Siswa Sekolah Dasar Inpres Laikarenga, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, mengisi ulang daya lampu yang bersumber listrik tenaga surya, Senin (29/1). Selain memenuhi kebutuhan listrik untuk kegiatan sekolah, listrik berbasis tenaga surya di sekolah itu bisa dimanfaatkan para murid untuk mengisi ulang lampu dengan tarif Rp 1.500.
Kebijakan Sumba Iconic Island menghadapi dilema, yaitu komitmen pada penyediaan energi terbarukan dan kebutuhan pragmatis untuk segera menyediakan listrik bagi masyarakat.
Setelah diinisiasi sejak tahun 2011, pada tahun 2015 Pulau Sumba akhirnya ditetapkan sebagai Pulau Ikonis Energi Terbarukan atau Sumba Iconic Island for Renewable Energy. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3051K/30/MEM/2015 menjadi dasar hukumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan penetapan ini, Sumba akan menjadi pulau yang seluruh kebutuhan energinya dapat dipenuhi melalui pemanfaatan energi terbarukan. Pada tahun 2020, ditargetkan sebanyak 95 persen energinya dari energi terbarukan. Target ini jauh lebih ambisius dibandingkan rencana bauran energi terbarukan nasional sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Program ini memang mampu meningkatkan tingkat elektrifikasi di Pulau Sumba. Dibandingkan sebelum program ini baru dirintis pada tahun 2011, tingkat elektrifikasi di Sumba telah meningkat dari 24,5 persen menjadi 42,67 persen pada 2016. Sebanyak 12,67 persen aliran listrik di Sumba kini dipasok dari energi terbarukan, terutama tenaga mikrohidro, tenaga surya, dan tenaga angin.
Para petugas Renewable Energy Service Corporation (Resco) merawat panel surya di Sekolah Dasar Laikarenga, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Senin (29/1). Sejak 2015 Pulau Sumba ditetapkan sebagai Pulau Ikonis Energi Terbarukan atau Sumba Iconic Island for Renewable Energy yang ke depan seluruh listriknya akan dipenuhi dari energi terbarukan.
Sekalipun terjadi peningkatan, tetapiperkembangan elektrifikasi di Pulau Sumba dianggap masih sangat lambat. “Hingga saat ini, dari 156 desa di Sumba Timur, sebanyak 86 di antaranya belum mendapatkan listrik,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumba Timur Bartholomeus Ngg Landu Meha, yang ditemui di Waingapu, Nusa Tenggara Timur, Rabu (31/1).
Oleh karena itu, menurut Bartholomeus, jika boleh memilih, dirinya akan lebih megutamakan penyediaan listrik untuk masyarakat dibandingkan harus menunggu pembangunan pembangkit listrik terbarukan. “Jika bisa dari sumber energi terbarukan akan baik,” katanya.
Dedy J Haning, Koordinator Proyek Hivos-Sumba Iconic Island, mengakui soal itu. ”Saat ini ada peningkatan elektrifikasi dan bauran energi terbarukan di Sumba, tetapi memang masih lambat karena terdapat sejumlah tantangan,” ujarnya. Hivos merupakan lembaga internasional non pemerintah berbasis di Belanda, yang sejak awal turut menginisiasi Porgram Sumba Iconic Island ini.
Paling gelap
Jika dibandingkan dengan tingkat elektrifikasi nasional sebesar 94,91 persen, Sumba memang jauh ketinggalan. Direktur Energi, Telekomunikasi, dan Informatika Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rachmat Mardiana dalam diskusi di Jakarta, mengatakan, terdapat dua daerah yang tingkat elektrifikasinya amat rendah, yaitu Papua dan Nusa Tenggara Timur, yang masing-masing 60 persen. ”Setidaknya 2.500 desa belum teraliri listrik, sebagian besar di Papua dan NTT,” ujarnya.
Dengan tingkat elektrifikasi di Pulau Sumba yang bahkan belum mencapai 50 persen, bisa dikatakan bahwa pulau ini termasuk yang paling gelap di Indonesia. Itu pula yang ditemui ketika Kompas menelusuri Pulau Sumba pada penghujung Januari lalu.
Listrik dari jaringan PLN kabanyakan hanya menjangkau kota-kota besar dan jalan utama. Begitu masuk ke desa-desa, suasana gelap gulita. Pola hunian masyarakat di Sumba yang menyebar, menurut Bartholomeus, menjadi hambatan utama untuk mengalirkan listrik ke masyarakat. Biaya pemasangan jaringan menjadi tidak ekonomis.
Tak hanya rumah-rumah warga yang masih minim listrik, sebagian besar sekolah di Pulau Sumba juga belum teraliri listrik dari jaringan utama PLN. “Masih ada sekitar 70 persen sekolah di Sumba yang belum teraliri listrik,” kata Dedy.
