Setelah tujuh tahun ditetapkan sebagai situs warisan dunia, hutan hujan tropis Sumatera masuk kategori merah atau terancam dicabut oleh UNESCO (Kompas, 17/5/2018). Padahal, penetapan hutan hujan tropis Sumatera yang mencakup Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, dan Bukit Barisan Selatan—membentang di tujuh provinsi itu—disebabkan nilai keanekaragaman hayatinya yang tinggi dan dibutuhkan untuk membantu pengaturan iklim bagi kehidupan dan kesejahteraan makhluk di Bumi.
Alasan pokok di balik ancaman pencabutan oleh UNESCO adalah intensitas pembangunan infrastruktur jalan, perluasan kawasan pertanian/perkebunan, perambahan hutan, hingga perburuan terhadap hewan (satwa liar) di kawasan ini. Sekalipun merupakan satwa endemik dan dilindungi, gajah, harimau, orangutan, dan badak selalu dianggap sebagai hama bagi kehidupan manusia. Semua ini adalah cerminan dari lemahnya tanggung jawab pemerintah dan para pihak dalam melindungi ketiga kawasan taman nasional sebagai jantung bagi kelangsungan kehidupan semua makhluk bumi di hutan tropis Sumatera.
Kerusakan habitat
Tidak bisa dimungkiri bahwa sumber masalah dari penurunan fungsi hutan hujan tropis Sumatera adalah deforestasi. Satu studi yang dilakukan WWF menunjukkan, tingkat deforestasi yang paling tinggi adalah wilayah Sumatera Selatan dan Riau. Selama 25 tahun terakhir, ada sekitar 4,2 juta hektar (65%) dari hutan tropis dan rawa gambut telah berubah fungsi jadi areal perkebunan sawit dan kayu pulp. Alhasil, luas hutan di Riau dari semula mencapai 78% kini tinggal 27% atau rata-rata kehilangan 286.146 hektar (11%) dari tutupan hutan setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kegiatan pembangunan infrastruktur ekonomi secara masif juga berdampak langsung terhadap hilangnya habitat yang merupakan rumah bagi satwa-satwa liar. Dampaknya, terjadi ”sengketa” dengan warga karena satwa liar dipaksa keluar dari habitatnya dan memasuki permukiman atau lahan usaha untuk mendapatkan pangan dalam menjaga kelangsungan hidup mereka. Menurut Sumatera Tiger Project, konflik warga dengan harimau di Sumatera mencapai 1.065 selama tahun 2001-2016 atau enam kasus setiap bulannya.
Konflik ternyata juga terjadi dengan gajah. Kawasan hutan di Sumatera yang masih layak bagi habitat gajah tinggal 29%. Di Aceh, konflik nyaris berlangsung di semua wilayah kabupaten. Dalam lima tahun terakhir, menurut BKSDA Aceh, tercatat ada 40 kasus konflik gajah dengan warga setiap tahunnya dan mengakibatkan 31 gajah mati dibunuh akibat memasuki dan merusak tanaman. Populasi gajah pun turun signifikan, yaitu dari 2.800 ekor di tahun 2007 menjadi 1.700 pada tahun 2004 (Leonardodicaprio, 2015).
Kerusakan habitat satwa liar pada dasarnya merupakan cerminan dari penyempitan ruang penghidupannya. Keterbatasan ruang (kawasan) penghidupan juga dialami oleh warga, terutama yang miskin di dataran tinggi pinggiran hutan.
Rendahnya sumber daya penghidupan warga, seperti keterampilan, lahan, dan modal membuat pilihan yang paling mudah dilakukan adalah mengokupasikan kawasan hutan untuk permukiman dan kegiatan pertanian yang bercorak ekstraktif. Termasuk melakukan pemburuan satwa untuk diperdagangkan.
Tempat terakhir
Ekosistem Leuser yang merupakan bagian dari hutan hujan tropis Sumatera, oleh harian The Guardian, 28 September 2017, disebut sebagai tempat terakhir di Bumi (Threats to the last place on Earth) bagi orangutan, gajah, harimau, dan badak dapat hidup berdampingan di alam liar. Termasuk menjadi rumah bagi 200 mamalia dan 500 spesies burung yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.
Upaya perbaikan habitat satwa melalui operasi penangkapan pelaku perburuan, penebangan, dan pertambangan liar di wilayah hutan dan konservasi telah banyak dilakukan. Namun, ironisnya, kegiatan serba liar ini tidak terhenti, tetapi berubah modus operasinya. Penegakan hukum atas tindak pemanfaatan ruang atau kawasan hutan dan konservasi secara ilegal karena menimbulkan kerusakan ekologi serta mengganggu kehidupan satwa penting dilakukan.
Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana menyediakan ruang kawasan yang dapat menjamin kelangsungan penghidupan warga maupun satwa secara harmoni. Termasuk keadilan dalam pemberian akses pemanfaatan lahan bagi warga miskin.
Salah satu kabupaten yang menginisiasi penyediaan ruang yang aman bagi kehidupan warga dan satwa adalah Gayo Lues. Dalam RPJMD Gayo Lues 2017- 2022 dinyatakan, kebijakan dan program pembangunan daerah akan berorientasi pada perlindungan sumber daya lingkungan, termasuk satwa liar. Kemauan politik ini akan diperkuat dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang disusun. Kawasan yang merupakan habitat satwa liar tidak dapat didayagunakan untuk kepentingan apa pun. Di wilayah Gayo Lues juga dirintis pengembangan desa bebas sengketa dengan satwa yang dilembagakan ke dalam RPJM Desa.
Apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues hanya titik awal dan perlu diikuti kabupaten lain yang wilayahnya terkait langsung dengan kawasan hutan hujan tropis Sumatera, termasuk dukungan pemerintah provinsi dan pusat. Jika tidak, inisiatif untuk mencegah pencabutan status situs warisan dunia oleh UNESCO akan sia-sia belaka. Nasib hutan Sumatera sepenuhnya di tangan pemerintah, perusahaan kelapa sawit serta pulp dan kertas yang bertahun-tahun mengeksploitasi hutan alam milik negara.
Bisa saja pemerintah mengabaikan ancaman UNESCO. Namun, yang jelas dan pasti adalah tak dapat mengabaikan bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang merugikan kehidupan semua pihak sebagai akibat kerusakan hutan alam Sumatera.
Suhardi Suryadi Konsultan The Institute for Democracy Education
Sumber: Kompas, 24 Mei 2018