Sejumlah negara tengah melaksanakan uji klinis terhadap terapi plasma konvalesen untuk memulihkan pasien Covid-19 yang dalam kondisi parah. Indonesia diminta mempercepat riset terhadap terapi yang menjanjikan tersebut,
Uji klinis penggunaan donor plasma konvalesen untuk pengobatan Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru memberi harapan dan sejumlah negara bersiap mengesahkan penggunaannya. Di Indonesia hal ini juga mulai diberikan di sejumlah rumah sakit, namun belum melalui protokol uji klinis yang sistematis.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration/ FDA) berencana mengesahkan penggunaan plasma konvalesen atau donor plasma darah dari penyintas Covid-19 minggu ini. Sementara Australia secara resmi menambahkan plasma konvalesen pada uji coba dalam upaya mengidentifikasi strategi terbaik mengobati pasien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 10 Juli 2020 telah menerbitkan pedoman baru tentang plasma konvalesen. Dibandingkan versi sebelumnya, pedoman yang diperbarui ini memberikan perincian tentang pengelolaan suplai darah dan rekomendasi yang diperluas tentang pengumpulan plasma konvalesen Covid-19.
Terapi ini didasari asumsi bahwa tubuh manusia akan terbentuk antibodi ketika terinfeksi mikrooganisme, termasuk virus. Metode tersebut sebelumya telah diterapkan untuk penyakit infeksi lain.
“Plasma konvalesen ini memang memberi harapan, tetapi kita tetap harus melakukan dengan uji klinis dengan benar,” kata Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David Muljono Handojo, di Jakarta, Jumat (31/7/2020).
Menurut David, uji klinik dalam terapi plasma konvalesen ini memiliki dua tujuan, meliputi siapa yang bisa diambil plasmanya dan pengguna plasma. “Protokol yang disusun atas inisiasi Kepala Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan) ini sudah ada untuk keduanya. Saya ikut menyusun saat itu, semoga dalam waktu dekat bisa dijalankan,” tuturnya.
Dari segi pemberi donor, yang seharusnya diambil adalah pasien yang pernah punya gejala dan sembuh. Adapun orang yang pernah terinfeksi namun tanpa gejala kemungkinan tidak memiliki antibodi cukup. “Harus benar-benar diukur apakah plasmanya punya antibodi spesifik dan sesuai kadarnya,” katanya.
Tidak semua plasma penyintas Covid-19 mengandung antibodi spesifik dan dibutuhkan pasien. “Antibodi yang ada di tubuh kita bisa macam-macam. Ada yang spesifik SARS-CoV-2 dan itu diharapkan bisa menetralkan. Namun, bisa jadi ada antibodi SARS yang lain atau bahkan dari infeksi lainnya. Oleh karena itu, harus dites dan Lembaga Eijkman sedang mengembangkan tesnya,” kata David.
Foto yang diambil pada 15 April 2020 oleh pihak New York Blood Center Enterprises menunjukkan beberapa ampul darah dari donor untuk pengujian di Bank Darah Delmarva Christiana, New York, Amerika Serikat. Penyintas Covid-19 yang mendonasikan plasma darah mereka memberi harapan untuk membantu pasien lainnya pulih dari virus korona.
Berikutnya, dalam uji klinik harus dipilih pasien yang tepat. Terapi itu tak bisa diujikan kepada pasien tanpa gejala atau pasien kritis ataupun yang memiliki penyakit penyerta atau komordibitas lain. Selain aspek keamanan dan keselamatan pasien, uji klinis harus memenuhi standar ilmiah. Oleh karena itu, peserta donor maupun pasien harus dicatat dengan baik.
Tri Maharani, dokter yang juga penyintas Covid-19 dari Kediri, Jawa Timur mengatakan, donor plasma sudah banyak dilakukan di rumah sakit daerah. “Saya siap memberikan donor. Sudah dua kali ikut tes, tetapi titer (kadar) antibodi saya dianggap tidak cukup,” tuturnya.
Peningkatan kasus
Hingga kini, perkembangan kasus Covid-19 terus meluas. Menurut Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah kasus di Indonesia bertambah 2.040 orang sehingga totalnya menjadi 108.376 orang. Penambahan kasus ini tergolong tinggi karena jumlah tes yang dilakukan amat kecil, yakni 10.526 orang dalam sehari sehingga rasio kepositifan 19,3 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan rasio kepositifan nasional dalam sepekan 14,5 persen.
Berdasarkan laporan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 5.344 orang yang dites atau 51 persen dari toal orang yang diperiksa secara nasional berada di wilayah mereka. Dari jumlah pemeriksaan ini, Jakarta menemuka 430 kasus positif sehingga rasio kepositifan sebesar 8 persen. Angka ini menunjukkan tren pentingkatan tingkat kepositifan, yang dalam tiga minggu terakhir 4,3 persen, 5,4 persen, dan 5,6 persen.
Laporan WHO pada 29 Juli 2020 menunjukkan, baru Jakarta yang sudah memenuhi jumlah tes minimal 1 per 1000 populasi per minggu dengan tren meningkat tiga minggu terakhir. Jumlah tes di luar Jakarta, belum separuh dari syarat minimal.
Laporan ini juga menunjukkan, jumlah kasus Covid-19 yang dirawat di rumah sakit di DKI Jakarta menurun sejak awal Juni hingga 7 Juni 2020. Jumlah pasien secara bertahap terus naik sejak 8 Juli 2020 hingga kini. Dalam tiga minggu yang sama, ada peningkatan jumlah orang dimakamkan dengan protokol Covid-19.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 1 Agustus 2020