Setidaknya 381 orang tewas dan 1.800 orang terluka setelah gempa berkekuatan Mw 6,3 mengguncang Yunnan, Tiongkok bagian selatan, Minggu (3/8) sore. Seperti Tiongkok, Jepang, dan negara-negara lain di zona tumbukan lempeng bumi, di Indonesia, gempa hanyalah soal waktu.
Gempa telah lama meneror manusia. Teror itu kerap mewujud dalam sosok hewan mitologis. Bangsa Manchu, Mongol, dan Turki memiliki binatang mitologis berupa ikan raksasa, katak, kura-kura, kerbau, hingga mammot yang menyangga bumi dan ketika bergerak akan memicu gempa (Tributsch, 1982).
Di Nusantara, kepercayaan ini juga pernah ada. Masyarakat Toba percaya gempa disebabkan Naga Padoha. Adapun masyarakat pantai barat Sumatera memiliki mitos lembu raksasa penyangga bumi yang jika bergerak bisa menyebabkan gempa. Kisah ini dituturkan Muhammad Radjab pada bukunya, Semasa Kecil di Kampung (1913-1928).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Jepang, hewan yang dituding sebagai penyebab gempa adalah lele raksasa atau namazu. Shogun Hideshi Toyotomi, yang berkuasa di Jepang periode 1573-1582, tercatat pernah meminta pengikutnya mewaspadai perilaku ikan lele saat membangun istana. Setelah istana itu kemudian hancur karena gempa besar pada 1596, Sang Shogun memerintahkan perburuan ikan lele.
Motoji Ikeya, profesor fisika dari Osaka University (2004), menyebutkan, namazu punya akar ilmiah. ”Selama berabad-abad, masyarakat di berbagai belahan dunia membangun cerita perilaku binatang yang aneh sebelum gempa,” kata dia. ”Namun, fenomena ini tidak menarik minat penelitian ilmiah.”
Hingga Agustus 1971, State Seismological Bureau of China mempelajari perilaku binatang untuk memprediksi gempa. Empat tahun kemudian, mereka mengklaim sukses mengevakuasi warga kota Haicheng beberapa jam sebelum gempa (M 7,3) pada 4 Februari 1975. Sebanyak 1.400 orang tewas, tetapi 100.000 orang selamat karena dievakuasi sebelumnya. Setahun kemudian, Tiongkok gagal memprediksi gempa Tangshan (M 8,2) yang menewaskan 240.000 orang. Setelah kegagalan ini, upaya prediksi gempa berdasarkan perilaku binatang kembali terpinggirkan.
Teori lempeng
Kini, ilmuwan lebih terobsesi melacak jejak gempa dengan mengamati pergerakan lempeng yang pijakan teorinya dirintis meteorolog Jerman, Alfred Wegener. Pada 1915, Wegener menulis hipotesis tentang pergerakan kulit bumi setelah melihat garis pantai Afrika dan Amerika Selatan yang begitu mirip, demikian pula flora dan faunanya. Ia menduga pada masa lampau kedua benua itu menyatu, lalu terpisah akibat pergeseran muka bumi.
Hipotesis ini selama 40 tahun tidak diterima hingga geolog Kanada, J Tuzo Wilson, mengemukakan teori tentang ”lempeng tektonik” pada 1965. Teori ini menyebutkan, lapisan luar bumi terpecah menjadi beberapa lempeng yang bergerak terpisah.
Oleh karena luas muka bumi tetap, lempeng ini saling menunjam. Penunjaman terjadi di sepanjang tepiannya, dicirikan palung laut dalam. Lahirlah teori ”tektonik lempeng” yang mendasari ilmu dan teknologi gempa bumi modern.
Dengan teori ini, zona gempa di batas lempeng benua serta di zona patahan bisa dijelaskan. Gempa di dua zona ini dipahami sebagai gerakan tanah tiba-tiba akibat akumulasi kekuatan gerak lempeng yang sebelumnya tertahan bidang kontak.
Meski proses gempa kian dipahami, beberapa pertanyaan dasar tentang di mana, kapan, dan seberapa kuat gempanya tetap misteri. Maka, cara terbaik sebenarnya adalah mewaspadainya dengan bangunan tahan gempa. Ini dicontohkan rumah-rumah tradisional Nusantara yang dibangun dengan material dan teknik konstruksi tahan gempa.
Oleh: Ahmad Arif
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2014