Tujuan Pendidikan; Belajarlah sampai ke Negeri Hobbit

- Editor

Kamis, 30 Oktober 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dulu, Selandia Baru lebih dikenal sebagai negeri kiwi. Kini, Hobbit mungkin hal pertama yang diingat ketika mendengar nama Selandia Baru. Trilogi ”Lord of the Ring” dan ”The Hobbit” cukup berpengaruh untuk pariwisata negeri ini.

Lokasi pengambilan gambar film-film tersebut pun jadi salah satu tujuan wisata. Selain pariwisata, produk susu, daging, dan hortikultura, industri terbesar kelima negeri ini adalah pendidikan.

Meskipun belum sepopuler Australia dan Singapura, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri ini terus bertambah. Dalam catatan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru serta portal NZ Education, pada 2012, sekitar 560 orang menjalani pendidikan tinggi dengan biaya sendiri dan tahun berikutnya naik menjadi 740.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kualitas pendidikan di negeri ini juga tak mengecewakan. Jurusan teknik sipil di University of Canterbury, jurusan psikologi di Universitas Otago, dan pertanian di Massey University berada di urutan ke-19 dunia dalam penilaian QS Worldwide University Ranking. Dari University of Auckland, misalnya, jurusan akuntansi dan keuangan di urutan ke 24, sedangkan jurusan politik dan hubungan internasional di posisi ke-26. Secara keseluruhan, kampus tertua di Selandia Baru-didirikan 1883-University of Auckland berada di urutan ke-92 kampus sedunia.

Budaya kuliah di negeri ini juga tentu tak sama dengan di Tanah Air. Egaliter adalah kata yang paling tepat menggambarkan perkuliahan di sini. Hubungan dosen dan mahasiswa sangat setara. Mahasiswa bisa bertanya, berkomentar, atau bicara apa saja. ”Rasanya enggak ada jarak antara dosen dan mahasiswa. Kalau di Indonesia, semua harus serba sopan tapi akhirnya jadi tidak terpacu untuk komentar, apalagi bertanya,” tutur Geovanni (25) yang setelah menyelesaikan studi sarjana psikologi di salah satu kampus swasta di Indonesia, kini mempelajari pendidikan anak usia dini di Whitireia Community Polytechnic, Auckland.

Budaya mandiri dan berani memang ditanamkan sejak pendidikan usia dini. Pengajar juga selalu berupaya mengapresiasi dan mendorong mahasiswanya untuk maju. Kata-kata bernuansa negatif seperti ”gagal” dan ”bodoh” seakan tabu diucapkan.

Selain itu, para dosen menyediakan jam-jam tertentu supaya mahasiswa bisa berkonsultasi di ruang kerjanya masing-masing. Biasanya, konsultasi dilakukan ketika mahasiswa mengerjakan tugas esai atau riset. Tak hanya mahasiswa pascasarjana, mahasiswa sarjana pun mendapat layanan serupa. Namun, salah seorang dosen mengakui umumnya mahasiswa pascasarjana yang sangat memanfaatkan konsultasi ini.

Kemewahan lain yang sangat terasa adalah akses jurnal dan ketersediaan koleksi perpustakaan yang memuaskan. Tak hanya buku, rekaman audio visual juga bisa dipinjam dengan mudah. Sistem komunikasi, penyampaian materi kuliah, peminjaman buku/audio visual bisa dilakukan secara daring melalui situs kampus. Kebutuhan fotokopi dan cetak terintegrasi dalam satu identitas tunggal mahasiswa, tetapi tentu semua harus dilakukan sendiri dengan harga yang cukup mahal untuk mahasiswa Indonesia, 10 sen per lembar (sekitar Rp 1.000). Tak ada kedai fotokopi di sekitar kampus yang siap melayani seperti di Indonesia, hanya tersedia mesin fotokopi dan mesin pengisi deposit biaya fotokopi/cetak. Meskipun semua sistem terintegrasi optimal, sistem operasi komputer yang umum dipakai tak canggih-canggih amat, basisnya Windows 98 saja.

