Sepanjang tahun 2019, setidaknya ada 15 kali kejadian gempa bumi merusak di Indonesia. Tren gempa bumi juga terus meningkat sejak 2013. Di sisi lain, terjadinya gempa di wilayah sesar yang belum dipetakan juga menjadi tantangan.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, dalam setahun rata-rata wilayah di Indonesia mengalami kejadian gempa bumi sekitar 6.500 kali. Selain itu, sebanyak 350 kali juga terjadi gempa berkekuatan M 5,0 atau lebih.
Daryono menyebutkan, gempa bumi merusak terjadi 8 hingga 10 kali dalam setahun. Namun, untuk tahun ini, gempa bumi merusak terjadi melebihi rata-rata, yakni 15 kali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Artinya, terjadi peningkatan tren. Gempa berpotensi tsunami juga terjadi dua kali tahun ini. Padahal, sebelumnya terjadi rata-rata dua tahun sekali,” katanya dalam Diskusi Catatan Akhir Tahun Bencana Alam dan Komunitas di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Ke-15 gempa merusak tersebut terjadi di Solok Selatan dengan kekuatan M 5,6, Banten (M 6,9), Gunung Salak (M 4,0), Sumenep (M 5,0), Bali (M 5,0), Sumbawa (M 5,3), Lombok (M 5,4), Banggai (M 6,9), Maluku (M 7,1), Maluku (M 7,0), Labuha (M 7,2), Ambon (M 6,5), Banda (M 7,4), Mamberamo (M 6,1), dan Sarmi (M 6,2).
Di antara 15 gempa tersebut, sebanyak 13 disebabkan oleh sesar aktif, sedangkan dua lainnya dipicu oleh aktivitas megathrust. Dalam hal ini, Daryono mengingatkan agar masyarakat tidak terlena dengan bahaya gempa megathrust saja. Gempa akibat sesar aktif juga perlu diwaspadai.
”Gempa megathrust memang potensi dampaknya besar, tapi gempa dari sesar aktif juga sama besarnya karena dekat dengan tempat tinggal kita. Dampak gempa sesar aktif di Yogyakarta, Pidie Jaya, dan Lombok menjadi buktinya,” katanya.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN–Dampak kerusakan akibat gempa bermagnitudo 6,5 yang mengguncang sejumlah wilayah di Maluku pada Kamis (26/9/2019).
Daryono mencermati, sejak 2013, aktivitas gempa bumi di Indonesia menunjukkan tren yang terus meningkat. Pada 2013, setidaknya terjadi 4.234 kali gempa. Sebanyak 220 kali di antaranya gempa berkekuatan M 5,0 atau lebih. Jumlah kejadian gempa tersebut terus naik berturut-turut, yakni 4.434 kali (2014), 5.299 kali (2015), 5.646 kali (2016) dan 7.169 kali (2017).
Peningkatan signifikan terjadi pada 2018 dengan kejadian gempa mencapai 11.920 kali. Sebanyak 312 di antaranya berkekuatan M 5,0 atau lebih. Adapun pada tahun ini, tepatnya hingga November 2019, setidaknya sudah terjadi 11.588 kali gempa.
Daryono juga mengatakan, kejadian gempa bumi di Ambon yang terjadi pada 26 September merupakan salah satu fenomena tidak lazim pada tahun ini. Sebab, selama ini sesar aktif di kawasan tersebut belum pernah dipetakan oleh para ahli.
Selain itu, gempa berkekuatan M 6,5 tersebut juga mampu menghasilkan aftershock atau gempa susulan sebanyak 2.734 kali hingga Minggu (15/12/2019). Lebih dari 3.000 rumah dikabarkan rusak dan 30 orang meninggal dalam kejadian tersebut.
”Ada 303 gempa yang dirasakan. Hingga pagi ini gempa tersebut masih dirasakan. Teridentifikasi ada enam kluster gempa susulan,” ucap Daryono.