Jika hanya menunggu jaringan utama dari PLN, upaya pemenuhan listrik di Pulau Sumba akan sulit dipenuhi. “Untuk Sumba, yang paling cocok menggunakan sistem listrik off grid (sistem listrik yang tidak terhubung dengan jaringan besar),” kata Dedy.
Inovasi Energi
Di tengah kegelapan yang menyelimuti Sumba, cahaya muncul dari rumah-rumah dan sekolah yang telah mengikuti Program Terang yang diinisiasi oleh Hivos dan konsorsiumnya. Seperti yang terlihat di Desa Wee Wula dan Desa Delo di Sumba Barat Daya, sebagian rumah terlihat bercahaya dari penerangan lampu dari energi surya.
Melalui program ini, warga bisa mendapatkan satu lampu tenaga surya dengan membayar Rp 50.000. Setelah 300 kali melakukan isi ulang di “kios energi” milik warga, bola lampu itu akan menjadi milik warga. Namun, untuk setiap kali mengisi ulang, warga harus membayar Rp 2.000.
“Sekalipun harus bayar untuk beli lampu dan biaya isi ulang, tetapi masih jauh lebih murah dibandingkan sebelumnya kalau kami pakai lampu dari minyak tanah,” kata Maria Rani Ate (59), warga Desa Wee Wula.
Maria mengatakan, rata-rata mengisi ulang lampu solar panel itu seminggu dua kali dengan pemakaian rata-rata tiga jam tiap hari. “Lampu bisa dipakai belajar cucu dan penerangan ke dapur atau kalau lagi jalan ke luar rumah. Lampunya enak bisa dibawa-bawa seperti senter,” katanya.
Albina Wini, warga Desa Wee Wula lainnya juga mengaku gembira dengan keberadaan lampu tenaga surya ini. “Kalau pakai genset, semalam bisa habis Rp 30 ribu untuk bahan bakar saja,” ujarnya.
Sejak dijalankan pada 2015, proyek Terang telah memasang generator tenaga surya dengan kapasitas 60,68 kW di NTT, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Listrik dari sumber energi terbarukan mengalir ke 5.079 rumah tangga dan 25 sekolah. Selain tenaga surya, sumber energi yang dikembangkan adalah biogas.
Pasar energi
Berbeda dengan program bantuan lain, proyek Terang dari awal tidak dijalankan dengan pendekatan murni hibah. Robert de Groot, Senior Consultant for Green Energy Project Hivos, mengatakan, selain ditujukan untuk mengaliri listrik ke masyarakat pedalaman, proyek tersebut membentuk pasar energi terbarukan dan energi terapan. “Kami memilih memakai pendekatan pasar dan menuntut kontribusi nyata warga untuk membeli peralatan listrik,” kata dia.
Dengan pendekatan ini, kemudian dibentuk unit usaha Renewable Energy Service Center Organization (RESCO) yang melibatkan masyarakat lokal. Melalui unit ini dikembangkan mekanisme ”kios energi”, yaitu layanan pengisian lampu tenaga surya yang dikelola warga dengan sistem kerjasama.
Margaretha Katoda, warga Desa Delo yang menjadi mitra RESCO dengan menyediakan kios energi di tokonya mengatakan, sebagian hasil biaya isi ulang yang diperolehnya dari masyarakat akan disetor ke RESCO. Selanjutnya, RESCO menggunakan biaya tesebut untuk biaya perawatan, selain juga untuk pengembangan baru di desa-desa lain.
“Manfaat lain setelah kami membuka kios energi, toko sembako kami menjadi lebih laris. Sambil menunggu isi ulang, warga biasanya membeli kebutuhan rumah tangga di kami,” kata Margaretha.
Menurut Maria, sebelum menggunakan lampu dari proyek Terang ini sebenarnya sudah pernah menggunakan listrik tenaga surya yang diberikan gratis oleh pemerintah. Selain itu, dia juga pernah berlangganan listrik tenaga surya yang disedikan PLN. “Namun semuanya tidak berlanjut karena lampu dan baterainya sering mati, tapi tagihan jalan terus. Akhirnya dicabut lagi. Tapi lampu yang dari proyek Terang ini jauh lebih bagus dan dijamin kalau rusak akan diganti,” katanya.
Sekalipun dinilai sangat bermanfaat, tetapi menurut Maria, jatah satu lampu untuk tiap rumah masih sangat kurang. Tak hanya itu, jalan-jalan desa yang gelap juga membutuhkan cahaya listrik di malam hari. “Kalau bisa tolong kirimkan kelebihan lampu di Jakarata ke kami,” ujarnya.
Masyarakat Sumba, hingga saat ini memang rata-rata masih mengonsumsi energi listrik sangat kecil, bahkan mungkin salah satu yang terkecil di negeri ini. Namun mereka kini dituntut untuk memenuhi target nasional untuk bauran energi terbarukan, sementara masyarakat kota seperti Jakarta menghamburkan listrik dari sumber energi kotor…–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 12 Februari 2018