Sekelompok ilmuwan dari Universitas Duke, Amerika Serikat, berhasil memecahkan teka-teki kaitan antara tiga penyebab gangguan jiwa berat skizofrenia. Tiga penyebab skizofrenia yang selama ini terpisah, yaitu pemendekan tonjolan saraf, sel saraf yang hiperaktif, dan kelebihan hormon dopamin, ternyata saling berkaitan dengan hilangnya gen yang dinamakan Arp2/3.
Hasil penelitian Universitas Duke tersebut dipublikasikan dalam jurnal Nature Neuroscience dan diberitakan Sciencedaily.com pada Senin (4/5). Kelompok peneliti tersebut dipimpin guru besar biologi sel dari Fakultas Kedokteran Universitas Duke, Scott Soderling, bersama peneliti Il Hwan Kim dan peneliti lain. Penelitian dilakukan pada tikus percobaan sejak 2013.
Skizofrenia merupakan penyakit jiwa yang kompleks sejak tingkat gen, otak, dan perilaku. Penderita skizofrenia menunjukkan gejala beragam dengan tingkat keparahan beragam pula. Sejumlah studi atas gen, yaitu bagian dari tubuh yang penting dalam pewarisan sifat-sifat makhluk hidup, menunjukkan risiko jika terjadi mutasi gen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh karena itu, Soderling dan kawan-kawan menelitinya mulai dari tingkat gen. Tim peneliti memilih gen bernama Arp2/3 dengan alasan gen tersebut penting dalam mengendalikan pembentukan sinaps-sinaps, yaitu penghubung antarsel saraf (neuron). Gen Arp2/3 juga berhubungan dengan kelainan jiwa ganda karena kerusakan saraf. Para peneliti menghilangkan gen Arp2/3 pada saraf-saraf perangsang di otak depan tikus.
Pasien penderita gangguan jiwa psikotik menunggu pembagian makan siang di UPT Panti Karya, Kecamatan Mergangsan, Yogyakarta, Selasa (20/1). Tempat rehabilitasi tersebut saat ini merawat 72 pasien penderita gangguan jiwa yang terus mendapat pengobatan rutin hingga dapat dirawat kembali oleh keluarga masing-masing.–KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Hal yang mengejutkan, peneliti menemukan, tikus-tikus percobaan yang kekurangan gen Arp2/3 menunjukkan sejumlah perilaku yang berhubungan dengan gejala skizofrenia seperti pada manusia. Peneliti juga menemukan tiga teori kelainan otak pada tikus yang kekurangan gen Arp2/3 yang muncul pula di manusia penderita skizofrenia.
Pertama, menyangkut teori pemendekan tonjolan saraf, pengamatan pada otak depan manusia penderita skizofrenia menunjukkan, terdapat tonjolan-tonjolan sel saraf atau dendrit (dendritic spines) yang lebih sedikit. Tonjolan dendrit ini penting dalam penerimaan sinyal saraf dari sel lain. Pada tikus percobaan, penghilangan gen Arp2/3 juga menyebabkan jumlah tonjolan dendrit berkurang.
Kedua, menyangkut teori sel saraf hiperaktif, pada manusia penderita skizofrenia, sel-sel saraf pada otak bagian depan hiperaktif. Otak bagian depan ini terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.
Dalam penelitian ini, tikus yang kekurangan gen Arp2/3 juga menunjukkan gambaran sel-sel saraf yang hiperaktif. Menggunakan mikroskop beresolusi tinggi, tim peneliti menemukan sel-sel saraf terhubung satu sama lain tanpa melalui tonjolan dendrit. Padahal, tonjolan dendrit ini berfungsi sebagai penyaring atau filter listrik. Tanpa filter ini, kata Soderling, sel-sel saraf menjadi aktif secara berlebihan.