Sementara itu, Daryono juga mengingatkan, hingga kini ada sejumlah daerah yang tengah mengalami seismic gap atau kekosongan gempa besar. Seismic gap adalah istilah untuk menyebut kawasan aktif secara tektonik, tetapi jarang terjadi gempa kuat dalam waktu yang lama.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI–Tampak tenda darurat di kamp pengungsian Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulteng, Jumat (1/11/2019). Tenda-tenda itu ditempati 200 keluarga penyintas likuefaksi Balaroa yang tak mendapatkan hunian sementara yang bangunannya bercorak semipermanen. Selama 13 bulan mereka menempati tenda tersebut pascagempa lalu.
Beberapa zona yang tengah mengalami seismic gap ini adalah Mentawai, Selat Sunda, selatan Jawa Tengah, selatan Bali, zona Sesar Matano, dan Laut Banda. ”Tanpa menakut-nakuti, tapi tampaknya di sana sedang terjadi akumulasi energi medan tegangan,” ujarnya.
Peta likuefaksi
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun ini juga merilis peta kerentanan likuefaksi di Indonesia. Peta ini menggunakan skala 1:100.000 untuk informasi regional dan 1:50.000 untuk kepentingan pembangunan yang lebih mendetail.
Dari peta tersebut diketahui beberapa wilayah yang memiliki kerentanan likuefaksi tinggi secara regional. Wilayah tersebut antara lain Aceh bagian selatan, Sumatera Utara bagian utara, DKI Jakarta bagian utara, Jawa Tengah bagian selatan, DI Yogyakarta bagian selatan, hingga Palu.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Kondisi Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, setahun setelah peristiwa likuefaksi yang dipicu gempa bumi, Senin (23/9/2019 ).
Menurut Kepala Bidang Geologi Teknik Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM Wahyudin, ada empat jenis likuefaksi yang ada di Indonesia, yakni likuefaksi aliran, pergeseran lateral, penurunan tanah, dan semburan tanah. Untuk daerah yang masuk dalam kawasan kerentanan tinggi, keempatnya berpotensi terjadi.
”Kalau yang sedang, bentuknya bisa berupa pergeseran lateral, penurunan tanah, dan semburan pasir,” katanya.
Wahyudin menambahkan, penyusunan peta tersebut didasarkan oleh sejumlah aspek. Aspek yang dimaksud adalah potensi gempa bumi, jenis batuan penyusun, dan kedalaman muka air tanah. ”Jika suatu daerah tidak memiliki kerentanan dalam tiga aspek tersebut, maka likuefaksi kemungkinan besar tidak akan terjadi,” ucapnya.
Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan mengatakan, sebanyak 204 juta jiwa masyarakat tinggal di daerah rawan bencana. Namun, angka tersebut belum termasuk dengan bencana likuefaksi. Menyadarkan masyarakat untuk tangguh bencana hingga kini masih menjadi tantangan.
”Ada lebih dari 50 juta keluarga di Indonesia yang tinggal di daerah rawan bencana. Penguatan kapasitas jangan hanya dilakukan di tingkat kabupaten/kota, tapi juga masyarakatnya,” ujarnya.
Sepanjang 2019, tepatnya hingga 6 Desember, BNPB mencatat ada 3.466 kejadian bencana alam di Indonesia. Hal ini mengakibatkan sebanyak 572 orang meninggal dan 3.359 orang luka-luka.
Menurut Lilik, angka tersebut turun sebesar 88 persen dibandingkan dengan angka korban meninggal pada 2018. Meski begitu, bukan berarti kewaspadaan masyarakat meningkat sebab ada tiga kejadian bencana besar yang terjadi pada 2018, yakni gempa Nusa Tenggara Barat, gempa Sulawesi Tengah, dan tsunami Selat Sunda.
Oleh FAJAR RAMADHAN
Editor KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 16 Desember 2019