c7a76382f9ee45f5b7e91209e40a605cKuliah dan segala fasilitas itu tentu tak murah, apalagi untuk mahasiswa internasional. Umumnya biaya kuliah mahasiswa internasional di negeri ini tiga kali lipat biaya mahasiswa lokal. Biaya kuliah mahasiswa lokal sekitar 5.000-10.000 dollar NZ (Rp 48 juta-Rp 96 juta) setahun, sedangkan mahasiswa asing harus menanggung sekitar 16.000-29.000 dollar NZ (Rp 154 juta-Rp 279 juta) per tahun bergantung pada kampus dan jurusannya.

Di sisi lain, mahasiswa internasional harus siap mencari akomodasi sendiri jika enggan menyewa akomodasi milik kampus. Di Selandia Baru, kebutuhan akomodasi salah satu yang paling mahal. Di pusat kota, kamar ukuran sekitar 3 x 5 meter untuk satu orang dengan WC dan dapur komunal disewakan dengan harga berkisar 150-190 dollar NZ (Rp 1,4 juta – Rp 1,8 juta) per minggu, sedangkan apartemen studio dimulai dari harga sekitar 300 dollar NZ (Rp 2,9 juta) per minggu.

Bagi Anri Pristidianita (24) yang kini melanjutkan kuliah di Auckland University of Technology, setelah menyelesaikan jenjang sarjananya di Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Jepang, ada baiknya kampus ”memaksa” mahasiswa internasional untuk tinggal di asrama kampus setidaknya setahun pertama seperti dialaminya saat di Jepang. ”Setidaknya, enggak harus terlunta-lunta cari apartemen,” ujarnya.

Tak hanya itu, tinggal di asrama kampus, kata Yulida Pangastuti (34), salah seorang mahasiswa, lebih mendekatkan mahasiswa. Saat mengikuti Postgraduate Diploma Public Policy, Governance and Democratisation di International Center of Social Science Education and Research, Den Haag, Belanda, Yulida mendapati manfaat ini dari kehidupannya di asrama kampus. Kampus di Belanda dan Singapura dirasa lebih memahami kebutuhan mahasiswa dengan menyediakan koperasi mahasiswa tempat membeli alat tulis, makanan, serta menyediakan layanan bus antarkampus yang memadai. Namun, di sisi lain, dia menikmati akses jurnal dan koleksi perpustakaan untuk perkuliahan di University of Auckland.

Selain akses buku dan jurnal yang luas, berlawanan dengan di Tanah Air, Yulida menyebut Selandia Baru memiliki hal unik yang bisa ditawarkan untuk mahasiswa Indonesia, tapi tak dimiliki negara-negara seperti Australia, Singapura, dan Belanda. ”Selandia Baru itu kayak jadi hub of excellence (penghubung keunggulan) buat negara-negara Pasifik, yang karakteristiknya mirip dengan Indonesia Off-Java. Austronesia, Polinesia, kepulauan, maritim. Jadi, di sini mahasiswa Indonesia bisa belajar tentang Indonesia, selain budaya Jawa,” tuturnya.

Selandia Baru, lanjut Yulida, juga negara yang relatif tak terlalu banyak konflik dengan pendatang maupun dengan penduduk asli meskipun tentu tak semua berjalan sangat mulus. Secara pribadi, Yulida yang kini mendalami studi kritis pendidikan (critical studies in education) tertarik dengan Te Whariki, prinsip pendidikan anak usia dini yang dikembangkan dari nilai-nilai Maori. ”Andaikan Indonesia bisa menciptakan Te Whariki-Te Whariki untuk etnis-etnisnya, kayaknya kita akan berakhir dengan kekayaan budaya, bukannya malah penyeragaman pendidikan,” tuturnya.

