Tsunami yang terjadi setelah gempa M 7,4 yang berpusat di Labean, Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018) berlangsung hingga tiga kali. Tinggi gelombang tsunami maksimum 11,3 meter terekam di Desa Tondo, Palu Timur dan landaan terjauh di kawasan Hotel Mercure, Lere, Palu Timur berjarak 468,8 meter dari pantai.
Demikian hasil survei tim Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yang disampaikan Kepala Subbidang Manajemen Operasi Gempa Bumi BMKG Sugeng Pribadi, di Jakarta, Selasa (9/10/2018). “Survei gempa dan tsunami telah kami lakukan sejak dua hari setelah kejadian sampai hari kedelapan,” kata dia.
Menurut Sugeng, gelombang tsunami yang pertama disebabkan oleh gempa bumi yang bersumber di sekitar Donggala di sebelah utara Teluk Palu. Tsunami kedua berarah surut ke laut. Sedangkan tsunami ketiga, atau yang paling tinggi, disebabkan arus balik gelombang yang sudah menghantam ujung Teluk Palu dari arah selatan mengakibatkan amplifikasi gelombang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Waktu tiba tsunami pertama di pesisir Palu dan Donggala secara umum berkisar 1-2 menit setelah gempa bumi. Sedangkan tsunami kedua dan ketiga berselang 5 dan 10 menit setelah gempa.
Menurut Sugeng, sekalipun pusat gempa di dekat Donggala, tsunami lebih parah terjadi di Palu. “Ini karena tsunami kali ini tidak hanya dipicu gempa saja, namun juga terjadi longsor bawah laut. Longsoran bawah laut ini semakin signifikan ke arah pesisir selatan Teluk Palu. Oleh karena itu, untuk Donggala dampak terparah terutama karena gempa,” kata dia.
Menurut dia, gempa kali ini berpusat di daratan dengan jenis mekanisme mendatar mengiri (sinistral). Patahan dari daratan itu menyilang hingga ke lautan mulai dari Labean hingga ke ujung Teluk Palu dan menyebabkan dasar laut amblas sehingga mengubah secara drastis kedalaman batimeteri yang mulai terlihat dari sepanjang Pantai Marana, Enu hingga ke Labean.
–KOMPAS/YUNIADHI AGUNG–Masjid Baiturrahman yang berada di Jalan Diponegoro, Kota Palu, Sulawesi Tengah menjadi saksi peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi di Kota Palu. Masjid ini muncul dalam video rekaman warga saat tsunami menerjang kawasan tersebut. Kini masjid tersebut hancur dan warga, Senin (8/10/2018) mengabadikan masjid tersebut
“Tenggelamnya dasar laut sekaligus menarik bangunan-bangunan perumahan, pasar dekat pantai ke arah dasar laut. Di beberapa tempat di Donggala longsoran bawah laut menyebabkan pusaran air di ujung teluk. Fenomena ini terlihat jelas oleh beberapa warga Lolisaluran, Lolipesua saat tsunami sudah mulai surut,” kata dia.
Dugaan terjadinya longsoran bawah laut ini sebelumnya juga disampaikan tim survei gabungan Indonesia-Jepang. Ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Abdul Muhari, yang turut dalam tim gabungan ini mengatakan, tsunami karena longsor bawah laut bisa menyebabkan tsunami yang tinggi, namun cenderung terfokus di lokasi yang sempit.
Bervariasi tingginya
Temuan tim BMKG menunjukkan, tsunami terendah di Mapaga, Donggala dengan ketinggian 2,2 meter. Sedangkan tsunami tertinggi di Tondo, Palu Timur dengan ketinggian 11,3 meter. “Variasi tinggi tsunami ini dipengaruhi kelandaian daratan dan bangunan atau adanya tanah tinggi yang menahannya,” kata Sugeng.
Selain observasi, menurut Sugeng, timnya juga mewawancarai 20 saksi mata, yang beberapa di antaranya pernah mengalami gempa dan tsunami Labean, Donggala pada tahun 1968. Sebagaimana tertulis dalam laporan survei, salah satu saksi mata yang mengalami tsunami 1968 itu adalah El Laski, warga Panggang, Tabonga, Donggala, yang kala itu berumur 20 tahun.
Saksi menyebutkan, tsunami pertama datang dari utara dengan ketinggian air sebetis. tsunami kedua berketinggian sepinggang. Laski menyelamatkan diri sebelum datang tsunami ketiga, karena memiliki pengalaman tsunami 1968.
Dari observasi tim BMKG, tinggi gelombang tsunami ketiga ini di Panggang mencapai 5,1 meter. “Tinggi tsunami tahun 1968, berkebalikan dengan saat ini. Dulu lebih tinggi di Donggala dibandingkan Palu, sekarang Palu yang lebih tinggi tsunaminya,” kata Sugeng..–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 10 Oktober 2018