Pembicaraan para penyelam saat berkunjung ke sejumlah wisata bahari andalan Indonesia hampir pasti tak lepas dari topik sampah. Mulai dari kemasan makanan dan minuman, tali pancing, hingga kantong plastik kerap menyisip di antara karang atau terapung di kolom air. Sesuatu yang mengganggu para penikmat wisata bawah air.
Divers Clean Action, komunitas anak muda penyelam yang fokus di isu sampah bahari, menjumpai sedikitnya 16 kilogram sampah saat mengitari 100 meter dasar perairan laut dan 18 kilogram sampah pada 100 meter pantai di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. “Setelah kami clean-up pagi, eh, sore sudah ada lagi sampahnya,” kata Swietenia Puspa Lestari, pegiat DCA yang juga pernah meraih runner-up ketiga Miss Scuba Indonesia 2014.
Sampah-sampah yang dikumpulkan itu sebagian berupa plastik dan kaleng ataupun limbah elektronik, seperti aki dan lampu. “Di bawah itu sudah kayak supermarket. Apa saja ada,” keluhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Temuan ini ternyata tak berbeda dengan daerah-daerah relatif terpencil, seperti Wakatobi di Sulawesi Tenggara dan Anambas di Kepulauan Riau. Dari Pulau Weh di Aceh hingga Teluk Cenderawasih di Papua pun hadapkan masalah sampah.
Marta Muslin, penyedia jasa wisata selam di Komodo, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pun mengungkapkan hal serupa. Ia bahkan menyebut, sampah di pantai dan laut jika tak terkendali bakal menjadi pembunuh wisata bahari yang sedang bertumbuh di Komodo.
“Ada 100.000 lebih wisatawan yang mengunjungi Komodo pada tahun lalu. Ketika mereka melihat sampah plastik saat menyelam atau jalan-jalan di pantai, kesan seperti apa nanti yang diceritakan,” katanya.
Dari sisi wisata, menumpuknya sampah menjadi tantangan nasional dalam mencapai target 20 juta wisatawan (2020) dari angka realisasi 9 juta wisatawan pada 2014. Jutaan pelaku usaha kecil dan besar yang menggantungkan hidup dari pariwisata akan terdampak langsung. Belum dari sisi kesehatan dan keamanan pangan.
Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Akbar Tahir menunjukkan riset bersamanya dengan University of California Davis (2014 dan 2015) yang menemukan plastik di saluran pencernaan ikan dan kerang di Makassar dan California, AS. Dari 10 ikan teri di Makassar, 4 ekor memiliki mikroplastik di dalam pencernaannya.
“Dari paus sampai teri sekarang ditemukan plastik. Ini sangat mengkhawatirkan,” katanya (Kompas, 2 April 2017). Di California, plastik yang ditemukan kebanyakan berupa filamen yang diduga berasal dari cucian pakaian nilon. Sementara di Indonesia, plastik yang ditemukan berupa fragmentasi plastik.
Bahkan, mengutip penelitian lain, ia menunjukkan sebaran plastik berukuran nano atau lebih kecil dari 300 mikrometer (lebih kecil dari plastik mikro atau di bawah 5 mm) yang menyerupai plankton atau sumber makanan di perairan laut. Merujuk riset peneliti Inggris, James Clark, dan kawan-kawan, ditemukan nanoplastik dalam tubuh copepod. Kondisi tersebut bisa sangat membahayakan karena nanoplastik ini akan masuk dalam rantai makanan dan terakumulasi setelah copepod itu dimakan ikan yang berakhir di puncak piramida makanan, manusia.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Petugas mengangkut sampah yang menumpuk di ujung dermaga Kali Adem, Penjaringan, Jakarta Utara. Produksi sampah perairan Jakarta mencapai sekitar 30 ton per hari.
Dari mana sampah-sampah plastik ini berasal? Akbar Tahir menyatakan, 20 persen di antaranya menemukan jalan untuk terlepas di laut. Ini belum termasuk sampah-sampah yang sengaja dibuang langsung ke sungai yang juga pada akhirnya berakhir di laut. Ketika berada di perairan yang terbatas intensitas cahaya matahari dan suhu yang dingin, berbagai jenis plastik-termasuk plastik oxodegradabel yang dilabel ramah lingkungan-lambat terurai.
Tidak heran, pada 2015, kajian Jenna R Jambeck dari Universitas Georgia menempatkan Indonesia sebagai penghasil sampah di lautan terbesar kedua setelah China. Kajian pro-kontra ini dinilai masuk akal mengingat berdasarkan data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 8,5 persen dari 6,5 juta ton sampah Indonesia tak terkelola.
Kajian Jambeck ini pun mencolek Kementerian Koordinator Kemaritiman untuk ambil bagian dalam pengelolaan sampah di laut. “Kami Kementerian Koordinator Kemaritiman mengintensifkan (penyelesaian masalah sampah) karena dampaknya luar biasa bagi laut. Sementara Menteri LHK tidak bisa menyinggung menteri-menteri terkait lainnya dan daerah laut,” kata Safri Burhanuddin, Deputi Sumber Daya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim.
Pada 23 Februari 2017, Indonesia dalam forum World Ocean Forum di Bali bergabung dalam kesepakatan sejumlah negara untuk pengendalian sampah di laut melalui Inisiatif Laut Bersih (Clean Seas Initiative). “Pada akhir 2025 kami akan mengurangi 70 persen sampah plastik,” kata Luhut B Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman, dalam forum itu.
Komitmen Indonesia
Meski Indonesia menaruh komitmen di tataran internasional, bahkan Presiden Joko Widodo telah dua kali membawa permasalahan sampah di rapat kabinet, hingga kini langkah pembatasan laju produksi sampah plastik belum tampak. Indonesia yang pernah mengambil langkah nyata-meski sekadar skala uji coba bersama Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia-dengan tak menggratiskan kantong plastik di ritel pada Februari-September 2016 hingga kini tak berlanjut.
Peraturan menteri yang diminta Aprindo sebagai payung hukum pelaksanaan tak kunjung diselesaikan. Pemerintah seperti tak yakin untuk menerapkan pembatasan kantong plastik.
Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono beralasan masih akan dilakukan konsultasi publik. “Orang masih lihat mengapa cuma plastik di ritel. Mengapa tidak yang produksi plastik. Ini kami tingkatkan (pembicaraan) dengan kementerian terkait. Kalau sumber plastik itu industri. Ada pemikiran di industrinya jadi prinsip green economy,” katanya.
Belum lagi soal cukai yang digodok Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Hingga kini, hal itu mendapatkan penolakan sejumlah industri yang bebas memproduksi barang yang menyisakan sampah di lingkungan dengan dalih mengurangi daya saing usaha.
Seperti apa langkah nyata Indonesia? Dunia masih menanti.(ICHWAN SUSANTO)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 April 2017, di halaman 6 dengan judul “Upaya Menutup “Supermarket” Bawah Air”.