Biji tumbuhan memiliki miniatur “otak” yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan, apakah akan berkecambah atau tetap dalam keadaan dorman (berhenti tumbuh) menunggu kondisi lingkungan yang memungkinkan. Namun, jangan membayangkan wujud miniatur itu mirip dengan otak binatang atau manusia.
Keberadaan “otak” tumbuhan ditemukan dalam riset sejumlah ahli biologi Inggris dan Kanada yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), Senin (5/6). Mereka menemukan, miniatur otak itu ada pada biji tumbuhan yang membantu biji tersebut menentukan waktu yang tepat untuk berkecambah.
“Sama seperti yang dilakukan manusia, tumbuhan juga harus berpikir dan membuat keputusan,” kata pimpinan studi George Bassel dari Sekolah Ilmu Hayati Universitas Birmingham, Inggris, seperti dikutip livescience.com, Rabu (7/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk memahami proses tumbuhan membuat keputusan, para peneliti membuat atlas digital dari setiap sel dalam biji tumbuhan Arabidopsis thaliana, jenis tumbuhan yang sering dijadikan model untuk mempelajari perkembangan tumbuhan. Atlas itu untuk memetakan di bagian biji mana hormon-hormon akan terkonsentrasi.
Bentuk biji dipilih karena embrio tumbuhan ini merupakan fase kehidupan tumbuhan yang paling menentukan kemampuan tumbuhan itu nanti bertahan hidup. Biji juga menjadi tahapan penting agar tumbuhan bisa bertahan melintasi waktu dengan memutuskan untuk dorman di tanah sampai temperatur atau kondisi lingkungan mendukung hingga tumbuhan bisa tumbuh optimal.
Biji juga menjadi satu-satunya medium yang memungkinkan tumbuhan bergerak dalam jarak jauh untuk mendukung hidupnya, baik karena dibawa binatang maupun tertiup angin.
Hasilnya, diperoleh ada dua kelompok hormon dalam konsentrasi tinggi di ujung embrio akar yang berperan dalam perkecambahan biji, yaitu gibberellin (GA) dan asam absisat (abscisic acid/ABA). GA menghasilkan sinyal yang mendorong biji berkecambah dan ABA membuat sinyal yang mendorong biji agar tetap dalam kondisi dorman.
“Kedua sinyal itu saling tarik menarik, ada yang mengatakan go dan ada yang mengatakan stop,” ujarnya.
Dalam keadaan default, sel- sel dalam biji mengeluarkan lebih banyak ABA daripada GA. Saat kondisi lingkungan luar membaik, kadar GA berangsur- angsur meningkat sampai “pusat pengambilan putusan” di biji menyimpulkan lebih baik berkecambah daripada dorman.
Pro-kontra
Berbeda dengan otak manusia, miniatur otak tumbuhan tak memiliki materi abu-abu (grey matter) atau korteks serebri (cerebral cortex) yang melapisi seluruh bagian luar otak yang berfungsi mengolah semua informasi. Namun, otak tumbuhan menggunakan arsitektur yang sama seperti otak manusia untuk memproses informasi, menginterpretasi serangkaian sinyal hormon untuk mengambil putusan.
Gagasan tumbuhan juga memiliki otak sebenarnya sudah lama muncul. Hal itu didukung sejumlah penelitian lain bahwa tumbuhan juga bisa merasa, mendengar, atau melihat.
Saat terpapar bunyi dengan frekuensi tetap, tumbuhan akan tumbuh melengkung mengarah ke sumber bunyi itu dan tumbuh lebih cepat jika di dekatnya ada sang kompetitor (Oecologia, 2007). Tumbuhan juga bisa berkomunikasi dengan yang lain saat ada bahaya mendekat.
Gagasan tumbuhan punya otak juga dimunculkan oleh Charles Darwin pada 1880 dalam karyanya The Power of Movement in Plants. Darwin menjelaskan tentang radikel, embrio akar yang peka terhadap berbagai rangsangan dan berlaku seperti otak binatang tingkat rendah yang mampu mengarahkan gerakan bagian di dekatnya.
Ide itu terus diperbarui oleh berbagai ahli neurobiologi modern pada 2006. Menurut Rob DeSalle dan Ian Tattersall dalam Do Plants Have Brains? di naturalhistorymag.com, 2012, sistem saraf tumbuhan bisa dideteksi dari beberapa aspek, mulai dari kesamaan genetika dengan komponen penyusun sistem saraf hewan, perilaku protein tumbuhan yang mirip molekul saraf, adanya bagian tumbuhan yang berlaku mirip sinapsis yang memungkinkan komunikasi antara sel terjadi, dan sejumlah pendekatan lain.
Meski demikian, banyak juga ahli yang menolak gagasan “otak” tumbuhan. Bahkan, Anthony Trewavas dari Universitas Edinburg, Inggris, menilai neurobiologi sebagai sebuah metafora. Berbagai pendekatan yang dilakukan juga memiliki kelemahan, seperti kesamaan genetika antara tumbuhan dan hewan tidak otomatis akan membuat fungsi gen itu sama.
Namun, munculnya ide “otak” tumbuhan mendorong makin banyaknya riset untuk mempelajari komunikasi antarsel tumbuhan. Seperti riset miniatur “otak” tumbuhan karya Bassel dan kawan-kawan, seperti disebutkan di situs Universitas Birmingham, birmingham.ac.uk, yang pada masa datang bisa dimanfaatkan untuk merekayasa biji agar dapat tumbuh di segala musim atau membentuk biji yang lebih tahan terhadap perubahan iklim.(M ZAID WAHYUDI)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juni 2017, di halaman 14 dengan judul “Tumbuhan Pun Mempunyai “Otak””.