Kondisi ekosistem perairan pantai utara dengan dilanda dua kali pencemaran tumpahan minyak. Komunitas biologinya yang pada awalnya akan mengalami kepulihan kini dilanda lagi pencemaran yang berdampak jangka panjang.
KOMPAS/MELATI MEWANGI—Kemunculan tumpahan minyak (oil spill) di pantai utara Karawang, Jawa Barat, Sabtu (24/4/2021), dikhawatirkan akan berdampak pada ekosistem laut dan kehidupan ikan.
Dalam kehidupan di alam semesta, beragam peristiwa bisa menimpa kehidupan manusia. Bahkan tak jarang timbul bencana hingga dapat memorakporandakan harta benda dan ruang-ruang hidup manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peristiwa bencana muncul bukan tanpa sebab. Berdasarkan penyebabnya bencana dapat dibedakan atas tiga faktor utama, yaitu karena fenomena alam, pengaruh tindakan manusia, dan kombinasi faktor alam dan akibat ulah manusia.
Bencana dalam bentuk apa pun dapat muncul kapan pun dan di mana pun. Peristiwa yang belum lama terjadi menjelang puasa, tepatnya pada Sabtu 24 April 2021, adalah bencana tumpahan minyak di pantai utara (Pantura) Karawang, Jawa Barat. Bencana tersebut terjadi untuk kedua kalinya. Peristiwa sebelumnya atau pertama kali terjadi dua tahun sebelumnya, yakni 12 Juli 2019. Pada waktu itu terjadi tumpahan minyak dari pengeboran sumur YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Off-shore North West Java (PHE ONWJ).
Berbeda dengan bencana pertama, pada bencana kedua kalinya tahun 2021 ini berdasarkan Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno, diakibatkan oleh kebocoran pipa minyak akibat korosi internal pipa karena sudah lawas. Imbasnya, diprakirakan dampak kebocoran minyak tersebut menyebabkan kehilangan produksi minyak sekitar 6.000 barel per hari (Kompas.com, 25/4/2021).
Apabila diperhatikan secara saksama, penyebab bencana tumpahan minyak di Pantura Karawang—akibat kebocoran pipa—dapat dikategorikan sebagai bencana bukan bencana alam atau akibat fenomena alam, tetapi lebih menonjol akibat pengaruh tindakan manusia. Pasalnya, yang disebut bencana akibat fenomena alam, sifat bencana tersebut benar-benar karena faktor alam. Konsekuensinya, risiko bencana alam pada umumnya lebih sulit untuk diprediksi, dengan memiliki ketidakpastian tinggi, kapan, di mana, serta akibat yang ditimbulkan, dan besaran atau magnitude konsekuensinya.
Mengingat bencana tumpahan minyak di pantura Karawang ini telah terjadi dua kali dan hanya berselang dalam kurun waktu dua tahun dari kejadian pertama, seyogianya pada bencana pertama kali telah ada pengelolaan secara saksama.
Pada pengelolaan bencana kasus pencemaran minyak tahun 2019, semestinya telah diterapkan pengelolaan risiko bencana secara saksama yang sifatnya daur dan komprehensif. Hal tersebut meliputi upaya tanggap darurat (response) dan pencegahan (prevention). Dengan kata lain pada saat dulu tahun 2019 telah dilakukan upaya tanggap darurat, seperti rehabilitasi (rehabilitation), pemulihan (recovery), dan memberikan berbagai bantuan dan pertolongan (relief) yang berlandaskan lebih menekan pada orientasi darurat (more emergency oriented).
Seharusnya pada saat yang sama, pada saat itu juga dilakukan pengelolaan secara berkesinambungan, melakukan berbagai upaya pencegahan sekiranya kemungkinan bencana serupa akan timbul lagi di masa datang, dengan melakukan mitigasi (mitigation), peringatan dini (early warning), dan melaksanakan kesiapsiagaan (preparedness).
Dengan demikian, dalam standar baku pengelolaan risiko bencana, pekerjaan pengeolaan bencana tidak berhenti di masa tanggap darurat, tetapi harus dilakukan secara berkesinambungan dengan melakukan tindakan pencegahan berupa mitigasi, peringatan dini, dan melakukan siapsiagaan yang senantiasa diintegrasi dalam program pembangunan.
Meski demikian, ditilik dari kenyataan di lapangan, sepertinya pengeolaan bencana di Indonesia ada kecenderungan bahwa pengelolaan risiko tersebut lebih menekankan pada pengelolaan setelah terjadi bencana, tetapi kurang bersinambungan dengan melakukan mitigasi bencana, setelah bencana terjadi dan melakukan kesiapsiagaan lagi untuk menghadapi kemungkinan bencana itu terjadi lagi di masa datang. Bahkan, seyogianya dalam pengelolaan bencana itu seharusnya diintegrasikan dalam program pembangunan berkelanjutan.
Pasalnya, pembangunan yang tidak mengintegrasikan risiko bencana dalam pembangunan apabila terjadi bencana dampak kerugiannya lebih besar dari pada yang melakukan pengelolaan bencana yang terintegrasi dalam pembangunan berkelanjutan.
Tragedi menerpa warga
Bencana tumpahan minyak (oil spill) di pantura Karawang dapat menimbulkan tragedi pencemaran lingkungan, serta menerpa warga, termasuk para nelayan, pembudidaya ikan, udang, dan rajungan, serta pegiat wisata bahari di kawasan tersebut.
Berbagai pengaruh dan kerugikan terhadap ekosistem perairan dan sosial ekonomi para nelayan dan pembudidaya ikan dan udang, serta pegiat wisata bahari tergantung pada banyak faktor, seperti jenis dan jumlah minyak yang tumpah, luas sebaran minyak di perairan, kondisi cuaca, angin dan kekuatan arus laut.