Ketiga, menyangkut teori hormon dopamin yang meningkat kadarnya pada otak penderita skizofrenia. Dukungan untuk teori ini datang dari pengamatan dampak obat-obatan antipsikosis yang berfungsi menghambat transmisi dopamin di otak yang mengurangi gejala kecemasan berlebih pada manusia. Tikus percobaan yang kekurangan gen Arp2/3 juga menunjukkan perbaikan kondisi ketika diberi obat antipsikotika jenis haloperidol.
“Ketika Kim dan saya akhirnya menyadari bahwa tiga fenotipe yang tampak tidak berhubungan di permukaan (pemendekan tonjolan dendrit, sel saraf hiperaktif, dan dopamin berlebihan), dalam faktanya, ketiganya terhubung secara fungsional satu sama lain. Itu sungguh mengejutkan dan sangat menarik bagi kami,” tutur Soderling.
Obat-obatan antipsikotika haloperiodol yang menjadi andalan pengobatan skizofrenia pada manusia juga menurunkan beberapa gejala pada tikus percobaan. Namun, haloperidol tidak dapat mengembalikan tonjolan dendrit hilang pada tikus percobaan. Pada manusia penderita skizofrenia, pemendekan tonjolan dendrit terjadi pada awal kehidupan manusia.
400.000 penderita
Penemuan kaitan tiga fenotipe ini memberi harapan baru untuk pengobatan yang lebih tepat bagi penderita skizofrenia. Hal itu karena dewasa ini penderita skizofrenia di Indonesia belum mendapatkan pengobatan yang tepat, misalnya penderita dipasung oleh keluarganya.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi skizofrenia adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Dari jumlah tersebut, ternyata 14,3 persen atau 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Angka pemasungan di pedesaan sebesar 18,2 persen. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka di perkotaan, yaitu 10,7 persen (Kementerian Kesehatan, 2014).
Perhatian pemerintah dan DPR terhadap kesehatan jiwa ini relatif sudah baik dengan adanya jaminan negara. Salah satunya adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
“Memang ada kesenjangan layanan, saat ini baru rumah sakit jiwa atau rumah sakit pendidikan yang bisa melayani pasien gangguan jiwa sehingga banyak pasien yang terlambat mendapat pertolongan, terutama dari daerah terpencil,” kata dr Eka Viora, SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, seperti dikutip Kompas.com dalam acara pembukaan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Oktober 2014.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek juga telah membuat Surat Keputusan (SK) Menkes No HK.02.02/Menkes/73/2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. Dalam SK disebutkan, haloperidol adalah salah satu obat injeksi yang diberikan kepada penderita skizofrenia fase akut, di samping obat-obatan antipsikotika lain.
Selain pemberian obat, pada fase akut, Menkes juga menganjurkan psikoedukasi untuk memberi ketenangan kepada pasien. Terapi lain adalah terapi kejang listrik, terutama untuk skizofrenia jenis katatonik dan refrakter.
Fase berikutnya adalah fase stabilisasi dengan memberikan obat antispikotika dan psikoedukasi. Pada fase stabilisasi ini, pasien diajak mengenali gejala-gejala penyakitnya. Fase terakhir disebut fase rumatan untuk mencegah kekambuhan, juga dengan pemberian obat dan psikoedukasi, untuk mempersiapkan pasien kembali ke masyarakat.
Proses kembali ke masyarakat dalam praktiknya tidak mudah. Psikolog Kristi Poerwandari menganjurkan perlunya orang terdekat dan pendamping bagi penderita skizofrenia. Pendamping perlu mempertahankan dan memelihara hubungan dengan teman dan keluarga yang dapat menjadi sumber dukungan yang kuat, membantu dengan menjadi pendengar yang baik, menjadi teman untuk menjalankan hobi, dan menetralkan suasana psikologis pendamping agar dapat terus mempertahankan sikap hidup positif (Kompas, 18/1).
“Mungkin akan banyak membantu jika dapat bergabung dengan kelompok dukungan untuk saling berbagi informasi dan menguatkan. Beberapa kelompok dukungan adalah Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia dan Perhimpunan Jiwa Sehat yang dapat dilihat di internet,” ujar Kristi.
SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas Siang | 7 Mei 2015
Posted from WordPress for Android