Dalam upaya menyelesaikan konflik dalam tubuh organisasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, para profesor riset dan peneliti utama berpendapat, Tim Penyelaras yang dibentuk untuk menyelesaikan persoalan tersebut seharusnya mendengarkan kedua pihak.
Pernyataan ini diungkapkan profesor riset Jan Sopaheluwakan, Kamis (28/2) di Jakarta, menyusul surat Mosi Tidak Percaya kepada Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko dari sejumlah profesor riset dan peneliti utama. Surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo tersebut juga mendesak Presiden untuk memberhentikan Handoko dari jabatannya. Surat telah disampaikan melalui Kantor Staf Presiden pada Jumat (22/2) lalu.
Surat tersebut ditandatangani 64 orang profesor riset dan peneliti utama serta satu orang memberikan ACC. Di antara mereka yang tanda tangan yaitu dua mantan Kepala LIPI Taufik Abdullah dan Lukman Hakim, Jan Sopaheluwakan profesor bidang riset Geologi, Manajemen Risiko Bencana, Hermawan Sulistyo-bidang Perkembangan Politik, Asvi Warman Adam-bidang Sejarah Politik, Indria Samego-bidang Hubungan Sipil-Militer, Kepartaian, Dewi Fortuna Anwar-bidang Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional, Endang Sukara-bidang Bioteknologi, dan Rosichon Ubaidilah-bidang Zoologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jan menegaskan, “Tim Penyelaras perlu observasi dan melihat kondisi lapangan. Tim perlu melakukan cover both sides mencakup sisi legal formalistik prosedural dan sisi moral etika peneliti atau ilmuwan.” Dia menambahkan, “Perlu mendengar dari sisi birokrasi LIPI dan sisi sivitas yang diwakili para profesor riset dan peneliti utama.” Jan khawatir nantinya Tim Penyelaras hanya fokus pada menyelaraskan aspek legal formal prosedural. Sementara, tambahnya, isu pokok yaitu kebijakan yang diambil Kepala LIPI dan dampak-dampaknya tidak terungkap.
Membuka ruang dialog
Tim Penyelaras akan ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Saat ini mereka tengah memetakan kerangka kerja penyelesaian polemik reorganisasi LIPI, lanjut Nur. Tim Penyelaras kemudian akan membuka ruang dialog bagi semua pihak terkait untuk mendapatkan informasi yang lengkap, menyeluruh, dan obyektif untuk penyelesaian masalah yang muncul pascareorganisasi LIPI.
Tim penyelaras yang akan dibentuk terdiri dari unsur Kementerian PANRB, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Badan Kepegawaian Negara, dan LIPI. Tim ini dipimpin oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi Syafruddin mengatakan, “Tim Penyelaras diharapkan dapat menyelesaikan masalah tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Saya minta semua untuk cooling down dan jangan menimbulkan opini yang menimbulkan kekisruhan.”
Menurut Sekretaris Utama LIPI, Nur Tri Aries, selain memetakan kerangka kerja, Tim Penyelaras juga diminta memberikan rekomendasi alternatif penyelesaian dan usulan kebijakan akhir yang obyektif dan komprehensif sesuai koridor regulasi yang ada. Diharapkan semua pihak dapat bersabar serta dapat bekerja sama untuk mendukung komitmen bersama demi mewujudkan LIPI sebagai wadah lembaga riset nasional berkelas dunia, urai Nur. Rencananya, pekan depan Tim Penyelaras akan memberikan rekomendasi yang akan disampaikan kepada Menteri PAN-RB dan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Mengacu regulasi
Tentang mosi tidak percaya tersebut, Handoko menyatakan LIPI adalah lembaga akademis yang menjunjung tinggi kebebasan akademis berlandaskan pada etika ilmiah. Di lain sisi, LIPI juga lembaga eksekutif pemerintahan yang mengacu pada regulasi dan etika Aparatur Sipil Negara bagi sivitasnya.
“Dalam konteks diatas, gerakan dan manuver dari sebagian kecil peneliti senior dan pensiunan peneliti LIPI tidak sepatutnya dilakukan,” kata Handoko.
Ia menambahkan, saat ini Tim Penyelaras lintas kementerian sedang bekerja, sehingga sebaiknya seluruh pihak menunggu hasil kerja tim yang dibentuk oleh KemenPAN-RB dan Kemenristekdikti (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi).
Dalam surat yang dibacakan Hermawan dalam jumpa pers kemarin, mereka menganggap kepemimpinan Handoko otoriter, tidak transparan, tidak kolegial, tidak partisipatif, tidak humanis, dan tidak inklusif.
Pola kepemimpinan seperti itu dipandang akan berdampak pada instabilitas pemerintahan jelang Pemilu 2019, rusaknya sistem dan tata kelola internal LIPI, serta merosotnya pelayanan publik LIPI sebagai lembaga pembina peneliti di tingkat nasional.
Selain itu, reputasi LIPI sebagai pemegang otoritas keilmuan pada tingkat nasional, regional, dan global akan hancur. Mereka juga berpandangan, demotivasi dan demoralisasi sivitas LIPI akan terjadi sebagai akibat kebijakan reorganisasi yang tidak visioner.
Akibat kebijakan reorganisasi dan redistribusi karyawan tersebut menurut Hermawan Sulistyo, teknikal kemampuan pengetahuan yang ada di LIPI mulai merosot. “Ke depan LIPI hanya menjadi obyek untuk bisnis,” kata Hermawan dalam jumpa pers kemarin.
Beberapa kebijakan yang menurut para profesor tersebut tidak tepat yaitu kebijakan komersialisasi aset. Hermawan menyayangkan keputusan Handoko yang mengubah Kebun Raya Bogor hanya menjadi tempat wisata. Selain itu, beberapa ruangan di LIPI disewakan untuk kepentingan bisnis dan dikelola pihak swasta.
Mantan Deputi Ilmu Kebumian dan Bidang Jasa Ilmiah LIPI Jan Sopaheluwakan menganggap Handoko hanya mematuhi legal formal, tetapi tidak peduli dengan hati nurani. Ia menganggap pelanggaran yang dilakukan Handoko dengan mengingkari kesepakatan adalah perbuatan bohong.
“Dia melanggar kesepakatan dengan karyawan yang ditandatangani pada 8 Februari lalu yang berisi moratorium kebijakan,” ujar Jan. Pada 8 Februari 2019 pertemuan Handoko dengan pegawai LIPI menghasilkan kesepakatan melakukan moratorium kebijakan yang ditandatangani oleh Handoko.
Dalam wawancaranya dengan Kompas, Handoko mengatakan, terkait diseminasi hasil riset, “Saya dibilang komersialisasi karena saya ingin ada kafe di sini, ada semacam mini teater di sini yang dioperasikan swasta karena kita ingin publik masuk ke sini.” Dia mengatakan, upaya itu merupakan upaya mendekatkan informasi sains ke publik. Di kafe, misalnya ditaruh buku-buku terbitan LIPI, diputar film eksplorasi dan ekspedisi LIPI. “Itu seolah komersialisasi padahal itu sesuai dengan regulasi dan malah dianjurkan,” katanya.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI / PRAYOGI DWI SULISTYO / YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 28 Februari 2019