PENYAKIT tekanan darah tinggi (hipertensi) sudah dikenal oleh masyarakat luas sejak lama. Umumnya penderita datang dengan keluhan pusing dan datang ke dokter dengan pertanyaan “apakah tekanan darah saya tinggi?” Tetapi banyak juga di antaranya tanpa keluhan sama sekali. Mereka melakukan aktivitasnya dengan tekanan darah yang sangat tinggi. Mereka baru dikenali sebagai penderita hipertensi ketika melakukan pemeriksaan rutin, atau datang ke dokter karena penyakit lain.
Tekanan darah tinggi menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ialah tekanan darah yang mencapai 160/95 mmHg atau lebih. Namun observasi Framingham di Amerika serikat selama 18 tahun membuktikan bahwa, penderita dengan tekanan darah antara 140/90 dan 160/95 mmHg mempunyai resiko untuk menderita penyakit jantung dan pembuluh darah dua kali lipat dari orang dengan tekanan darah di bawah itu, sehingga penderita-penderita golongan ini diklasifikasikan sebagai penderita hipertensi borderline. Ada juga penderita yang datang dalam keadaan “krisis” hipertensi, yaitu tekanan darah yang sangat tinggi disertai gangguan fungsi otak, jantung ataupun mata. Kondisi ini merupakan kegawatan yang harus cepat ditangani.
Hipertensi adalah masalah dunia, dan pernah dijadikan tema Hari Kesehatan se-dunia oleh WHO. Kekerapan hipertensi pada masyarakat umum diperkirakan antara 5 -15 persen, berarti 5-15 orang dari 100 orang mempunyai tekanan darah di atas normal. Penelitian populasi di berbagai daerah pedesaan di Indonesia menunjukkan angka rata-rata antara 0.6- 20 persen. Yang tertinggi adalah di Sumatra Barat dan terendah di pedalaman Irian Jaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka yang hidup tanpa sarana transportasi, ke mama-mana hanya berjalan kaki, garam tidak pernah mereka rasakan, dan hidup tanpa banyak tuntutan itulah pola hidup masyarakat pedalaman Lembah Baliem yang ternyata mempunyai kekerapan hipertensi hanya 0,6 persen. Untuk 180 juta penduduk Indonesia yang 40 persen hidup di perkotaan, secara kasar diperkirakan 11 juta penduduk perkotaan dan 5 juta penduduk pedesaan adalah penderita hipertensi.
Penelitian MONICA (Monitoring Trend of Cardiovascular Disease) yang dilakukan oleh tim Bagian Kardiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RS Jantung “Harapan Kita” di daerah Jakarta Selatan menunjukkan dari 2.073 responden, didapat prevalensi hipertensi sebesar 14,9 persen (pria 13,6 persen dan wanita 16 persen). Pada responden yang tidak bersekolah prevalensi hipertensi lebih tinggi dibanding yang bersekolah(26 persen vs 12,8 persen). Penderita gemuk lebih tinggi (23,5 persen) dibanding yang tidak gemuk (11,8 persen). Prevalensi hipertensi pada responden yang pernah mengalami infark miokard lebih tinggi dibanding yang tidak mengalami infark (27,1 persen vs 14,5 persen).
Tingginya prevalensi ini membuat kita berpikir bahwa, penderita hipertensi yang dijumpai dalam praktek sehari-hari, hanyalah puncak dari suatu gunung es saja. Sementara dasar dari gunung es itu masih terselubung, belum dijamah oleh tangan dokter-dokter kita. Ini terbukti dari data proyek MONICA yang mendapatkan kenyataan bahwa, hanya 50,9 persen penderita hipertensi datang berobat. Dan hanya 10 persen saja yang mendapat pengobatan yang memadai.
Penyebab
Penyebab hipertensi seringkali tak diketahui. Mereka digolongkan dalam kelompok hipertensi primer (esensial). Diduga perubahan hormon dan kimiawi yang kompleks telah terjadi pada penderita-penderita ini. Salah satu yang diduga ada hubungannya dengan hipertensi adalah konsumsi garam (NaCl) yang berlebihan. Hanya sekitar 6 persen penderita hipertensi yang dapat diketahui penyebabnya, dan mereka digolongkan dalam kelompok hipertensi sekunder. Kelainan pembuluh darah, gangguan ginjal atau adanya tumor yang mengakibatkan perubahan hormon adalah penyebab yang sering disebut-sebut.
