Pekan lalu, danau di Taman Westgate, Victoria, Australia, yang biasanya biru berubah menjadi merah magenta. Perubahan warna air danau itu bukan akibat pencemaran industri, melainkan karena ledakan jumlah mikroalga Dunaliella salina. Kejadian serupa biasa terjadi di perairan berkadar garam tinggi.
Memerah magentanya air di danau yang terletak dekat pusat kota Melbourne, Australia, itu berlangsung sejak Kamis (9/3). Di Australia, peristiwa serupa pernah terjadi di danau Taman Nasional Murray-Sunset, Victoria, dan Danau Hillier, Australia Barat. Di negara lain, peristiwa sama terjadi di Danau Salina de Torrevieja Spanyol, Danau Dusty Rose Kanada, Danau Tuz Turki, dan Danau Retba Senegal.
Mikroalga Dunaliella salinadi danau di Taman Westgate tiba-tiba meledak jumlahnya (blooming). Alga itu menghasilkan pigmen karotenoid warna merah hingga membuat air danau jadi merah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peningkatan drastis alga itu dipicu kuatnya paparan sinar matahari, temperatur hangat, dan rendahnya curah hujan di akhir musim panas di Australia saat ini. Akibatnya, kadar nutrien di danau turun dan konsentrasi garamnya naik pesat.
“Tingkat keasinan danau bisa mencapai 40 per mil, cocok untuk memicu lonjakan D salina,” kata ahli alga dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor, Mujizat Kawaroe, Sabtu (11/3). Sebagai perbandingan, kadar garam air laut di daerah tropis sekitar 3,5 per mil.
AFP/PARKS VICTORIA–Ledakan mikroalga jenis Dunaliella salina memicu air danau di Taman Westgate, Australia, berubah menjadi merah magenta, Kamis (9/3).
Ketua tim ahli konservasi Parks Victoria, otoritas pengelola taman-taman di Victoria, Mark Norman, seperti dikutip BBC, Kamis (9/3), mengatakan, air danau akan berubah biru kembali saat curah hujan meningkat dan udara lebih dingin.
Beta karoten
D salina adalah mikroalga halofil (suka garam) dari golongan alga hijau. Tumbuhan yang umum disebut sebagai fitoplankton itu bersel tunggal dan berukuran 10 mikron (sepersejuta meter). Kemampuannya berfotosintesis menjadikannya sebagai produsen dalam rantai makanan perairan.
Sifat halofilnya membuat fitoplankton ini hanya ditemukan di perairan tertutup amat asin. Jadi, danau memerah itu umumnya ada di tepi laut atau sebelumnya adalah danau asin.
Peneliti utama Pusat Penelitian Pigmen Material Aktif (MRCPP) Universitas Ma Chung Malang, Leenawaty Limantara, menjelaskan, karena suka garam, D salina ditemukan di perairan laut Indonesia. Ledakan jumlah alga tak mungkin terjadi di Indonesia, kecuali dibudidayakan di kolam khusus.
Indonesia memiliki keragaman spesies mikroalga amat banyak, tetapi jumlah tiap spesies itu tidak besar. Di negara subtropis atau empat musim, jenis mikroalganya sedikit, tetapi jumlah tiap spesies amat besar.
Perbedaan iklim pemicu ketidaksamaan jumlah paparan sinar matahari dan suhu memberi perbedaan karakter fisik dan kimia perairan tropis dan subtropis. “Konsekuensinya, tumbuhan lautnya berbeda,” kata Leenawaty yang juga Rektor Universitas Pembangunan Jaya, Tangerang Selatan.
Pigmen karetonoid yang dominan dalam D salina ialah beta karoten dengan kandungan provitamin A dan antioksidan tinggi. Kandungan provitamin A membuat D salina dapat menjadi sumber vitamin A. Namun, kandungan antioksidan untuk mencegah kanker dan penyakit kardiovaskular pada fitoplankton ini lebih rendah dibanding mikroalga Haemotococcus.
Kandungan provitamin A dan antioksidan D Salina yang baik membuat sejumlah industri di beberapa negara, termasuk Australia, memanfaatkannya. Di Indonesia belum dimanfaatkan karena prosesnya lebih rumit.
D salina bisa dibudidayakan di Indonesia. “Produksi skala industri terkendala teknologi saat pemanenan dan pasca-panen,” kata Mujizat yang juga peneliti utama di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Institut Pertanian Bogor.
Ledakan beracun
Meski ledakan jumlah D salina di Indonesia sulit terjadi, ledakan mikroalga jenis lain kerap terjadi di perairan Indonesia. Mikroalga yang kerap meledak jumlahnya itu umumnya beracun sehingga menimbulkan ledakan alga berbahaya (harmful alga blooms/HAB).
Jenis alga pemicu HAB di Indonesia antara lain Dinoflagellata yang menyebabkan ribuan ikan mati di perairan Ancol, Jakarta, November 2015. Alga itu menyerang saraf organisme yang memakannya, terutama ikan. “Alga ini membahayakan manusia karena mengandung racun,” ujarnya.
Selain itu, jenis alga lain yang memicu HAB adalah Pyrodinium yang menyebabkan kematian ikan keramba di Teluk Ambon pada 2012 dan Cochlodinium polykrikoides yang membuat ikan-ikan di Teluk Lampung, Lampung, mati pada 2012. Lonjakan jumlah dua jenis mikroalga itu membuat air laut berubah jadi merah kecoklatan.
Meski ada yang berbahaya, mikroalga yang bermanfaat bagi manusia jauh lebih banyak. Mikroalga laut itu bisa dimanfaatkan untuk bahan tambahan gizi, obat, pengolahan limbah logam berat, dan sumber energi.–M ZAID WAHYUDI
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2017, di halaman 14 dengan judul “Untung dan Buntung Mikroalga”.