Perubahan lingkungan akibat pembangunan bisa memicu meluasnya penyakit yang ditularkan melalui pembawa virus, seperti nyamuk. Selain itu, perubahan pola iklim juga menyebabkan perubahan fisiologi dan perilaku vektor sehingga mempersulit pemberantasan.
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Umar Fahmi Achmadi, Selasa (23/2), di Jakarta, habitat ekosistem yang berubah menyebabkan beberapa komponen ekosistemnya bisa tetap atau malah bertambah. ”Saat lingkungan berubah, ada mekanisme kesetimbangan ekologi baru. Sampai kini belum sepenuhnya bisa dipelajari,” ujarnya.
Perubahan lingkungan akibat pembangunan memunculkan habitat baru. Daerah yang semula rawa dan disulap menjadi perumahan, misalnya, merupakan habitat baru nyamuk Aedes aegypti yang membutuhkan genangan air bersih. ”Jenis nyamuk itu membawa virus dengue, Zika, dan chikungunya,” kata Umar yang juga mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Contoh lain, hutan diubah menjadi kebun sawit. Jika ada binatang kecil yang bergantung pada hewan besar sebagai sumber makanan, kini ia kehilangan hewan besar itu dan diisi manusia. Jadi, binatang kecil itu mengambil makanan dari manusia. ”Di situ terjadi penularan penyakit yang tadinya hanya diidap hewan besar, lalu berpindah ke manusia,” ujarnya.
Alih fungsi lahan
Peneliti nyamuk Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, Triwibowo, di Salatiga, Jawa Tengah, secara terpisah, mengatakan, bentuk alih fungsi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, berdasarkan surveinya pada 2001, telah menyebabkan nyamuk penular malaria, Anopheles sundaicus, berkembang biak.
”Sebelumnya tak ada kasus, tetapi kemudian ada,” ucapnya. Nyamuk Anopheles sundaicus tak bisa berkembang biak saat ada hutan mangrove karena sumber makanannya yang berupa sejenis ganggang terbatas. Setelah hutan mangrove dibuka, air dengan kadar garam tertentu memicu pertumbuhan ganggang.
Karena itu, menyangkut kebakaran hutan dan lahan sekitar 2,1 juta hektar pada tahun lalu, masyarakat harus mengantisipasi kemungkinan penyakit yang bakal timbul. ”Tidak segera, tetapi akan ada secondary impact (dampak ikutan) dari perubahan ekosistem,” kata Umar.
Peneliti pada Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC-UI), Budi Haryanto, mengatakan, 15-20 tahun lalu musim kemarau berlangsung 6 bulan dan musim hujan 6 bulan. Saat ini, musim hujan di sejumlah wilayah berubah lebih lama sehingga genangan air bersih kian banyak. ”Tempat perindukan bertambah, itu menambah jumlah nyamuk,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jatim Harsono menjelaskan, curah hujan di Sidoarjo tinggi sehingga ada banyak genangan yang berpotensi menjadi sarang nyamuk.
Selain perubahan lahan, kenaikan suhu juga membuat nyamuk Aedes aegypti lebih cepat dewasa, yakni dari 9-12 hari menjadi 7-9 hari. Suhu hangat juga menyebabkan ukuran tubuh nyamuk menjadi lebih kecil sehingga terbang lebih jauh dari sebelumnya 70 meter lurus menjadi 140 meter garis lurus. ”Frekuensi nyamuk menggigit juga menjadi lebih sering, dari lima hari sekali menjadi tiga hari sekali, sehingga potensi menularkan penyakit lebih tinggi,” kata Budi. (ISW/JOG/DEN)
———
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Februari 2016, di halaman 1 dengan judul “Lingkungan Berubah, Penyakit Bertambah”.