“Equinox” Fenomena Astronomi Dua Kali Setahun
Fenomena equinox, saat matahari tepat di atas garis khatulistiwa, memang meningkatkan suhu di sekitar khatulistiwa, tetapi tidak sampai ekstrem. Sesungguhnya kesiapsiagaan dibutuhkan setiap saat karena cuaca panas bukan hanya disebabkan oleh equinox.
“Musim kemarau di sejumlah daerah, meski tidak sedang equinox, juga memicu temperatur lebih tinggi,” kata Kepala Bidang Informasi Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) A Fachri Radjab, Senin (21/3), di Jakarta. Suhu lebih tinggi antara lain memicu dehidrasi/kekurangan cairan tubuh, tetapi tanpa equinox pun kondisi itu bisa terjadi.
Selain itu, musim kemarau juga memicu kebakaran hutan dan lahan. Karena itu, kata Fachri, musim kemarau setengah tahun sebenarnya perlu kewaspadaan lebih besar ketimbang equinox.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fachri menambahkan, equinox menyebabkan pemanasan maksimal di sekitar khatulistiwa sehingga jadi salah satu faktor peningkatan suhu. Namun, kenaikan itu tak akan di atas rata-rata suhu normal di Indonesia, antara 32 dan 38 derajat celsius.
Itu menanggapi kabar bahwa suhu di Malaysia, Singapura, dan Indonesia akan berfluktuasi hingga 40 derajat celsius jelang equinox. Kabar diikuti anjuran menempatkan ember isi air setengah di ruang tamu dan setiap kamar menjaga kelembaban.
Pantauan BMKG pada Minggu (20/3), misalnya, suhu maksimum tertinggi terpantau di Palu, Sulawesi Tengah, dengan 37 derajat celsius. Badan Lingkungan Singapura dalam keterangan, Rabu (16/3), menyebutkan, kabar suhu bisa 40 derajat celsius dan berpotensi menimbulkan gelombang panas itu tidak benar.
Mahasena Putra, Kepala Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, menjelaskan, equinox adalah kondisi saat matahari dalam gerak semunya menyeberangi bidang ekuator langit, yang juga dikenal garis lintang nol derajat atau khatulistiwa. Fenomena itu dua kali setahun, setiap 21 Maret (matahari bergerak ke utara) dan 23 September (matahari bergerak ke selatan).
Gerak semu terjadi karena sumbu rotasi bumi miring 23,5 derajat terhadap bidang orbitnya. Equinox dari bahasa Latin, berarti malam yang setara. Saat equinox, durasi malam dan siang hampir setara, yakni 12 jam, meski nyatanya tak persis sama.
“Oleh orang di belahan bumi utara disebut titik musim semi,” ujar Mahasena. Negara-negara subtropis di belahan bumi utara memasuki musim semi setelah equinox Maret, sedangkan di belahan bumi selatan musim gugur. Kondisi berkebalikan terjadi setelah equinox bulan September.
Tidak berbeda
Di sisi lain, kata Fachri, selama equinox tak ada perbedaan suhu signifikan antara daerah sekitar khatulistiwa dan daerah jauh dari khatulistiwa jika ketinggian wilayah tak jauh beda (misalnya, sesama dataran rendah). “Suhu di Rote (Nusa Tenggara Timur) di selatan khatulistiwa tak akan beda jauh dengan Pontianak (Kalbar) yang dilalui khatulistiwa.”
Pantauan Kompas di Pontianak, suhu sepekan terakhir memang dirasakan warga lebih tinggi. Namun, kenaikan suhu tidak signifikan atau ekstrem. Warga beraktivitas seperti biasa.
Suhu tinggi juga dirasakan warga Surabaya, Jawa Timur, meski jauh dari khatulistiwa. Suhu dirasakan meningkat sejak Sabtu dan kian tinggi pada Senin. Jelang sore, beberapa wilayah tampak mendung. “Panasnya tak biasa, angin dari kipas angin terasa hangat. Di luar ruangan, tubuh terasa panas,” ujar Julius (28), pegawai kebersihan.
Kukuh Ribudiyanto, Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca BMKG, menambahkan, suhu sangat panas pun bisa di wilayah lain dan tidak saat equinox. Contohnya, suhu di Kupang, NTT, pernah 37 derajat celsius pada Oktober 2012. Saat itu matahari di sekitar NTT. (JOG/ETA/ESA)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Temperatur Panas Tidak Ekstrem”.