Matahari tepat berada di atas khatulistiwa pada Kamis, 21 Maret 2019. Pada saat itu, ketika tengah hari atau saat Matahari ada di atas kepala, semua benda yang ada di sepanjang garis khatulistiwa kehilangan bayangannya.
Hilangnya bayang-bayang itu terjadi karena bayangan jatuh tegak lurus di bawah kaki atau sebuah benda. Namun, hilangnya bayang-bayang itu hanya terjadi saat Matahari tepat berada di atas kepala, bukan sepanjang hari.
KOMPAS/ HARYO DAMARDONO–Tugu khatulistiwa terletak di Siantan, Pontianak Utara, Kalimantan Barat, sekitar 5 kilometer dari pusat kota Pontianak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beberapa kota di Indonesia yang ada di garis khatulistiwa dan mengalami fenomena hilangnya bayang-bayang itu pada 21 Maret lalu antara lain Bonjol di Pasaman (Sumatera Barat), Pontianak (Kalimantan Barat), Parigi Moutong (Sulawesi Tengah), dan Pulau Kayoa, Halmahera Selatan (Maluku Utara).
Tahun 2019, Matahari tepat berada di atas khatulistiwa pada Kamis (21/3) pukul 04.58. Posisi Matahari di atas khatulistiwa pada bulan Maret itu bervariasi antara 19 Maret dan 21 Maret setiap tahun.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan, hilangnya bayang-bayang saat tengah hari itu terjadi lebih kurang dua hari sejak Matahari tepat di khatulistiwa (Kompas, 20 Maret 2018). Itu berarti, untuk tahun ini, hari tanpa bayangan di khatulistiwa itu berlangsung antara 19 Maret dan 23 Maret.
Sementara itu, waktu Matahari tepat di atas kepala juga berubah-ubah hampir tiap hari dan berbeda untuk setiap daerah. Namun, untuk daerah di khatulistiwa, perbedaannya tidak terlalu mencolok.
Pada Kamis (21/3), menurut timeanddate.com, Matahari tepat di atas kepala di Pontianak terjadi pukul 11.49 WIB, Bonjol pada pukul 12.20 WIB, Parigi Moutong pada pukul 12.06 Wita, dan Pulau Kayoa pada pukul 12.37 WIT.
Sumbu Bumi
Keberadaan Matahari yang tepat di atas khatulistiwa merupakan konsekuensi dan sumbu rotasi Bumi yang miring 23,5 derajat. Sembari berotasi atau berputar pada sumbunya, Bumi juga berevolusi mengelilingi Matahari. Akibatnya, Matahari seolah-olah bergerak bolak-balik dari belahan Bumi selatan ke belahan Bumi utara dan sebaliknya.
Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, mengatakan, Matahari akan tepat berada di khatulistiwa sebanyak dua kali dalam satu tahun, yaitu antara 19 Maret dan 21 Maret (paling sering 20 Maret) dan 21-24 September (paling sering 23 September) (Kompas, 20 Maret 2018).
Saat Matahari berada tepat di atas khatulistiwa, pancaran sinar Matahari akan terbagi rata ke seluruh permukaan Bumi. Akibatnya, seluruh tempat di Bumi akan mengalami panjang waktu siang dan malam yang sama, yaitu sama-sama 12 jam.
Karena itu, peristiwa ini disebut ekuinoks atau equinox yang diambil dari bahasa Latin, aequus yang berarti sama dan nox yang berarti malam.
Meski demikian, pada kenyataannya, waktu siang pada saat ekuinoks sedikit lebih panjang dibandingkan dengan malamnya. Hal itu terjadi karena saat Matahari terbit dan terbenam lebih ditentukan berdasarkan pembiasan atau refraksi sinar Matahari oleh atmosfer Bumi.
Ekuinoks yang terjadi pada Maret memiliki beberapa sebutan, mulai dari ekuinoks maret, vernal (spring) equinox, atau titik musim semi. Pada saat ini, Matahari seolah bergerak dari belahan Bumi selatan menuju belahan Bumi utara.
Ekuinoks maret menjadi penanda datangnya musim semi di belahan Bumi utara, tetapi jadi tanda datangnya musim gugur di belahan Bumi selatan.
Sebaliknya, ekuinoks september disebut autumnal equinox atau ekuinoks september yang jadi penanda datangnya musim gugur di belahan Bumi utara dan musim semi di belahan Bumi selatan. Pada saat ini, Matahari seolah bergerak dari belahan Bumi utara menuju belahan Bumi selatan.
NOAA/NOAA ENVIRONMENTAL VISUALIZATION LABORATORY–Citra Bumi yang diambil Geostationary Operational Environmental Satellite (GOES) East pada Rabu (20/3/2019), 10 jam sebelum Matahari tepat di atas khatulistiwa. Dari citra terlihat permukaan Bumi terbagi sama antara daerah yang mengalami siang dan malam.
