Vaksin Malaria Diterapkan untuk Pertama Kali

- Editor

Kamis, 25 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Malawi menjadi negara pertama di dunia yang jadi proyek percontohan bagi vaksin malaria untuk anak-anak dan berikutnya direncanakan akan dilakukan di dua negara lain di Afrika, yaitu Ghana dan Kenya. Namun, efikasi atau kemanjuran vaksin ini di luar Afrika masih rendah sehingga penggunaannya secara global diragukan.

”Kita membutuhkan solusi baru menghadapi malaria dan vaksin ini memberi kita peluang yang menjanjikan,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam siaran persnya, Selasa (23/4/2019). Vaksin malaria itu berpotensi menyelamatkan puluhan ribu jiwa anak-anak.

KOMPAS/ ADHITYA RAMADHAN–Seorang anak di kota Timika, Kabupaten Mimika, Papua, menangis saat diambil sampel darahnya oleh petugas dari Malaria Center PT Freeport Indonesia, Rabu (25/10/2017). Pemeriksaan sampel darah biasanya dilakukan bersama dengan edukasi kesehatan dan penyemprotan tembok rumah dengan insektisida.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemberian vaksin yang dikoordinasikan oleh WHO ini merupakan upaya kolaborasi dengan melibatkan Kementerian Kesehatan Malawi, Kenya, dan Ghana serta mitra internasional, termasuk Path, organisasi nirlaba, serta GSK, pengembang dan produsen vaksin, yang menyumbang 10 juta dosis vaksin.

Kampanye ini bertujuan untuk menjangkau 360.000 anak usia di bawah 2 tahun di tiga negara setiap tahun.

Vaksin malaria yang dinamakan Mosquirix atau RTS,S ini dianggap bisa mengurangi dampak malaria pada anak-anak. Dalam uji klinis, vaksin ini melindungi empat dari 10 kasus malaria.

Meski demikian, Tedros mengatakan, vaksin ini hanya bagian tambahan dari upaya pencegahan lain yang harus dilakukan, seperti penggunaan kelambu dan insektisida.

Vaksin RTS,S dikembangkan selama 30 tahun terakhir dan merupakan satu-satunya yang tersedia. Namun, vaksin ini memiliki efikasi yang relatif rendah, hanya 40 persen, dibandingkan dengan vaksin-vaksin untuk penyakit lain.

Belum tentu efektif
Sekalipun sudah diterapkan di tiga negara, sejauh ini WHO belum merekomendasikan vaksin ini secara global. Sejumlah ilmuwan di dunia masih meragukan efektivitas vaksin ini. Kritik, misalnya, disampaikan Alena Pance, ilmuwan dari Wellcome Trust Sanger Institute, yang diwawancara CNN.

Ahli malaria dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Syafruddin, yang diwawancara, Rabu (24/4/2019), mengatakan, vaksin yang diterapkan di Malawi ini awalnya akan digunakan secara luas.

”Namun, uji klinis di 5 negara Afrika dan 1 negara di Asia ini menunjukkan hasil mengecewakan. Penerapan di Malawi lebih untuk menyelamatkan investasi besar yang dikeluarkan untuk menghasilkan vaksin ini. Jadi, untuk saat ini, baru bisa diterapkan di negara di mana vaksin ini masih efektif,” tuturnya.

Syafruddin mengatakan, vaksin malaria yang efektif dan bisa diterapkan secara global sangat sulit dibuat karena banyaknya variasi antigen dalam parasit penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk ini.

”Yang cocok di suatu tempat atau negara belum tentu sesuai di negara lain. Bahkan, yang saat ini dianggap cukup efektif di Malawi bisa jadi nanti berubah,” ujarnya.

Ilmuwan pada Program Global Malaria WHI, David Schellenberg, dalam wawancara dengan kantor berita BBC, mengakui bahwa vaksin itu masih memiliki banyak kelemahan.

”Tak ada yang bisa menyatakan vaksin ini adalah senjata ajaib. Ini mungkin kedengarannya tidak banyak, tetapi kita sedang berbicara tentang pengurangan 40 persen malaria berat,” ucapnya.

Data WHO menunjukkan, malaria masih menjadi salah satu pembunuh utama di dunia dan merenggut nyawa satu anak setiap dua menit. Sebagian besar kematian itu terjadi di Afrika, dengan lebih dari 250.000 anak meninggal akibat penyakit ini setiap tahun. Anak-anak di bawah 5 tahun berisiko paling tinggi mengalami komplikasi yang mengancam jiwa. Di seluruh dunia, malaria membunuh 435.000 orang per tahun, kebanyakan dari mereka anak-anak.

Sejumlah daerah di Indonesia hingga saat ini juga masih dinyatakan endemik malaria. Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2017, Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur merupakan daerah dengan kategori endemis tertinggi malaria. Tercatat ada 261.617 kasus malaria secara nasional yang menewaskan setidaknya 100 orang setiap tahun.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 24 April 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB