Sebuah lampu listrik biasanya hanya berfungsi sebagai alat penerangan. Akan tetapi, lampu listrik mandiri rakyat—disingkat Limar—ciptaan Ujang Koswara bersifat multifungsi. Selain bisa menerangi, Limar bernilai gotong royong, bela negara, kebanggaan, dan menggulirkan ekonomi pedesaan.
Tahun 2008, Ujang Koswara (49) diminta membantu warga kampung di kawasan pegunungan Jawa Barat selatan agar mendapatkan penerangan listrik. Warga kampung di perbukitan Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jabar, itu masih menggunakan cempor, yakni lampu minyak tanah untuk alat penerangan.
”Saat itu, keponakan saya sedang ujian nasional. Ia kesulitan menghafal karena lampu teplok itu sinarnya temaram. Padahal, penilaian UN sama dengan pelajar di kota yang listriknya jarang padam,” kata Ujang. Belum lagi harga minyak tanah untuk lampu cempor memberatkan warga karena mencapai Rp 15.000 per liter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ujang lalu mencoba memasang panel surya yang dibelinya dari Bandung Rp 10 juta. Namun, nyala alat penerangan menggunakan energi sinar matahari tidak lama. Kalau cuaca mendung, arusnya tidak mau hidup. Alat penerangan itu akhirnya mati sama sekali karena panelnya tertutup debu dan susah dibersihkan.
Ujang lalu memanfaatkan sejumlah air terjun sebagai penggerak listrik mikrohidro. Dari pembangkit mikrohidro itu ia harus menarik kabel sepanjang 1 kilometer agar arus listrik bisa sampai kampung. Walaupun pembangkit kecil itu bisa menghasilkan arus 4.000 watt, sesampai di rumah, arusnya menjadi lemah. Nyala lampu listriknya remang-remang.
Di musim apa pun terjadi masalah. Awal kemarau, turbin mati karena kekurangan daya penggerak air. Sebaliknya, saat musim hujan, semua bangunan mikrohidro lenyap disapu banjir karena konservasi di hulu sungai rusak. ”Jang, rakyat mah tidak perlu teknologi canggih, yang penting nyala lampunya bisa awet,” kata Ujang menirukan keluhan almarhum ibunya.
Sesampainya di Bandung, sekitar 160 kilometer dari Pakenjeng, ia membeli sebuah telepon seluler yang ada lampunya. Ia mempelajari mengapa lampu ponsel bisa menyala agak lama dengan asupan energi yang sangat ringan. ”Lampu ponsel itu menggunakan chip LED (light-emitting diode) sehingga penggunaan energinya bisa awet,” ungkap Ujang.
Ia berpikir bagaimana jika lampu LED itu diproduksi di Indonesia (Bandung). Ia kemudian mencari informasi ke Kementerian Perindustrian untuk mendapatkan industri yang bisa memproduksi lampu LED.
Pergi ke AS
Ternyata di dalam negeri belum ada yang bisa membuat chip LED. Salah satu pabrik chip LED berada di Amerika Serikat. Didorong semangat yang sangat kuat, ingin membantu ibunda tercinta, Ujang pun berangkat menuju pabrik di Philadelphia, AS. Namun, setelah jauh-jauh terbang melintasi lautan, ternyata ia tidak bisa membeli chip itu.
”Kalau mau membeli dalam jumlah banyak harus melalui agennya di Hongkong,” ujarnya. Sesampai di Tanah Air, Ujang berkoordinasi dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jabar agar difasilitasi berhubungan dengan Hipmi China.
Pengusaha di Hipmi China memberikan alamat seorang pembuat LED di Shenzhen yang kemudian ditemuinya. ”Kalau proses produksinya begini, mah, di Bandung juga bisa,” pikir Ujang saat melihat pabrik LED itu yang ternyata industri rumahan. Ia membawa konsep itu ke kalangan kampus.
”Diskusi tentang LED rumahan menarik, tetapi lampunya tidak jadi-jadi,” kata Uko, sapaan akrabnya. Akhirnya ia bertemu dengan tukang listrik di pusat peralatan listrik di Jalan Banceuy, Kota Bandung. ”Kalau lampu mau nyalanya stabil harus memakai diode,” ujar tukang listrik itu menjawab kebutuhan Ujang.
Setelah dilakukan beberapa kali uji coba, ditemukanlah LED yang hanya berkekuatan arus 1 watt, tetapi nyalanya setara lampu listrik 10 watt dengan kekuatan 10 tahun. Lampu LED 1 watt itu menggunakan baterai aki yang inspirasinya diperoleh dari sistem kerja panel surya. Penggunaan lima lampu memakai aki bekas mobil kecil ternyata bisa menyala sebulan lamanya. Setelah baterai habis, aki kembali dicas seperti pengisian daya pada aki basah.
”Jadi, kalau mau mengecas, seperti tukar galon air mineral. Kami pakai aki baterai basah karena awet, asal jangan kekurangan air aki,” ujar Ujang. Aki baterai yang dicas selama tiga jam bisa untuk lampu dalam sebulan.
Setelah lampu LED dan pola pengisian daya ditemukan, Limar diproduksi secara massal di rumahnya di Cilengkrang, Bandung Timur. Komponen dibeli dari banyak vendor. Misalnya, PCB atau plastik pembungkus lampu dipesan dari pabrik plastik dengan cetakan sendiri agar tidak dijual kepada orang lain, termasuk kabel-kabelnya. Hanya saja, chip-nya masih dibeli dari China dengan minimal pemesanan puluhan ribu komponen sebab produksi chip LED belum ada di Indonesia.
Lebih murah
Setelah dipasang di daerah pegunungan, ternyata Limar lebih murah daripada minyak tanah. Satu liter minyak tanah seharga Rp 15.000 habis dalam tiga hari. Artinya, dalam sebulan dihabiskan Rp 150.000. ”Pakai Limar, mengecas tiga jam untuk satu bulan, ongkosnya Rp 2.000,” ujarnya.
Kini ratusan ribu lampu Limar Ujang sudah tersebar di daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau listrik PLN, mulai dari Aceh, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua. Pola penyebarannya menggunakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) PLN, pemerintah daerah, ataupun perusahaan yang berdekatan dengan daerah-daerah terpencil itu.
Salah satu lokasi yang menikmati penerangan Limar adalah 150 kepala keluarga di Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, lewat bantuan Pemerintah Provinsi Jabar. Selama ini, Margaluyu, yang terletak di tengah Waduk Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata, tidak terjangkau listrik karena PLN kesulitan membangun tiang di tempat tersebut. Padahal, PLTA Cirata merupakan pemasok listrik interkoneksi Jawa-Bali.
Bersamaan dengan itu, Ujang dan timnya juga menyebarkan ilmu membuat LED ke sekolah-sekolah ataupun pesantren agar menghasilkan kegotongroyongan. Tujuannya, jika ada masalah dengan alat penerangan itu, anak-anak itu bisa membantu masyarakat sekitarnya.
Dengan cara membuat sendiri Limar, ada nilai bela negara karena bisa menggantikan alat penerangan yang selama ini diimpor. Lewat pola itu dimungkinkan pula menumbuhkan usaha pedesaan. ”Transfer pengetahuan ini perlu keikhlasan semua pihak agar memunculkan kegotongroyongan,” ucap Ujang.
Lewat Limar, Ujang berharap, pengabdiannya bisa menerangi negeri ini sekaligus membantu warga di daerah terpencil.–DEDI MUHTADI
Sumber: Kompas, 12 Januari 2018