Wallace Menjadi Inspirasi Ilmuwan Muda

- Editor

Minggu, 14 Oktober 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Karya Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris, bisa menjadi inspirasi bagi ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia. Wallace, kendati tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, mempunyai sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan tentang keragaman hayati dan antropologi. Dari karya fenomenal Wallace berjudul The Malay Archipelago, masih banyak ilmu pengetahuan yang perlu digali di Indonesia.

Wallace melakukan perjalanan ke kepulauan Nusantara pada periode 1854-1862. Selama empat tahun terakhir perjalanannya itu, ia banyak bermukim di Ternate, Maluku Utara. Delapan tahun perjalanan Wallace, sebanyak 125.600 spesimen dikumpulkan dari berbagai jenis serangga, burung, mamalia, reptil, dan binatang lainnya.

KOMPAS/ARIS PRASETYO–Diskusi bedah buku The Malay Archipelago karya AR Wallace, Jumat (12/10/2018), di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Karya-karya Wallace dalam bentuk buku dan jurnal ilmiah bisa menjadi bahan pembelajaran bagi ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia. Mereka lebih punya banyak tenaga dan pikiran untuk menggali lebih lanjut karya Wallace tersebut,” ujar Sangkot Marzuki, pakar Wallacea dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dalam acara bedah buku The Malay Archipelago, Jumat (12/10/2018), di Jakarta.

Menurut Sangkot, peran untuk menggali dan mempublikasikan warisan ilmiah Wallace ke khalayak tidak cukup dilakukan pemerintah saja. Perlu dukungan banyak pihak, baik dari pihak independen maupun media massa. Media massa punya peran strategis mempublikasikan karya ilmiah ke masyarakat umum dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti.

KOMPAS/ARIS PRASETYO–Buku berjudul Kepulauan Nusantara yang merupakan terjemahan dari The Malay Archipelago, karya Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris.

Penulis Letters from The Malay Archipelago, John van Wyhe, menambahkan, kendati tidak memiliki latar belakang ilmuwan, karya Wallace adalah karya ilmiah yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Yang bisa diteladani dari perjalanan Wallace adalah kegigihannya yang luar biasa untuk menempuh perjalanan sulit masuk hutan, menyeberangi laut, dan mencatat segala hal yang menarik dengan detil.

“Dia memang bukan ilmuwan, tetapi naturalis yang punya ketertarikan pada mahkluk hidup. Namun, karyanya punya andil besar terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri,” ucap John.

Aristides Katoppo, wartawan senior, mengatakan, ketelitian dan kegigihan Wallace mengagumkan. Sifatnya yang pantang menyerah menghasilkan karya luar biasa bagi ilmu pengetahuan. Selain itu, kemampuannya mendeskripsikan flora dan fauna di Nusantara sangat baik.

“Generasi muda sekarang sebaiknya meniru kegigihan berpetualang yang dimiliki Walace. Jurnalis, khususnya, harus punya kemauan meneliti dan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap suatu hal, serta mencari informasi penting di balik hal tersebut,” kata Katoppo.

Terlupakan
Karya Wallace yang didapat selama petualangannya di Nusantara, menurut sejarawan JJ Rizal, kurang begitu dirawat di Indonesia itu sendiri. Banyak artefak atau peninggalan sejarah yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan diabaikan. Padahal, artefak sangat penting untuk dijadikan pijakan awal menggali lebih dalam warisan ilmiah Wallace di Indonesia.

“Sebaiknya, peringatan 150 tahun buku The Malay Archipelago dijadikan pintu awal untuk merayakan sejarah dan merawat warisan ilmu pengetahuan,” kata Rizal.
Wallace dikenal terutama untuk studi tentang zoogeography, termasuk penemuan dan penjelasan tentang diskontinuitas fauna. The Wallace Line atau garis imajiner Wallace membentang antara pulau Bali dan Lombok, serta Kalimantan dan Sulawesi, dan menandai batas-batas timur terjauh spesies hewan Asia dan, sebaliknya, batas-batas barat terjauh binatang Australia.–ARIS PRASETYO

Sumber: Kompas, 13 Oktober 2018
————–
Pemanfaatan Kawasan Wallacea Belum Optimal

KOMPAS/ARIS PRASETYO–Penenun dari Nusa Tenggara Timur turut memeriahkan acara Wallacea Week 2018 yang berlangsung di gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (11/10/2018). Acara ini merupakan rangkaian peringatan 150 tahun buku The Malay Archipelago karya naturalis asal Inggris Alfred Russel Wallace.

Pemanfaatan potensi kawasan Wallacea belum optimal, baik dari sisi ilmu pengetahuan maupun nilai ekonominya. Salah satu potensi bernilai ekonomi tinggi yang menunggu dikembangkan adalah wisata minat khusus menyaksikan satwa endemis Wallacea di alam liar. Di satu sisi, gerakan penyadaran publik tentang pentingnya menjaga keragaman hayati kawasan Wallacea sangat diperlukan.

Demikian yang mengemuka dalam sejumlah diskusi pada penyelenggaraan Wallacea Week 2018, Kamis (11/10/2018), di Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan British Council, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dengan tema Merawat Wallacea, Merawat Indonesia. Sejumlah nara sumber utama dalam acara tersebut adalah ilmuwan dari AIPI, pakar kuliner, pakar sejarah, serta pakar budaya, dari dalam dan luar negeri.

Pakar ilmu lingkungan dan biologi pada Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, mengatakan, 90 persen fauna di kawasan Wallacea sangat khas, unik, dan tidak ditemukan di wilayah lain di dunia. Keunikan itu berupa percampuran antara satwa-satwa dari wilayah Asia dan Australia. Proses pembentukan Pulau Sulawesi, yang merupakan bagian penting kawasan Wallacea, turut memengaruhi terciptanya spesies-spesies unik yang sulit ditemukan di tempat lain.

“Keragaman hayati kawasan Wallacea bisa jadi modal berharga. Sayangnya, kita sendiri kurang pandai memanfaatkan atau mengoptimalkan potensi tersebut,” kata Jatna.

Jatna mencontohkan, di negara lain, untuk melihat gorila di habitat aselinya, pengunjung mesti membayar hingga 100 dollar AS. Sebaliknya, untuk menyaksikan tarsius (primata endemis kawasan Wallacea) di alam liar di Indonesia, misalnya, pengunjung hanya perlu membayar beberapa ribu rupiah saja. Ia menyebut bahwa potensi keragaman hayati kawasan Wallacea bisa menjadi modal penggerak ekonomi lokal di masa mendatang.

Direktur Unit Penelitian Terumbu Karang dari Universitas of Essex, David J Smith, menambahkan, tak hanya kekayaan keragaman di darat, kawasan Wallacea juga memyimpan kekayaan luar biasa di lautan. Jenis ikan dan terumbu karang di laut Wallacea luar biasa beragam. Dari sisi ilmu pengetahuan, laut di kawasan Wallacea ibarat laboratorium alam raksasa yang menunggu untuk terus digali.

“Hanya saja, ada ancaman serius terhadap keragaman biota laut di kawasan Wallacea. Ancaman itu berupa penangkapan ikan secara berlebihan, pengeboman terumbu karang, pembuangan sampah dan limbah ke laut,” ucap David.

Menggali potensi
Ketua AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, upaya mengingat kembali dan mengkaji peninggalan Wallace merupakan usaha yang terus-menerus untuk menggali potensi yang ada di Indonesia. Lantaran ada keterikatan yang kuat antara keragaman budaya dan hayati di kawasan Wallacea, partisipasi publik dalam melestarikan keragaman di kawasan Wallacea tersebut menjadi perhatian utama.

“Pada penyelenggaraan Wallacea Week 2017 sudah diangkat tema kisah hidup Wallace dan gagasan evolusinya, sehingga tercipta jalur flora dan fauna di kawasan Wallacea. Kali ini, tema yang diangkat seputar makanan dan nutrisi, konektivitas, dan upaya pelestarian keragaman di kawasan Wallacea,” ucap Satryo.

Direktur British Council Indonesia Paul Smith menambahkan, kawasan Wallacea menjadikan Indonesia pemegang peran penting dalam isu keberagaman. Indonesia perlu terus melanjutkan peran tersebut agar dapat menginspirasi tidak hanya masyarakat Indonesia sendiri, tetapi juga seluruh dunia untuk secara aktif menggali potensi budaya dan keanekaragaman hayati.

Kawasan Wallacea terletak di kepulauan Indonesia bagian timur sekaligus menjadi laboratorium hidup terbesar di dunia yang ada di Indonesia, ditemukan oleh Alfred Russel Wallace, seorang penjelajah dan naturalis Inggris. Pada 1854-1862, Wallace melakukan penjelajahan ilmiah dan mendokumentasikan perjalanannya ke dalam buku berjudul The Malay Archipelago. Tahun depan adalah tepat 150 tahun terbitnya karya fenomenal Wallace tersebut.–ARIS PRASETYO/LUKI AULIA

Sumber: Kompas, 12 Oktober 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 12 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB