Selain ancaman Covid-19, Indonesia menghadapi ego sektoral dan prosedur birokrasi yang ruwet. Ini menyebabkan pemeriksaan korona, yang menjadi kunci mengatasi pandemi, tak juga bisa dilakukan secara massal dan cepat.
AFP/STR–Seorang tenaga medis mengambil swab dari pasien Covid-19 di sebuah rumah sakit di Wuhan, Provinsi HUbei, China, pada 14 Maret 2020. China melaporkan 11 kasus baru infeksi vorus korona, dan untuk pertama kali sejak awal epidemi, sebagian besar pasien merupakan kasus impor atau tertular dari luar negeri.
Kasus Covid-19 yang dilaporkan di Indonesia ibarat singkapan gunung es, yang kian lama semakin tidak menggambarkan kenyataan sesungguhnya. Hal itu disebabkan kecepatan pemeriksaan yang kita lakukan, jauh tertinggal dibandingkan laju penyebaran SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemeriksaan merupakan strategi kunci dalam perang melawan Covid-19, dan kegagalan melakukannya akan membuat kita buta dengan pergerakan lawan. Selama Januari-Februari 2020, kegagalan pemeriksaan yang saat itu dimonopoli Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, menyebabkan SARS-CoV-2 masuk ke Indonesia tanpa diketahui.
Semua pemeriksaan spesimen yang dilakukan hasilnya selalu negatif. Banyak ilmuwan, di dalam dan luar negeri, mengingatkan kemungkinan terjadi negatif palsu, mengingat hampir semua negara lain yang terhubung langsung dengan Wuhan, China, sudah melaporkan adanya kasus.
Namun, persoalan ini dibiarkan berlarut hingga dua bulan, hingga terjadi sejumlah kematian yang diduga akibat Covid-19. Sebagai contoh, meninggalnya pasien di Rumah Sakit (RS) Kariadi, Semarang, pada 23 Februari 2020 dan pegawai Telkom di Cianjur pada 3 Maret 2020. Setelah diumumkan negatif, pegawai Telkom ini baru dinyatakan positif pertengahan Maret 2020, pada saat itu anak dan istri almarhum juga positif.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Pengunjung mencuci tangan di wastafel yang disediakan pengelola pasar swalayan di Pondok Bambu, Jakarta Timur, Minggu (5/4/2020). Pengelola membatasi jumlah pengunjung di dalam pasar swayalan untuk melaksanakan pembatasan sosial guna menyegah penyebaran pandemi Covid-19.
Secara teknis, kegagalan pemeriksaan bisa disebabkan kesalahan pengambilan swab, masalah di pengiriman ke laboratorium, dan kesalahan analisis. Selama periode ini, pemeriksaan spesimen korona di Indonesia memakai panel primer dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS dengan protokol PCR (polymerase chain reaction).
Padahal, reagen kit SARS-CoV-2 dari CDC bermasalah dan kemudian diganti. Masalah ini pula yang menyebabkan Amerika Serikat lambat merespons ledakan Covid-19. Kini, Amerika memiliki kasus Covid-19 terbanyak di dunia, dengan 336.851 kasus dan korban jiwa 9.620 orang.
Sejak awal Februari 2020 Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset dan Teknologi menawarkan untuk membantu pemeriksaan, minimal menjadi laboratorium pembanding untuk memvalidasi proses pemeriksaan.
”Kami kirim surat lewat Kemristek, minimal jadi laboratorium untuk uji silang hasil uji dari Balitbangkes,” kata Kepala Lembaga Eijkman Amin Soebandrio (Kompas, 15 Februari 2020).
Namun, sampai akhir Februari 2020, kita tak juga mengoreksi proses pemeriksaan. Sebaliknya, para pejabat berulang kali berupaya menyakinkan publik bahwa di Indonesia tidak ditemukan ada kasus positif covid-19 karena berbagai dalih anti-sains, misalnya orang Indonesia kebal.
Tak mampu mengejar
Perubahan protokol pemeriksaan baru dilakukan akhir Februari dan pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
Padahal, menurut kajian berbasis pemodelan oleh Iwan Ariawan bersama ahli epidemiologi dan biostatistik Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia lain, Pandu Riono, Muhammad N Farid, dan Hafizah Jusril, kasus Covid-19 di Indonesia 3.500 kasus di awal Maret itu.
Berikutnya, Lembaga Eijkman dan belasan laboratorium lain, seperti Universitas Indonesia dan Universitas Air Langga diajak bergabung untuk membantu pemeriksaan pada minggu kedua Maret lalu. Namun, hingga Senin (6/4) pemeriksaan di Indonesia masih amat sedikit, yaitu hanya 36 orang per 1 juta populasi (Worldometers.info).
Angka ini termasuk paling kecil di dunia. Sebagai perbandingan, India melakukan tes terhadap 102 per 1 juta penduduk, Brasil 258 per 1 juta, Thailand 359 per 1 juta, Vietnam 910 per 1 juta, Singapura 6.837 per 1 juta, Malaysia 1.717 per kasus, dan Korea Selatan 8,996 per 1 juta.
Belakangan, Indonesia baru bisa melakukan tes sekitar 1.500 spesimen per hari. Meski ada perkembangan, itu jauh dari kebutuhan. Menurut Menteri Risetk dan Teknologi Bambang Brodjonegoro, Lembaga Eijkman berkontribusi sektar 180-270 pemeriksaan sehari. Meski bekerja secara keras, kecepatan tes saat ini tak mampu mengejar sebaran wabah.
Antrean sampel yang belum diperiksa pun menumpuk di tiap laboratorium. Di Eijkman saja saat ini ada sekitar 1.000 antrean sampel belum diperiksa. Atrean panjang pemeriksaan ini jadi sumber berbagai masalah. Kegagalan melakukan tes massal dan segera, juga menyebabkan kita kian kehilangan waktu melakukan penelusuran kontak dan perawatan pasien.
Bahkan, banyak pasien dalam pengawasan meninggal sebelum keluar hasil testnya. Selain itu, kerja rumah sakit terganggu karena ruang isolasi tak lagi mampu menampung pasien baru.
“Banyak korban meninggal bukan hanya karena ganasnya Covid-19, tapi karena terlambat ditangani, karena hasil tes terlambat keluar. Untuk tes di Jakarta saja paling cepat baru seminggu keluar hasilnya. Birokrasinya rumit, baik sebelum periksa, maupun setelah diperiksa,” kata Eva Sri Diana, dokter spesialis paru yang juga pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Herman Maulana Syah (40) menggunakan kostum ala APD buatannya dari plastik saat melayani pelanggan cukur rambut di usaha miliknya Cemot Barber Shop di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, Senin (6/4/2020).
Pemeriksaan masif dan penelusuran kontak merupakan kunci sukses Korea Selatan dan Singapura meredam perkembangan Covid-19, sekalipun tanpa karantina wilayah. Namun, Indonesia yang menolak karantina wilayah belum melakukan tes massal dan penelusuran kontak secara intensif.
Dengan kegagalan mencegah mobilisasi penduduk, Covid-19 kian menyebar di berbagai daerah di Jawa, maupun luar Jawa. Akibatnya, besar kecilnya sebaran Covid-19 di daerah tidak bisa lagi digambarkan oleh laporan yang tiap sore diumumkan Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto.
Kasus nyata dipastikan jauh lebih besar dari yang diperiksa. Malaysia yang saat ini memiliki 3.793 kasus positif dengan hanya 62 korban meninggal, melakukan pemeriksaan 50 kali lebih banyak dibandingkan Indonesia yang memiliki 2.491 kasus positif dan 209 korban jiwa.
Seperti masalah kita sejak awal wabah ini, tidak adanya kasus lebih karena buruknya pemeriksaan. Misalnya di Manado, Sulawesi Utara, baru ada 5 kasus positif karena yang diperiksa baru segitu. Sementara Nusa Tenggara Timur, yang belum ada satu kasus positif padahal telah mempunyai ribuan orang dalam pengawasan (ODP), terjadi lebih karena belum ada satu spesimen diperiksa.
Tanpa pemeriksaan Covid-19 yang masif,kita saat ini seperi berperang dengan musuh mematikan, namun dengan mata separuh tertutup.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 7 April 2020