukan jejak keberulangan tsunami pada masa lalu di Pangandaran, Pacitan, hingga Jember. (AIK)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2017, di halaman 14 dengan judul “Waspadai Siklus Gempa Besar”.