Tanda kegembiraan
Sejak peradaban manusia dimulai, populasi manusia memang lebih banyak terdapat di belahan Bumi utara dibandingkan dengan belahan Bumi selatan. Karena itu, datangnya ekuinoks maret alias datangnya musim semi selalu disambut dengan berbagai perayaan dan sukacita oleh masyarakat dalam berbagai budaya.
Datangnya musim semi jadi pertanda datangnya kehangatan dan kebahagian setelah musim dingin yang membekukan. Karena itu, titik musim semi itu banyak dijadikan penanda waktu penting bagi bangsa-bangsa di belahan Bumi utara.
Ekuinoks maret yang jatuh pada Kamis (21/3/2019) jadi penanda datangnya tahun baru Nowruz yang dirayakan masyarakat Iran dan sejumlah negara di Asia Tengah, Asia Barat, dan Asia Selatan. Tahun baru Nowruz ini didasarkan pada sistem kalender bangsa Persia dan berakar dari tradisi zoroastrianisme yang sudah dirayakan lebih dari 3.000 tahun.
Di Iran, Nowruz jadi hari libur nasional selama tiga hari. Masyarakat merayakannya dengan memakai baju baru, membersihkan rumah, serta menyiapkan Sabzeh atau tunas hijau dari bibit gandum atau biji-bijian tertentu yang ditumbuhkan di atas piring.
Bangsa Jepang juga merayakan ekuinoks maret sebagai hari libur nasional. Sebelum 1948, datangnya musim semi ini dijadikan hari penghormatan untuk kaisar Jepang yang berakar dari tradisi agama Shinto dan dinamai shunki koreisai.
Kini, ekuinoks maret dirayakan sebagai hari bagi keluarga untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama-sama. Sebagian keluarga juga berziarah ke makam leluhur mereka dengan membersihkan batu nisan penanda abu mereka atau menanam bunga tertentu untuk menghormati mereka.
Bagi umat Kristiani, titik musim semi jadi penentu perayaan agama yang penting, yaitu Paskah. Konsili Nicea tahun 325 Masehi menyebut, dalam sistem kalender Gregorian atau kalender masehi, perayaan Paskah jatuh pada Minggu pertama setelah Bulan purnama pertama setelah Matahari melintasi titik musim semi.
Titik musim semi tahun ini terjadi 21 Maret, sedangkan Bulan purnama pertama setelah ekuinoks maret terjadi pada Jumat, 19 April 2019. Karena itu, Paskah akan jatuh pada Minggu, 21 April 2019.
ELSA EMIRIA LEBA UNTUK KOMPAS–Suasana misa pertama malam Paskah oleh umat Katolik di Gereja Katedral Jakarta, Sabtu (31/3/2018). Telur Paskah raksasa yang dibuat melambangkan harapan agar Indonesia dilimpahi berkah melimpah. Perayaan Paskah jatuh pada Minggu pertama setelah Bulan purnama pertama setelah Matahari melintasi titik musim semi.
Sementara itu, bangsa Maya di Meksiko menyambut ekuinoks maret sebagai saat pengorbanan darah manusia. Pengorbanan itu biasanya dilakukan di piramida yang ada di Chichen Itza, Semenanjung Yucatan, Meksiko. Piramida yang dibangun dengan sudut yang sangat cermat itu membuat saat hari ekuinoks, sinar Matahari akan tampak seperti ular yang menuruni tangga piramida.
Bagi bangsa-bangsa di Nusantara, khususnya yang memiliki iklim monsun dan berada di selatan khatulistiwa, hari ekuinoks jadi penanda bergantinya musim atau datangnya musim pancaroba.
Sebelum terjadi perubahan iklim, ekuinoks maret jadi penanda berakhirnya musim hujan dan mulai datangnya musim kemarau. Sebaliknya, ekuinoks september jadi tanda berakhirnya kemarau dan tibanya musim hujan.
Tak hanya menjadi perayaan, astronom menjadikan ekuinoks maret sebagai patokan untuk menghitung panjang tahun tropis atau tahun matahari. Dalam astronomi, tahun tropis adalah waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengelilingi Matahari satu putaran penuh dengan acuan dari satu ekuinoks maret ke ekuinoks maret berikutnya.
Panjang satu tahun tropis rata-rata adalah 365 hari, 5 jam, 48 menit, dan 45 detik. Namun, panjang satu tahun tropis antartahun berbeda beberapa menit. Jarak antara ekuinoks maret 2015 dan ekuinoks maret 2016 adalah 365 hari, 5 jam, 44 menit, dan 56 detik. Sementara antara titik musim semi 2016 dan titik musim semi 2017 adalah 365 hari, 5 jam, 58 menit, dan 36 detik.
Banyaknya perayaan penting yang menyertai datangnya musim semi di belahan Bumi utara menunjukkan ekuinoks maret jadi momen penting bagi manusia. Alam memberi petunjuk yang membantu manusia mengatur ritme hidupnya.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sunber: Kompas, 25 Maret 2019