Virus Hati

- Editor

Kamis, 1 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

CATATAN IPTEK
Penemuan virus hepatitis dan vaksinnya merupakan kesuksesan besar dunia riset kedokteran abad ini. Kini, selain bisa dicegah, penyakit itu bisa diobati, bahkan sebagian variannya dapat disembuhkan. Namun, virus dengan varian A, B, C, D, dan E yang menyerang organ hati itu masih menjadi ancaman global dan penderitanya terus meningkat.

Virus hepatitis menghuni bumi sebelum manusia. Riset paleo-DNA oleh tim peneliti dari University of Münster, Jerman, di Nature Communication pada 2013 mengungkapkan, virus hepatitis B (HBV) menjangkiti unggas 63 juta tahun lalu, lalu menyeberang ke mamalia, termasuk manusia.

KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT–Tim dokter dari Pusat Kesehatan Masyarakat Tapos memeriksa kesehatan siswa SMAN 4 Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Pemeriksaan dilakukan seiring dengan merebaknya virus hepatitis A di sekolah tersebut. Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Hepatitis Virus di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dokumen tertua tentang hepatitis ditemukan dari deskripsi pengobatan bangsa Sumeria di lembaran tanah liat sekitar 3.000 tahun lalu, berikutnya penyakit itu menghantui hampir semua bangsa dan dianggap terkait sihir. Hepatitis meledak semasa Perang Dunia Ke-2 dan menjadi penyebab kematian lebih dari 16 juta orang. Hingga saat itu, penyakit ini belum diketahui pasti penyebab dan cara mengatasinya (Trepo, 2014).

Tabir hepatitis terkuak saat Baruch Blumberg, dokter yang juga ahli genetika Amerika, mengidentifikasi virus hepatitis B (HBV) di dalam sampel darah yang ditelitinya setengah abad lalu. Penemuan itu kebetulan karena Blumberg awalnya bermaksud menyelidiki penyakit genetika.

Sejak 1950-an, ia memeriksa sampel darah populasi di berbagai belahan dunia dan tahun 1960-an mengidentifikasi antigen berbeda dari sampel darah orang Aborigin di Australia yang dinamakan antigen Australia. Melalui riset lanjut, pada 1967, ia menyadari bahwa antigen itu ialah virus penyebab hepatitis B.

Dua tahun kemudian, Blumberg dan kolaboratornya, Irving Millman, menciptakan vaksin hepatitis B. Temuan itu kerap dianggap sebagai vaksin ”antikanker” pertama karena bisa mencegah hepatitis kronis yang jadi penyebab utama kanker hati. Blumberg mendapat Nobel Kedokteran tahun 1976.

Berikutnya, virus penyebab infeksi hepatitis A (HAV) ditemukan dan dibuat vaksinnya tahun 1970-an. Pada 1989, virus hepatitis C (HCV) diisolasi lewat pendekatan molekuler. Belum ada vaksin bagi hepatitis C, tetapi 80 persen kasus itu bisa disembuhkan. Pada 1990, virus hepatitis E (HEV) ditemukan dan dibuat vaksinnya.

Meski ada lompatan pemahaman pencegahan dan pengobatannya, hepatitis masih jadi sumber kematian utama. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis saat Hari Hepatitis Dunia pada 28 Juli 2019 menyebutkan, 257 juta orang di dunia hidup dengan hepatitis B kronik dan 71 juta orang terkena hepatitis C kronik. Hepatitis B dan C jadi penyebab kematian 1,4 juta orang setiap tahun dan menempati urutan kedua penyakit infeksi paling mematikan setelah tuberkulosis (TB).

Virus hepatitis menginfeksi orang 9 kali lebih banyak dibandingkan dengan HIV. Jika kematian karena TB dan HIV menurun, kematian karena hepatitis justru meningkat. Pada 2017 saja, jumlah pasien baru hepatitis 2,85 juta orang. Tren peningkatan hepatitis juga terjadi di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, 2013, dan 2007, prevalensi hepatitis di hampir semua provinsi meningkat.

Padahal, hepatitis adalah fenomena gunung es, ketika penderita yang tercatat atau memeriksakan diri lebih sedikit dibandingkan angka sesungguhnya. Karena penyakit ini menahun, pasien tak segera tahu tentang virus yang menjangkitinya.

Besarnya infeksi dan kematian akibat hepatitis terutama disebabkan rendahnya literasi publik tentang penyakit ini, terutama terkait cara mencegahnya. Infeksi HBV bisa ditularkan dari ibu ke anak melalui proses kelahiran ataupun kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh lain.

KOMPAS/RIZA FATHONI–Pemeriksaan USG pada ibu hamil di Rumah Sakit Bunda, Menteng, Jakarta, Kamis (9/10/2014). Deteksi dini pada ibu hamil diperlukan untuk mengantisipasi berbagai penyakit yang mungkin ditularkan kepada anak, termasuk hepatitis.

HDV merupakan pengembangan lebih lanjut dari HBV, dengan penularan yang hampir sama. HCV umumnya ditularkan melalui darah terinfeksi sekalipun dalam jumlah sangat sedikit, misalnya melalui transfusi, jarum suntik, selain hubungan seksual yang memicu adanya paparan darah.

Adapun HAV, yang baru-baru ini diketahui mewabah dan menginfeksi lebih dari 500 orang di Pacitan, Jawa Timur, tergolong paling mudah menular, yaitu melalui makanan dan minuman yang terinfeksi. Hepatitis A tergolong paling ringan dampaknya dan umumnya bisa sembuh sendiri walaupun menurut laporan WHO pada tahun 2016 menyebabkan kematian 7.134 orang atau 0,5 persen dari total kematian akibat hepatitis.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 31 Juli 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Sejarah Ilmu Kedokteran
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:27 WIB

Sejarah Ilmu Kedokteran

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB