Tsunami dahsyat dipastikan pernah menghantam Aceh pada tahun 1394. Kota Banda Aceh dibangun di atas tapak bencana, tetapi kemudian hancur saat tsunami 2004. Mengulangi siklus sebelumnya, pesisir Aceh sekarang dipadati penduduk sehingga ke depan dinilai rentan kembali terdampak tsunami.
Bukti-bukti baru tentang tsunami yang melanda Aceh sekitar 600 tahun laluditemukan tim peneliti gabungan dari Earth Observatory of Singapore, Universitas Syah Kuala, Maynooth University, dan Oxford University. Hasil kajian dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) minggu ini.
–Kajian paleotsunami dan paleogeodetic terbaru tentang beberapa peristiwa tsunami yang pernah melanda Sumatera dan Semenanjung Malaya, termasuk tsunami pada akhir abad ke-14. Garis merah sepanjang pantai menunjukan genangan tsunami 2004. Foto inset merupakan lokasi area survei dan titik-titik kuning pada peta tersebut menunjukan lokasi temuan arkeologi. Sumber: Patrick Daly dkk, PNAS, 2019
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Hasil kajian tersebut telah memberikan pemahaman baru dan pembelajaran tentang mitigasi bencana tsunami pada masa mendatang. Tsunami yang melanda Aceh telah berulang kali terjadi, tetapi permukiman warga selalu kembali ke pesisir hingga kemudian hancur lagi,” kata Nazli Ismail, Ketua Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan, Universitas Syiah Kuala, yang terlibat dalam kajian ini, Jumat (31/5/2019).
Penelitian yang dikoordinatori Patrick Daly dan Kerry Sieh dari EOS ini mengombinasikan kajian geologi dan arkeologi. Berdasarkan kajian paleotsunami diketahui bahwa kawasan pesisir selatan Kota Banda Aceh pernah dihantam tsunami pada 1394. Meskipun demikian, data geologi tidak memberikan informasi yang presisi tentang luas genangan, ketinggian, dan kekuatan tsunami, serta dampaknya pada saat itu.
Kajian arkeologi dilakukan dengan menyusuri sekitar 43 desa pesisir Banda Aceh dan Aceh Besar, selain mewawancarai para tetua setempat. Ditemukan adanya tinggalan batu nisan kuno, pecahan keramik, dan pertapakan masjid tua yang tersebar di sepanjang pantai. Setidaknya ada sekitar 10 jejak areal permukiman purba di sepanjang pesisir telah musnah pada saat ini.
Temuan pecahan keramik yang tersebar di bekas pemukiman tersebut sebagian berasal dari abad ke-11 dan ke-12 M. Hal ini menunjukan bahwa kawasan pesisir tersebut telah dijadikan permukiman sejak awal milenium pertama. Namun, sekitar tahun 1400 kawasan ini tiba-tiba ditinggalkan dan diduga kuat hal itu disebabkan tsunami yang ditemukan bukti-bukti geologisnya.
Rekonstruksi jejak arkeologi menunjukkan, ada sembilan kawasan permukiman yang berada sepanjang 40 km garis pantai telah diabaikan dan tidak berpenghuni. Semua permukiman di dataran rendah di sepanjang pantai tenggelam. Dengan membandingkan kehancuran kawasan pesisir akibat tsunami 2004, para peneliti menyimpulkan bahwa kekuatan tsunami sekitar 600 tahun lalu setara kekuatannya dengan tsunami 2004.
Distribusi dan tipe batu nisan menunjukan perubahan bentuk yang signifikan selama abad ke-15 dan ke-16 M. Sebagian besar batu nisan yang berasal sampai abad ke-15 terdapat di lokasi 10 (Lamri). Warna kuning merupakan tipe nisan yang berasal pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dari abad pertengahan ke-16. Sumber: Nazli Ismail dkk, PNAS, 2019
Kembali ke pesisir
Dalam paper ini disebutkan, tsunami pada 1394 ini kemudian mengubah jalur perdagangan dan dinamika kekuasaan di sepanjang bentangan pantai ini. Kawasan Lamri atau Lamuri yang selamat dari hantaman tsunami saat itu karena posisinya di tanjung yang relatif tinggi kemudian menjadi pusat perekonomian yang dicatat dalam banyak dokumen China berada dalam Jalur Sutra Maritim pada abad pertengahan.
Di sepanjang kawasan Lamri, yang saat ini dikenal sebagai Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, ditemukan pecahan keramik berkualitas tinggi yang berasal dari berbagai bagian daratan China dan Syiria (Suriah). Namun, pada awal abad ke-16, penduduk Aceh kembali ke pesisir dan mulai meninggalkan Lamri.
”Kerajaan Aceh Darussalam kemudian muncul tumbuh di kawasan pesisir sebelah barat Lamri. Pembangunan kembali permukiman di kawasan pantai yang lebih rendah ini dipengaruhi oleh kedatangan pedagang-pedagang Muslim. Kemudian, pedagang asal Eropa, khususnya Portugis, juga dipercaya berperan mendorong pembangunan kembali kawasan kembali pesisir,” sebut Nazli.
Dari rekonstruksi ini bisa disimpulkan bahwa pola permukiman di Aceh cenderung mengulang siklus yang sama. Setelah kejadian tsunami besar, kawasan pesisir ditinggalkan untuk beberapa saat, tetapi kemudian kembali dihuni. Menurut Nazli, fenomena ini juga terjadi setelah tsunami 2004 yang menewaskan 160.000 jiwa. Kini, penduduk di pesisir Aceh sudah lebih padat dibandingkan dengan sebelumnya.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 2 Juni 2019