Untuk mencari penyebab hipertensi, diperlukan cukup banyak pemeriksaan yang memerlukan biaya tidak sedikit. Karenanya dipandang perlu untuk membuat strategi penentuan penderita mana yang kemungkinan termasuk golongan minoritas hipertensi sekunder dan mencari penyebabnya.
Tekanan darah tinggi memerlukan penanganan tidak hanya dengan obat-obatan ataupun pembedahan (pada hipertensi sekunder), tetapi juga penanganan nonfarmakologi. Penanganan nonfarmakologis ini antara lain pengaturan diet terutama diet rendah garam dan rendah kolesterol, mengurangi konsumsi alkohol, mencapai berat badan yang ideal, menghindari rokok, relaksasi dan olahraga yang teratur. Penanganan farmakologis dengan menggunakan obat-obatan dalam jangka panjang, jelas memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan penanganan nonfarmakologis selalu lebih murah, juga sangat penting artinya. Di sini hanya dituntut pengertian dan disiplin tinggi para penderitanya.
Pada penderita-penderita hipertensi yang terkontrol baik dengan obat-obatan, ternyata masih mempunyai kemungkinan meninggal 1,5 kali populasi normal, dan kematian akibat penyakit jantung koroner menjadi 3 kali lipat. Atas dasar itulah ditekankan pentingnya penanganan nonfarmakologis dalam usaha menurunkan kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut di atas.
Beberapa organ tubuh dapat menjadi sasaran penyakit atau komplikasi hipertensi, yaitu pada jantung yang berakibat penebalan otot jantung dan kegagalan fungsi jantung. Pembuluh darah besar aorta melebar dan terjadi robekan pada dindingnya. Beberapa kasus meninggal mendadak karena pecahnya pembuluh darah tersebut, tanpa sempat mendapat pertolongan. Pembuluh darah kecil di otak bisa juga pecah dan berakibat pendarahan, penderita mengalami kelumpuhan atau meninggal. Kerusakan serupa bisa juga terjadi pada pembuluh darah mata. Kelainan ginjal dapat berakibat peningkatan tekanan darah, namun sebaliknya tekanan darah yang tinggi juga dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
Tekanan darah tinggi dapat menyertai penyakit lain seperti penyakit kencing manis, penyakit jantung koroner, atau kondisi tertentu seperti golongan usia tua (geriatrik) dan pada kehamilan. Dalam hal ini diperlukan penangan khusus, yang latar belakangnya perlu dipahami.
Pemeriksaan dini
Tekanan darah memang layak untuk diawasi. Dalam usaha melakukan deteksi dini hipertensi, maka dianjurkan pemeriksaan darah pertama kali pada usia sekolah. Pada orang yang sudah diketahui menderita hipertensi, meskipun ringan, pengukuran harus dilakukan secara berkala. Pada prinsipnya pengukuran tekanan darah dapat dilakukan oleh siapa saja yang sudah terlatih. Alat pengukur tekanan darah yang otomatis dan semi otomatis, dewasa ini banyak dimilikir oleh penderita hipertensi. Upaya mereka memeriksa tekanan darah secara lebih intensif seperti itu, layak dihargai. Tapi perlu diingat, bahwa kesalahan pengukuran, sering terjadi. Karena itu sebaiknya ditera dahulu oleh dokter keluarga dan diikuti petunjuk penggunaannya dengan seksama.
Pemahaman tentang patofisiologi, segi penanganan dan berbagai aspek penyakit hipertensi, memang sangat penting untuk dikaji. Tidak berlebihan kalau Bagian Kardiologi FKUI/ RS Jantung “Harapan Kata” akan menyelenggarakan acara ilmiah khusus, yang akan membahas berbagai permasalahan hipertensi secara mendalam.
Anna Ulfah Rahayoe, dokter pada Bagian Kardiologi FK UI/ RS Jantung Harapan Kita
Sumber: Kompas, 23 September 1990