Pengambilan Sampel di Seram Selesai, Diharapkan Turut Jelaskan Asal-usul Manusia Indonesia
Amahai, KompasLembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menyelesaikan pengambilan materi genetika masyarakat di Pulau Seram, Maluku. Untuk pertama kalinya, dilakukan juga pengukuran indeks melanin pada kulit.
Kajian difokuskan di tiga wilayah, yaitu masyarakat Nuaulu di Negeri (desa adat) Nua Nea di Kecamatan Amahai; dan Huaulu serta Sawai di Kecamatan Seram Utara. Nuaulu dan Huaulu mewakili masyarakat yang tinggal di dataran tinggi, sedangkan Sawai di pesisir. Dalam beberapa kajian sebelumnya, misalnya Valerio Valeri (2000), masyarakat Huaulu dianggap sebagai yang paling awal tinggal di Pulau Seram.
Ketua tim peneliti yang juga Deputi Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo Supolo, di Amahai, Jumat (12/5), mengatakan, kajian genetika ini diharapkan bisa menjelaskan asal-usul orang Seram dan kaitannya dengan populasi di Indonesia lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelum pengambilan sampel di Nuaulu, masyarakat adat yang memiliki ciri khas ikat kepala merah ini meminta para peneliti mengunyah sirih dan pinang yang diserahkan oleh Raja Nua Nea, Sahune Matoke. Mereka juga meminta kain merah 5 meter dan lima mangkuk sebagai syarat. “Tradisi ini sebagai simbol penerimaan kami terhadap pengambilan darah,” kata Sahune.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Pemeriksaan sampel genetika pada masyarakat adat Huaulu di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Rabu (10/5). Selain mengambil sampel darah, dalam penelitian ini juga diperiksa kadar melanin pada kulit warga.
Materi genetika yang diambil berupa sampel darah dari 33 lelaki di Nua Nea, 25 lelaki di Hualu, dan 30 lelaki di Sawai. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan bantuan petugas dari pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) setempat. Materi genetika ini akan diperiksa di Laboratorium Eijkman dan dikomparasikan dengan sampel dari populasi manusia Indonesia lainnya.
Dari sampel darah ini juga akan diperiksa keberadaan parasit malaria serta anomali sel darah merah yang membuat individu resisten terhadap malaria. Selain itu, menurut Herawati, penelusuran asal-usul dan pengetahuan struktur genetika populasi sangat penting untuk deteksi dini penyakit genetis fatal. Misalnya talasemia, penyakit genetika paling banyak di Indonesia.
Penyakit itu memicu kelainan darah atau anemia intensitas berat jika seseorang memiliki talasemia beta mayor, yang biasanya terjadi jika ibu atau ayahnya membawa genetika talasemia. Seorang dengan talasemia beta mayor harus mendapat transfusi darah sepanjang hidup.
Warna kulit
“Dalam penelitian ini, untuk pertama kalinya kami juga memeriksa tingkat melanin. Penelitian tingkat melanin selama ini dilakukan di Eropa, Asia Timur, dan Afrika. Untuk Asia Tenggara, sejauh ini belum dilakukan,” kata Herawati.
Kadar melanin memengaruhi warna kulit, makin tinggi kadarnya, makin gelap. Sementara itu, tinggi rendahnya kadar melanin dipengaruhi tingkat paparan matahari. Melanin dibutuhkan sebagai proteksi tubuh manusia dari sinar ultraviolet sehingga kecenderungan masyarakat di sekitar garis edar matahari cenderung berkulit gelap dan sifat ini diturunkan.
“Terdapat sejumlah gen yang memengaruhi kadar melanin yang berpengaruh terhadap warna kulit ini,” katanya. Dengan mencocokkan kadar melanin dan struktur genetiknya, kita bisa mengelompokkan populasi sehingga bisa diketahui riwayat migrasi nenek moyang.
“Kita juga mengkaji gen-gen yang berperan dalam pigmentasi kulit ini untuk melihat pencampuran genetik dan mengetahui kemungkinan penyakit turunan, seperti obesitas, diabetes, dan kanker prostat,” sebut Herawati.
Peneliti Eijkman, Gludhug Ariyo Purnomo, mengatakan, data yang diperoleh dari tiga populasi di Seram menunjukkan, tingkat pigmentasi di bagian kulit yang tidak terekspos matahari rata-rata memiliki indeks melanin di atas 40. Sementara di bagian terpapar matahari rata-rata indeks melaninnya 50 hingga 80.
Sebagai perbandingan, indeks melanin untuk bagian kulit yang tidak terpapar matahari pada masyarakat Afrika di Amerika rata-rata 36-80,8. Sementara Afrika di Karibia, berkisar 31-82,4. Untuk masyarakat Eropa, rata-rata 20,9-40,8. (AIK)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Mei 2017, di halaman 14 dengan judul “Uji Pigmentasi Dukung Riset Genetika”.