Sambil berwisata
Perpaduan budaya barat dan timur (Eropa dan Maori) juga dirasa Grace Susetyo (29), mahasiswa Master of Development Studies Victoria Wellington University, sebagai kekuatan Selandia Baru kendati dia mengakui, pada praktiknya, kesenjangan masih terjadi. Selain itu, dia memilih negeri ini sebagai tempat melanjutkan pendidikan karena kelebihannya dalam pembangunan berkelanjutan dan pembangunan masyarakat adat. Pengalaman mengamati masalah yang dihadapi bangsa lain dan cara mengatasinya juga menjadi pelajaran tersendiri.

Selain kuliah, tentu berwisata di negeri hobbit menjadi bonus. Pemandangan alam seakan tak ada habisnya memanjakan mata. Pencarian informasi dan perjalanan menuju tempat wisata pun tak sulit. Hal itu karena, kata Anri yang kini tengah merampungkan tesis Master of International Tourism Management di Auckland University of Technology, hampir semua kota memiliki situs dan informasi pariwisata yang lengkap.

Pelayanan pendidikan secara holistik merupakan senjata utama bagi Selandia Baru untuk menarik minat mahasiswa mancanegara, termasuk Indonesia, untuk bersekolah di Negeri Kiwi. Berkat komitmen pelayanan tersebut, jumlah orang Indonesia yang melanjutkan sekolah ke Selandia Baru pun bertambah kurang lebih 100 orang setiap tahun. ”Setiap lembaga pendidikan yang menerima pelajar dan mahasiswa asing harus menandatangani perjanjian yang disebut Pastoral Care dengan pemerintah,” kata Yenny Chen, perwakilan dari Bagian Pendidikan Kedutaan Besar Selandia Baru di Jakarta.

Isi perjanjian Pastoral Care mencakup kewajiban lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, untuk menjemput mahasiswa asing dari bandara, menyediakan tempat tinggal, serta memberi informasi secara terbuka mengenai segala hal yang berkait dengan pendidikan dan hidup di Selandia Baru. Pelajar asing yang hak-haknya dilindungi oleh perjanjian Pastoral Care adalah pelajar mulai dari usia sekolah menengah hingga mahasiswa.

Khusus bagi pelajar usia sekolah menengah pertama dan atas yang tinggal bersama penduduk setempat, polisi secara rutin memantau tempat tinggal mereka untuk memastikan kondisi mereka aman dan nyaman. ”Para orang tua di Indonesia mulai melirik Selandia Baru sebagai pilihan untuk menyekolahkan anak mereka, sebab keadaan di negeri tersebut relatif aman sehingga risiko kriminalitas dan kenakalan remaja lebih rendah,” kata Yenny.

Pada pelajar tingkat mahasiswa, layanan tidak hanya berhenti di kuliah dan akomodasi. Suami atau istri dari mahasiswa yang sedang kuliah di Selandia Baru, berhak untuk bekerja mencari nafkah selama masa belajar pasangannya. Anak-anak mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah negeri. Untuk mahasiswa asing yang mengambil kuliah strata tiga, biaya yang dikeluarkan setara dengan biaya yang dikenakan dengan mahasiswa lokal. Menurut Yenny, umumnya, biaya kuliah untuk mahasiswa asing bisa 10 persen hingga 30 persen lebih mahal dari biaya kuliah untuk mahasiswa Selandia Baru.

Development Counsellor untuk program New Zealand Aid, Philip Hewitt, mengatakan, Indonesia merupakan rekan penting bagi Selandia Baru. Hal itu karena Indonesia adalah negara tetangga yang memiliki kekuatan politik yang patut diperhitungkan di Asia Pasifik.

Di samping itu, terdapat aspek-aspek kerja sama strategis antara kedua negara. Seperti pada aspek pangan dan energi terbarukan. ”Selandia Baru memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk membantu pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu, kerja sama dalam bidang pendidikan merupakan cara yang efektif untuk berbagi ilmu,” tutur Hewitt. (A15)

Oleh: Nina Susilo

Sumber: Kompas, 30 Oktober 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB