Pemanfaatan sel punca untuk terapi penyakit kanker belum menjadi standar. Masih diperlukan penelitian yang mendalam untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.
Terapi sel punca untuk mengobati penyakit kanker harus dilakukan dengan sangat hati-hati oleh tenaga medis yang kompeten. Penggunaan sel punca dinilai justru bisa memicu agresivitas sel punca kanker yang sudah ada dalam tubuh.
Purnamawati memaparkan hal itu dalam disertasinya berjudul ”Efek Sekretom Sel Punca Mesenkimal Asal Jaringan Lemak dan Tali Pusat terhadap Agresivitas Sel Punca Kanker Payudara”. Ia mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (9/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Atas disertasi itu, Purnamawati berhak menyandang gelar doktor ilmu biomedik. Ia lulus dengan predikat yudisium cumlaude dan indeks prestasi 3,98.
Sel punca (stem cell) adalah sel induk yang belum terdiferensiasi menjadi lebih dari 200 jenis sel matang di tubuh. Ada dua jenis sel punca, yakni sel punca dari tubuh pasien sendiri (autologous) dan sel punca dari orang lain (allogenic).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Ilustrasi: Warga yang peduli pada kanker paru mengikuti Kampanye Kepedulian Kanker Paru yang digelar Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia di Kawasan Kemang, Jakarta, Minggu (18/12/2016). Kanker paru-paru merupakan salah satu kanker yang sering menyebabkan kematian, mencapai 13,4 persen dari seluruh kasus kanker.
Selain itu, ada sel punca pluripoten terinduksi (IPSC) yang masih dalam tahap pengembangan. Terapi dilakukan dengan
menyuntikkan sel punca kepada pasien untuk memperbaiki organ atau jaringan tubuh yang rusak (Kompas, 13 Oktober 2017).
Purnamawati mengungkapkan, sel punca mesenkimal atau SPM yang berasal dari jaringan lemak dan tali pusat merupakan sumber sel punca yang umum digunakan dalam terapi seluler. Sel tersebut memiliki kemampuan memperbarui diri dan berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel.
Sejumlah riset klinis menunjukkan efektivitas terapi SPM dalam terapi berbagai penyakit. Sebagai contoh, adanya perbaikan jaringan terhadap sejumlah penyakit degeneratif.
Namun, selain bisa dimanfaatkan untuk terapi perbaikan jaringan, ternyata pemanfaatan SPM juga menghadapi kendala. SPM memiliki kecenderungan terhadap kanker dengan menjadi bagian dari lingkungan mikrokanker. Ketika melekat (homing) pada jaringan kanker, SPM justru dapat menyebabkan sel punca kanker yang dorman menjadi lebih invasif.
Pada jaringan kanker payudara, terdapat kelompok sel minoritas yang menunjukkan karakteristik sel punca yang disebut sebagai sel punca kanker. Sel punca kanker ini terkait erat dengan kekambuhan, resistensi atau kebal terhadap kemoterapi, dan penyebaran sel kanker (metastasis) yang merupakan faktor utama penyebab kematian pasien. Pada tumor ganas, proporsi sel punca kanker lebih banyak daripada tumor jinak.
Sel punca kanker yang kian invasif setelah mendapat terapi SPM dapat terlihat dengan mendeteksi adanya aktivitas enzim aldehide dehidrogenase (ALDH) sebagai penanda pada sel hidup. Kanker payudara dengan aktivitas ALDH positif berkaitan dengan resistensi terhadap kemoterapi, penyebaran kanker, kekambuhan, dan prognosis klinis yang buruk.
Promotor promosi doktoral yang juga Guru Besar Tetap Departemen Histologi FKUI, Jeanne Adiwinata Pawitan, menyatakan, penelitian doktoral yang dilakukan Purnamawati bisa jadi acuan tata laksana sel punca untuk terapi kanker. Calon penerima terapi tidak boleh memiliki potensi keganasan kanker. Pemanfaatan sel punca pada pasien perlu dipantau ketat agar aman.
Kopromotor promosi doktor itu yang juga konsultan hematologi onkologi medik dari FKUI, Andhika Rachman, menekankan, sel punca menjanjikan untuk berbagai terapi. Namun, pemanfaatannya tidak mudah dan harus hati-hati.
Hasil penelitian oleh Purnamawati menjadi bukti bahwa pemanfaatan sel punca yang berasal dari lemak tubuh ataupun tali pusat justru bisa mengerikan, yaitu merangsang keganasan sel punca kanker. ”Ini baru skala laboratorium. Masih perlu riset lebih lanjut,” ujarnya.
Riset lanjutan
Terkait hal itu, masyarakat diimbau agar berhati-hati terhadap tawaran terapi sel punca yang banyak beredar. Pemanfaatan sel punca untuk terapi tidak bisa disamaratakan kondisinya. Meski pada beberapa jenis terapi seperti untuk luka bakar dan osteoartritis (OA) pemanfaatan sel punca bisa berhasil, pemanfaatan untuk terapi kanker masih perlu penelitian lebih lanjut.
Anggota tim penguji yang juga peneliti utama Institut Kanker dan Sel Punca (Stem Cell and Cancer Institute), Yuyus Kusnadi, menambahkan, hasil penelitian yang dilakukan Purnamawati menunjukkan, pemanfaatan sel punca dalam terapi kanker tak bisa dilakukan dengan sel punca yang asli. ”Mungkin diubah dulu sehingga kemudian terapi yang dilakukan ialah imunoterapi atau terapi target,” ujarnya.
Purnamawati memaparkan, meski menjanjikan, pemanfaatan sel punca untuk terapi kanker masih memerlukan bukti dari
serangkaian penelitian. Sejauh ini, terapi kanker mutakhir masih imunoterapi atau terapi target.
Secara epidemiologi, kanker payudara merupakan kanker yang paling sering didiagnosis. Jenis kanker itu juga masih menjadi penyebab kematian utama pada pasien kanker perempuan di seluruh dunia.
Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan, kanker payudara diketahui menempati urutan pertama penyebab kematian akibat kanker pada perempuan dengan angka kejadian 38 per 100.000 kasus.
Rekam medis di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2010 menunjukkan tingginya angka kematian akibat kanker payudara disebabkan kegagalan terapi. Sekitar 85 persen dari jumlah total pasien kanker yang berobat sudah stadium lanjut. (ADH)
Sumber: Kompas, 10 Januari 2018