Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Tak Berpengaruh Signifikan
Prototipe pesawat terbang N-219 buatan PT Dirgantara Indonesia akan diluncurkan pada Oktober 2015. Pesawat bermesin dua tipe baling-baling itu telah dilengkapi dengan sistem mekanis untuk penggerak dan kemudi.
Tahap selanjutnya adalah pemasangan sistem kelistrikan, elektronika, dan interior serta serangkaian pengujian. Penerbangan perdana prototipe pesawat produksi nasional itu direncanakan pada April 2017.
Kemajuan pembuatan prototipe pesawat kedua setelah N-250 oleh industri pesawat terbang nasional itu dikemukakan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Andi Alisjahbana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejauh ini kenaikan kurs dollar AS terhadap rupiah sedikit berpengaruh pada fabrikasi prototipe N-219. “Pembuatan N-219 jalan terus,” kata Andi, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/9). Alokasi dana tahun 2014 Rp 400 miliar masih memadai hingga pesawat lepas landas tahun 2017.
Hal itu karena pesawat tersebut dirancang untuk memakai komponen lokal sebanyak mungkin. “Beberapa komponen yang mahal dan harus diimpor, seperti mesin dan avionik, dibayar tahun lalu dan sudah tiba,” ujarnya.
Setelah terbang perdana untuk uji terbang, prototipe kedua untuk pengembangan pesawat akan dibuat. Pengujian dilakukan untuk memenuhi standar keamanan yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Alokasi anggaran dua prototipe N-219 melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Pembuatan pesawat komuter N-219 itu dilakukan PTDI setelah penandatanganan nota kesepahaman dengan Lapan pada September 2014. Desain dan rancang bangun pesawat berkapasitas 19 penumpang itu dilakukan bersama perekayasa dari Lapan.
Keunggulan desain
Pesawat itu 100 persen desain baru karya anak bangsa. Kelebihannya dibandingkan pesawat Twin Otter yang digunakan sebagai pesawat perintis adalah ukurannya sedikit lebih besar tetapi bisa membawa barang 500 kilogram lebih banyak.
Pesawat itu bisa lepas landas pada landas pacu sepanjang 500 meter. Pesawat komuter butuh landasan 1.000 meter. “Bisa mengudara karena desain sayap mengikuti teknologi aerodinamika era 2000-an,” kata Andi.
“Keterlibatan perekayasa dan teknisi Lapan dalam desain dan rancang bangun pesawat setelah terbentuk divisi penerbangan di lembaga riset ini empat tahun lalu,” ucap Adi Sadewo Salatun, mantan Kepala Lapan, yang kini anggota Dewan Pembina Indonesia Aircraft Component Manufacturer Association (Inacom), Jumat (18/9) lalu.
Program pembuatan pesawat perintis itu, menurut Direktur Utama PTDI Budi Santoso, beberapa waktu lalu, tercetus 10 tahun lalu, dirintis Kementerian Perindustrian dengan melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Namun, itu terhenti karena kekurangan dana dan faktor nonteknis.
Menurut Andi, yang juga Ketua Pengurus Inacom, pembuatan N-219 dilanjutkan di bawah Lapan, berbasis pengalaman pembuatan pesawat CN-212, CN-235, dan N-250. Pada prototipe N-219, ada perubahan komponen avionik, memakai lebih modern bersistem digital.
Pengujian antara lain terkait struktur dan pembebanan di bagian sayap agar bisa menanggung bobot badan pesawat. Simulator diformat dengan data karakteristik terbang N-219 akan dibangun dan dipakai untuk pilot dalam uji di darat. Pada uji terbang dengan 2 prototipe N-219 mesti tercapai target 400 jam terbang agar memperoleh sertifikat kelaikan terbang dari Kemenhub.
“Pesawat ini diminati sejumlah negara di Amerika, Afrika, dan Asia, serta ada pesanan dari maskapai nasional,” kata Andi. Karena itu, PTDI berupaya mendapat sertifikasi dari lembaga internasional. Menurut rencana, PTDI memproduksi pesawat itu 18 unit per tahun, itu butuh dukungan industri nasional dalam memasok komponen pesawat.(YUN)
—————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Tubuh Pesawat N-219 Disiapkan”.