Risiko bencana di Indonesia meningkat seiring dengan temuan sumber-sumber baru gempa bumi dan tsunami, meningkatnya jumlah penduduk, dan tren pembangunan di zona rentan. Kondisi itu menuntut gerakan nasional untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana dengan melibatkan semua kalangan.
“Bencana harus menjadi urusan semua orang, bukan hanya urusan BNPB. Kalau di pemerintahan, semua kementerian dan lembaga harus terlibat, tetapi lebih penting lagi adalah dari pihak masyarakat dan swasta,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei saat jadi pembicara kunci dalam seminar nasional kesiapsiagaan gempa dan tsunami di Jakarta, Senin (28/8).
Dalam acara ini, Ketua Tim Pemutakhiran Peta Bahaya Gempa Bumi Indonesia Tahun 2010 dan 2016 Mayshur Irsyam menjelaskan temuan sumber-sumber gempa bumi baru. Sumber-sumber gempa itu ditemukan melalui kajian tim peneliti selama enam tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk jalur patahan di darat, jumlah sumber gempa dalam peta 2016 tiga kali lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Dari 81 jalur sesar darat yang tertera di peta gempa bumi nasional 2010 kini jadi 295 jalur sesar. Sebagian patahan darat yang ditemukan itu melintasi kota-kota besar, terutama sesar di utara Pulau Jawa. “Namun, banyak gempa di darat belum diketahui sumbernya,” kata Masyhur, yang juga Guru Besar Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung ini.
Selain itu, timnya merelokasi sekitar 12.000 episenter atau pusat gempa. “Relokasi penting untuk mengetahui kedalaman penetrasi lempeng Australia ke lempeng Asia. Dari situ bisa disimpulkan ada banyak sumber gempa baru, terutama di zona back arch trust (zona busur belakang),” ujarnya.
Penemuan sumber-sumber gempa baru di darat ini membawa konsekuensi pada perubahan peta bahaya gempa. Selanjutnya, perlu ada perubahan Standar Nasional Indonesia (SNI) tata cara perencanaan bangunan dan struktur tahan gempa. “SNI harus diterapkan dalam desain bangunan tinggi dan infrastruktur, seperti jembatan dan bendungan,” ucap Masyhur.
Bangunan tahan gempa
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Danis H Sumadilaga, pemerintah dan masyarakat perlu memahami desain infrastruktur dan bangunan tahan gempa. “Pengetahuan peta sumber gempa juga harus dipahami untuk mengetahui titik rawan gempa,” ujar Danis.
Ahli konstruksi bangunan dari Universitas Islam Indonesia, Sarwidi, mengkhawatirkan lemahnya penerapan standar tahan gempa bagi rumah rakyat. Padahal, mayoritas bangunan rumah di Indonesia dibangun tanpa desain baik, tetapi oleh pemilik langsung dengan tukang. “Dalam beberapa kali kejadian gempa, rumah yang rusak amat banyak,” katanya.
Sarwidi sudah menyediakan desain bangunan rakyat tahan gempa dan melatih ratusan tukang di Yogyakarta agar memahami teknik membangun bangunan tahan gempa. “Namun, ini tak cukup. Butuh gerakan bersama bersifat nasional,” ujarnya.
Kepala Geotek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Eko Yulianto memaparkan temuannya tentang bukti ada tsunami tua di selatan Jawa. “Setelah tsunami Aceh 2004, ilmuwan meyakini, zona subduksi di mana pun bisa dilanda gempa bumi besar. Padahal, Indonesia dikelilingi oleh zona ini, mulai dari barat Sumatera hingga utara Sulawesi,” ucap Eko. (AIK/DD08)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2017, di halaman 14 dengan judul “Temuan Sumber Gempa Baru Menuntut Kesiagaan”.