Penemuan kembali lebah raksasa di Maluku Utara, menjadi kabar baik bagi ilmu pengetahuan dan pelestarian keberagaman hayati. Namun, penemuan ini diduga menyalahi etika riset karena prosesnya tanpa izin dari Pemerintah Indonesia dan tanpa menyertakan kolaborator lokal.
Temuan ini dirilis di laman Global Wildlife Conservation pada Kamis (21/2/2019). Disebutkan, lebah raksasa yang memiliki nama latin Megachile pluto dengan bentangan sayap bisa mencapai enam sentimeter ini pertama kali ditemukan botanis Inggris, Alfred Russel Wallace, pada abad ke-19 dan terakhir dilaporkan entomolog Adam Catton Messer pada tahun 1981.
–Perbandingan ukuran lebah raksasa Maluku Utara dengan lebah pada umumnya seperti dilaporkan fotografer Amerika Clay Bolt. Sumber: www.globalwildlife.org
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah itu, lebah ini diduga sudah punah. Namun peneliti dari Universitas Sydney dan koleganya Glen Chilton dari Saint Mary’s University di Kanada bersama seorang fotografer asal AS, Clay Bolt, dan seorang entomolog kemudian bergabung melakukan perburuan lebah ini di Maluku Utara sekitar Januari 2019. Mereka berhasil mendokumentasikan keberadaan lebah ini dalam bentuk foto dan juga video yang bisa dilihat di laman GWC yang kemudian juga dirilis di berbagai media luar negeri.
Namun demikian, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mempersoalkan temuan ini karena diduga menyalahi etika penelitian. “Penelitian asing yang menemukan lebah raksasa di Maluku Utara ini tidak memiliki izin penelitian ketika di Indonesia. Saat ini TKPIPA (Tim Koordinasi Pemerian Izin Peneliti Asing) sedang membahas tentang hal ini,” kata Kepala Seksi Administrasi Perizinan Penelitian, Subdirektorat Perizinan Penelitian, Direktorat Jenderal Litbang, Kemristek Dikti, Yetty R, Rabu (27/2).
Menurut Yetti, peneliti yang diidentifikasi sebagai warga negara Amerika dan Australia tersebut menggunakan visa on arrival untuk masuk ke Indonesia. “Menurut informasi yang kami terima, mereka sudah sering ke Indonesia,” kata dia.
Kepala Subdirektorat Perizinan Penelitian, Direktorat Jenderal Litbang, Kemenristek Dikti Sri Wahyono mengatakan, kawasan Maluku Utara yang menjadi lokasi penemuan lebah raksasa ini termasuk kategori daerah yang kaya sumber daya hayati dan lebih diprioritaskan kepada peneliti nasional. Peneliti asing yang masuk ke daerah ini, selain harus mengajukan izin penelitian juga wajib bekerja sama dengan peneliti nasional maupun daerah.
“Itu jelas pelanggaran imigrasi. Apalagi kalau sampai mengambil sampel material. Kami sedang mempertimbangkan untuk memberi sanksi, termasuk mengusulkan pencekalan kepada yang bersangkutan,” kata dia.
Sebagai turis
Ketika dikonfirmasi melalui email, Direktur Konservasi Spesies GWC Barmey Long dan Direktur Komunikasi GWC Robin Moore menyebutkan bahwa penelitian ini tidak terkait langsung dengan lembaga mereka. Penelitian ini dilakukan secara independen oleh Clay Bolt dan timnya. Menurut Moore, GWC hanya membatu menyebarkan informasi ini karena lebah raksasa ini merupakan satu dari 25 spesies yang hilang yang masuk dalam daftar prioritas lembaga mereka.
Sedangkan Clay Bolt mengakui, dirinya pergi ke Maluku Utara sebagai turis untuk mencari lebah raksasa ini dan spesies lain yang dideskripsikan oleh Wallace. “Tujuan pribadi saya hanya untuk melihat bahwa lebah ini masih ada dan membantu orang untuk mempelajari tentangnya dan mempedulikan masa depannya,” kata dia.
Clay Bolt menambahkan, setelah menangkap lebah ini dan memotretnya, selama sekitar 20 menit, dia kemudian melepaskannya kembali. Sedangkan yang membuat video tentang lebah ini adalah pemandu mereka.
Sri Wahyono mengatakan, pelanggaran-pelanggaran penelitian seperti ini bisa sangat merugikan dunia ilmu pengetahuan di Indonesia. Namun, hal ini semakin sering terjadi, terutama dengan semakin terbukanya bandara internasional dan kegiatan wisata.
“Banyak peneliti yang mengaku sebagai turis sehingga sulit untuk dipantau. Padahal, saat ini pengajuan izin riset bisa melalui online dan prosesnya bisa selesai dalam lima hari dan visa sekitar empat hari. Intinya kami tidak akan mempersulit. Memang, untuk peneliti asing harus membayar, sekitar 5 juta rupiah untuk 12 bulan,” kata Sri.
Yetty mengatakan, sepanjang 2019 ini sudah dua kasus pelanggaran yang dilakukan oleh peneliti asing. Selain di Maluku Utara ini, juga ada pelanggaran oleh warga negara Inggris yang melakukan penelitian tanpa izin di Kalimantan Utara. “Pelaku berhasil dideportasi oleh imigrasi setempat,” kata dia.
Sedangkan sepanjang 2018 terjadi tercatat ada 15 kasus. “Beberapa ada yang dikenakan sanksi, namun hanya sebatas administrasi saja,” kata Yetty.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 1 Maret 2019