Namun, yang jelas, pada kondisi ekosistem perairan pantai utara dengan dilanda dua kali pencemaran tumpahan minyak, komunitas biologinya yang pada awalnya akan mengalami kepulihan kini dilanda lagi pencemaran sehingga akan terjadi akumulasi gangguan yang dampaknya bisa dirasakan untuk jangka panjang.
Senyawaan minyak yang terapung di air biasanya membentuk lapisan minyak yang akan menghalangi kelarutan oksigen dari udara ke dalam air. Selain itu, lapisan minyak dapat pula menghalangi masuknya cahaya matahari ke dalam air. Imbasnya, hal itu dapat mengganggu proses fotosintesis di dalam air. Sementara itu, lapisan minyak di air laut juga cepat menyerap energi sinar matahari sehingga temperatur air laut naik.
Maka, berbagai perubahan itu dapat memberi dampak negatif terhadap organisme air, seperti plankton, ikan, udang, kerang-kerangan, burung air, dan mamalia air. Gangguan tersebut bisa bersifat langsung ataupun tidak langsung untuk jangka panjang.
Gangguan bersifat langsung, misalnya, senyawa yang larut sifatnya toksik dan anaestetik terhadap organ pernapasan biota air, seperti jenis-jenis ikan. Selain itu, bahan yang terakumulasi juga dapat menyelaputi insang dan tubuh organisme perairan pantai.
Sementara itu, sifat gangguan yang tidak langsung, seperti gangguan pada algae dan plankton. Komponen biota laut ini dapat terganggu hidupnya. Pun mengingat algae dan planton merupakan sumber pakan utama ikan, gangguan pada plankton dapat menyebabkan gangguan pada berbagai organisme lainnya secara berantai. Misalnya, akibat algae dan plankton yang mengandung minyak, kemudian dapat dimakan ikan sehingga ikan mati. Walaupun ikan tidak mati langsung, ikan di kawasan tercemar minyak dapat menyebabkan rasa kuliner ikan yang tidak enak karena berbau minyak.
Secara alami, senyawaan minyak yang tumpah ke laut dapat diurai oleh bakteri selama beberapa minggu atau bahkan berberapa bulan lamanya. Lantas, komponen minyak yang berat dapat tenggelam ke dasar laut atau hanyut ke muara sungai, dampaknya dapat membunuh organisme penghuni dasar laut, seperti kepiting, tiram, rajungan, dan kerang mati ataupun ornanisme laut atapun organisme tersebut menjadi tidak layak dikonsumsi karena bau minyak.
Risiko pada makhluk lainnya adalah dapat menyebabkan kematian pada mamalia laut, seperti paus dan jenis-jenis burung. Kasus yang menimpa paus telah dilaporkan pada kasus pencemaran minyak pertama, dan telah ditemukan beberapa bangkai paus dampak pencemaran minyak. Sementara itu, jenis-jenis burung yang memiliki risiko tinggi ditimpa tumpahan minyak adalah jenis-jenis burung yang biasa gemar menyelam, seperti pecuk kecil (Phalacrocorax pygmaeus), pecuk hitam (Phalacrocorax sulcirostris), dan pecuk ular (Anhinga melanogaster) yang gemar hidup di habitat periaran pantai.
Jenis-jenis burung tersebut rentan mendapat gangguan pencemaran minyak. Pasalnya, minyak yang menempel pada bulu burung dapat merusak fungsi bulu burung sebagai isolasi panas dan penolak air, yang menyebabkan burung mengapung di air laut.
Maka, pengaruh kontaminasi minyak pada bulu burung mengakibatkan burung kehilangan daya apung di air dan dapat tenggelam serta mati. Selain itu, tidak adanya isolasi panas oleh bulu burung juga dapat menyebabkan burung cepat kehilangan panas tubuh, dan burung pun akhirnya bisa mati.
Tidak hanya itu, pencemaran minyak di pantura Karawang ini juga telah menjadi gangguan serius terhadap aspek sosial ekonomi dan budaya para nelayan, baik nelayan tangkap maupun nelayan budidaya, serta pegiat wisata bahari.
Bagi nelayan tangkap, dengan adanya pencemaran minyak, mereka tidak dapat melaut menangkap ikan, dan ikan pun menjadi langka karena pengaruh pencemaran minyak. Sementara itu, bagi nelayan budidaya, seperti pembudidaya budidaya udang dan ikan di empang tambak, dengan air tambaknya tercemar minyak, kematian udang-udang dan ikan peliharaan mereka ataupun udang dan ikan dipanen lebih awal dan selanjutnya untuk sementara waktu mereka tidak bisa membudidayakan lagi udang dan ikan.
Konsekuensinya, para nelayan tangkap dan para nelayan budidaya dapat kehilangan sumber pendapatan dan mata pencarian mereka. Sementara itu, pegiat wisata bahari juga sementara waktu tidak bisa melaksanakan aktivitasnya dan menyebabkan hilangnya pendapatan mereka. Ditambah lagi dalam masa pandemi Covid-19 saat ini, segala usaha ekonomi lainnya secara umum sedang mengalami kelesuan.
Bencana pencemaran tumpahan minyak di pantai ini seyogianya menjadi refleksi dan pembelajaran bahwa untuk mengelola bencana seharusnya dilakukan tidak hanya merespons setelah terjadi bencana. Tetapi, yang penting juga dilakukan adalah melakukan pencegahan, seperti melakukan upaya mitigasi secara berkesinambungan sebelum terjadi bencana dan diintegrasikan dengan program pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Johan Iskandar, Pengajar Biologi FMIPA, Sekolah Pascasarjana Ilmu Lingkungan; dan Peneliti Senior CESS, Unpad
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 7 Juni 2021