Proyek PLTU batubara yang belum memasuki tahap konstruksi masih bisa dibatalkan. Investasinya bisa dialihkan untuk memasang teknologi pengontrol emisi di PLTU Batubara yang ada.
Prediksi kelebihan suplai listrik pada grid Bali-Jawa bisa menjadi faktor untuk mengalihkan investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara kepada teknologi pengendali emisi udara.
Langkah ini bisa lebih bermanfaat bagi kualitas ambien udara serta mencegah jebakan kerugian di masa depan akibat pembangunan pembangkit listrik yang kotor dan mahal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikatakan mahal karena harga batubara saat ini terus melambung. Harga batubara acuan (HBA) periode Januari 2018 tercatat sebesar 95,54 dollar AS per ton atau naik 1,6 persen dibandingkan HBA Desember 2017 sebesar 94,04 dollar AS per ton. Kemudian, HBA Januari 2018 lebih tinggi ketimbang HBA Januari 2017 sebesar 86,23 dollar AS per ton (Kompas, 5 Februari 2018).
Kenaikan harga batubara ini membuat tarif listrik bakal disesuaikan untuk menutupi biaya operasional. Hal ini dilakukan agar PLN tidak merugi mengingat 60 persen pembangkit yang dioperasikan PLN menggunakan batubara sebagai sumber energi primer.
Jadi terbukti PLTU yang berasal dari energi fosil batubara ini tidak murah seperti paradigma yang dibangun selama ini,” kata Bondan Andriyanu, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Minggu (11/2), di Jakarta.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Lanskap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Merak, Banten, Kamis (19/5/2017). PLTU yang berkapasitas lebih dari 4.000 megawatt tersebut telah menggunakan pembangkit dengan teknologi ramah lingkungan yang mampu menangkap limbah debu batubara.
Jadi terbukti PLTU yang berasal dari energi fosil batubara ini tidak murah seperti paradigma yang dibangun selama ini.
Di sisi lain, program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW sebagian diisi dengan pembangunan PLTU Batubara yang akan menghasilkan kelebihan pasokan listrik dengan margin cadangan sebesar 71 persen untuk grid Jawa-Bali pada tahun 2026. Kelebihan ini berpotensi terjadi sebagai dampak dari menurunnya pertumbuhan ekonomi dan penjualan listrik PLN.
Investasi dialihkan
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh koalisi Breakfree Indonesia, terdapat sembilan proyek pembangunan PLTU baru yang belum memasuki tahap konstruksi dengan total 13 GW, sehingga masih berpotensi untuk dibatalkan. “Dengan asumsi bahwa diperlukan Rp 26 triliun untuk membangun setiap 1.000MW PLTU Batubara, maka dengan membatalkan proyek ini, Pemerintah Indonesia dapat menghindari pengeluaran negara sebesar Rp 350 triliun untuk produksi listrik yang nantinya tidak terserap,” kata Bondan.
Masukan ini telah dikirimkan Greenpeace Indonesia ke Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ini sekaligus menanggapi angka baku mutu emisi dalam draf revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2008.
Bondan mengatakan, investasi itu bisa dialihkan pada pemasangan teknologi pengontrol emisi pada setiap PLTU batubara. Tujuannya agar PLTU bisa memenuhi baku mutu emisi (BME) dalam rancangan revisi permen LH itu.
Mengutip studi bersama Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) dan Kajian Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan (CSE, organisasi berbasis di India) tahun 2017, Bondan menyebutkan, diperlukan biaya sebesar Rp 105 juta – Rp 315 juta per MW kapasitas PLTU Batubara untuk mengurangi emisi Particulate Matter (PM) atau debu, Rp 525 juta – Rp 840 juta per MW kapasitas PLTU untuk mengurangi emisi NOx, dan Rp 210 juta – Rp 315 juta per MW kapasitas PLTU untuk mengurangi emisi SOx. Dengan melakukan pembatalan proyek pembangunan sembilan PLTU batubara baru yang nanti hanya akan menjadi idle, pemerintah dapat mengalokasikan rencana investasi triliun rupiah tersebut untuk membersihkan PLTU Batubara eksisting.
“Ini adalah tentang pengalokasian yang paling bijak dari anggaran negara di sektor kelistrikan sehingga dapat memastikan bahwa rakyat terlindungi kesehatannya tanpa membahayakan suplai kelistrikan nasional,” katanya.
Sementara itu, Bondan merekomendasikan agar pemerintah meninjau ulang pembangunan PLTU Batubara karena terbukti batubara bukan sumber energi murah. Apabila tidak dilakukan peninjauan kembali, selama 30 tahun (izin usaha penyediaan tenaga listrik/IUPTL), Indonesia akan terjebak pada pemakaian batubara yang berharga mahal.
Energi baru dan terbarukan
Padahal, kata Bondan, harga energi baru dan terbarukan secara global terus mengalami penurunan yang semakin drastis dan menjadi pesaing utama energi fosil pada tahun 2020, di mana harga energi terbarukan akan menjadi lebih murah daripada energi fosil. Harga energi fosil di negara-negara G20 saat ini berkisar Rp 400 – Rp 1.350 per kilowatt jam (kWh), sedangkan harga energi matahari diproyeksikan hanya Rp 400 per kWh pada tahun 2019.
Selain harga yang murah, penggunaan energi terbarukan sebagai sumber penghasil listrik di Indonesia juga akan lebih menguntungkan karena energi ini tidak menghasilkan polutan yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan sehingga tidak memerlukan teknologi pengontrol emisi seperti yang diperlukan oleh PLTU Batubara.
“Dengan demikian, peralihan kepada energi terbarukan bukan hanya pilihan terbaik, melainkan juga pilihan yang pintar untuk menyelamatkan perekonomian kita,” katanya.
Peralihan kepada energi terbarukan bukan hanya pilihan terbaik, melainkan juga pilihan yang pintar untuk menyelamatkan perekonomian kita
Secara terpisah, Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Urban Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mengatakan, harga listrik dari PLTU batubara terkesan murah—saat harga batubara murah—terkait dengan teknologi pengendali emisi udara. Listrik seolah murah karena teknologi yang dipakai tak menjamin kualitas udara yang sehat. Namun kini, dengan kondisi harga batubara kian merangkak naik, harga listrik juga kian mahal dan makin mengemisi apabila standar baku mutu emisi rendah.
“Jangan lupakan eksternalitas dari dampak pencemaran udara akibat emisi PLTU yang terlalu tinggi ini. Biaya kesehatan seperti biaya berobat karena penyakit akibat pencemaran udara tidak pernah dihitung,” katanya.
Selain itu, PLTU Batubara menghasilkan limbah fly ash dan bottom ash mengandung merkuri. Pengelolaan limbah ini pun, kata Dwi, masih belum ketat sehingga membahayakan lingkungan yang terpapar logam berat itu.
PLTU Batubara menghasilkan limbah fly ash dan bottom ash mengandung merkuri. Pengelolaan limbah ini pun, belum ketat sehingga membahayakan lingkungan yang terpapar logam berat itu.
Dihubungi sebelumnya, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago meminta NGO (LSM) untuk menyuarakan isu ini kepada kementerian/lembaga terkait. Karena, katanya, angka baku mutu dalam revisi PermenLHK ini pun dinilai terlalu ketat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 Februari 2018